Dipecat

"Sophia Willen, kamu dipecat!" putus Angkasa berpikir dan memutuskan saat itu juga.

Awalnya ia memang mengasihani Sophia, namun sekarang sepertinya dirinya lah yang patut dikasihani. 27 tahun dirinya hidup di dunia, baru pertama kali ini dirinya dipertemukan dengan jenis manusia seperti Sophia. Sungguh hanya merepotkan jiwa dan raganya.

Normalnya maid lah yang direpotkan oleh majikanya, namun bersama Sophia itu terbalik. Dirinya lah yang direpotkan oleh Sophia. Merepotkan kepala dan hatinya saja.

"Apa? Kenapa mendadak begini, Tuan?" tanya Sophia berdiri menghadap Angkasa sambil memangku Peter.

"Karena jika kau terus bekerja di sini maka tidak mustahil besok atau lusa aku terkena serangan jantung," balas Angkasa tangannya begitu jengkel ingin sekali mencakar wajah polos Sophia.

"Lalu apa hubungannya denganku? Aku tidak punya kekuatan untuk menyerang jantungmu, jadi Tuan tenang saja. Aku akan bekerja dengan lebih baik mulai saat ini."

Angkasa membelakangi Sophia, kesabarannya yang setipis tisu kini harus dibagi dua jika berhadapan dengan Sophia.

"Orang-orang memiliki kehidupan yang mewah, tapi aku tak seberuntung mereka. Kenapa orang jujur yang mencari nafkah sepertiku harus bernasib malang seperti ini?"

"Dunia sangat tidak adil untuk orang miskin," rancau Sophia menunjukkan ekspresi paling menyedihkan di wajahnya agar mendapat simpati dari Angkasa.

"Arthur, bantu dia kemasi semua barang-barangnya. Jangan tinggalkan apa pun di rumah ini tentang dirinya. Bahkan jejak kakinya pun harus hilang!" perintah Angkasa berjalan pergi dari kamar Sophia.

"Tuan, tidak bisakah aku dipecat bulan depan? Setidaknya setelah sekali gajian. Uangnya akan aku gunakan untuk menyewa kosan," pinta Sophia dengan berteriak. Dirinya takut kalau harus sampai menyusul tuannya yang dalam keadaan marah itu.

Sophia tak mendapati jawaban.

"Kalau begitu, bolehkah malam ini aku menginap dulu di sini? Ini sudah larut malam, di rumahmu sekelilingnya hutan. Di luar sana pasti ada serigala atau harimau yang siap untuk memakan tubuhku. Setidaknya kasihani adikku yang masih kecil, Tuan!"

"Harimau pun berpikir dua kali untuk memakan gadis bodoh seperti mu," ucap Angkasa hanya pada dirinya sendiri.

Sophia menghela napasnya karena permintaannya tak digubris sedikit pun oleh Angkasa. "Arthur, apa kamu tahu kesalahan apa yang ku perbuat sehingga membuat tuan marah dan memecat ku?" tanya Sophia pada Arthur yang kini sedang membereskan seluruh pakaiannya.

"Aku pun tidak mengetahui itu, Sophia. Tapi semoga kamu cepat mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik dari ini," harap Arthur memberikan koper berisi barang-barang Sophia.

"Kita tidak akan bertemu lagi, Makhluk Kecil. Semoga kau selalu bahagia," ucap salah seorang maid mencubit pipi Peter.

Para maid lainnya mengantar Sophia keluar dari rumah.

"Selamat tinggal!" pamit Sophia ketika sudah berada di luar pintu rumah. Hanya sampai sana para maid mengantarnya dan pintu rumah yang besar pun kini tertutup untuknya.

"Di mana mobilku?" Sophia melihat sekelilingnya.

"Oh, iya. Aku, kan tidak punya," lanjutnya lagi sambil berjalan membawa Peter juga kopernya.

"Aku kembali menjadi miskin. Oh, tidak. Sangat menyebalkan karena harus kembali ke setelan pabrik. Padahal aku baru merasakan nikmatnya surga dunia."

"Tapi yasudah lah, setidaknya aku pernah tidur di kasur yang nyaman, makan makanan mewah, dan naik mobil mewah juga. Kurasa itu sudah cukup untuk menancapkan rasa penasaran rasanya menjadi orang kaya."

"Ya, dan lagi meskipun aku dipecat, tapi aku punya uang dan pakaian yang bagus. Aku bisa menjual pakaiannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku dan menyewa kosan lagi."

"Peter, kita akan kembali bertarung dengan kerasnya dunia. Semangat!" Sophia berlari kecil untuk menghibur hatinya dan juga membuat Peter tertawa.

Tak dipungkiri bahwa hati kecilnya memang merasa sakit. Bukan hanya karena gajinya yang besar, tapi bekerja di rumah itu dirinya benar-benar mendapat teman-teman juga mereka semua baik. Baru saja dirinya menyukai kehidupannya, kini sepertinya harus tersiksa lagi dengan jam kerja yang panjang namun gaji yang kecil.

Hari semakin gelap, cuacanya berubah menjadi berangin juga awan-awan di langit menghitam, itu pertanda bahwa hujan akan turun.

Sophia berlari secepat yang ia bisa sebelum hujan turun, hendak mencari tempat berteduh teraman untuk saat ini. Karena untuk kembali ke kosan lamanya, itu masih butuh waktu yang lama.

Sophia masuk ke sebuah warung kecil yang ramai pengunjung, hujan pun turun dengan deras disertai angin kencang.

"Jangan sampai kamu sakit, Adikku," kata Sophia memakaikan jaket tebal pada Peter.

"Bibi, aku pesan mie dan satu gelas teh hangat. Rotinya juga tolong dibuatkan satu!" pesan Sophia.

Perutnya sudah keroncongan, begitu juga dengan Peter. Bukankah paling nikmat ketika hujan itu makan makanan yang hangat. Nah, bersyukur karena ia masuk ke warung ini.

Beda tempat, lain juga dengan ceritanya. Di kediaman Angkasa hujan deras pun tidak membuat keadaan di rumah berisik. Adem ayem seakan tidak ada apa-apa di luar.

Angkasa berdiri di depan jendela kamarnya, meletakkan dua tangannya di belakang, matanya yang menggunakan kacamata melihat ke luar memperhatikan hujan yang begitu deras disertai angin kencang.

Bibirnya mungkin terdiam tapi pikirannya sedang berdebat dan sangat berisik hingga mengganggu ketenangannya, bahkan kini hatinya pun menggebu membawa rasa penyesalan.

Siapa lagi yang bisa membuatnya seperti ini jika bukan Sophia. Gadis bodoh itu membuat hatinya yang tak peduli, menjadi mudah khawatir.

Sedikit penyesalan karena memencetnya sekarang sehingga mungkin saat ini Sophia dan adiknya sedang hujan-hujanan. Mereka pasti kedinginan.

"Hai Gadis Cantik, mau ke mana? Di sana hujan sangat deras, mari berteduh di sini bersama kami!" ajak salah seorang preman jalanan ketika Sophia melewati rumah kosong.

"Apa tidak apa aku berteduh di sini?" tanya Sophia.

"Tentu saja tidak. Lihat! Masih banyak ruang yang tersisa, ke mari cepat! Kasihani tubuhmu yang indah harus terus kedinginan terguyur hujan. Kami akan menghangatkan mu, Gadis Mungil."

"Terima kasih. Permisi! Aku masuk."

Lalu tanpa disangka semua preman itu langsung menyerbu tubuh Sophia. Peter disimpan dipojok ruangan disengaja untuk menyaksikan kakaknya yang akan digilir oleh semua preman yang ada.

Beberapa hari kemudian, Sophia hamil. Tapi tidak ada yang mau bertanggung jawab untuk itu. Sophia putus asa dan hancur.

"Peter, ayo kita bunuh diri saja. Ini lebih baik untuk kita."

"Aku kotor dan di tubuhku ada bayi yang tidak memiliki ayah. Kita miskin. Sungguh kita ini hanya malang dan malang. Mari kita akhiri hidup kita yang tak berharga ini, Peter!"

"TIDAK...," raung Angkasa memegangi kepalanya dengan kuat.

Sial, khayalannya benar-benar menakutkan. Namun bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi? Dan itu terjadi karena kesalahannya yang memecat Sophia.

Dia itu gadis bodoh, tidak sulit bagi preman untuk mengotorinya.

Angkasa melepaskan kacamatanya, ia meraih ponsel di atas nakas, kemudian berlari ke bawah. Di perjalanan ia menghubungi maid laki-laki untuk menyiapkan mobilnya.

"Tuan Muda, ke mana kamu akan pergi? Sepertinya terburu-buru begitu," tanya Arthur yang kala itu sedang berjalan-jalan saja.

"Ikutlah denganku!" Angkasa menarik tangan Arthur dan menyeretnya keluar bersama dirinya.

"Berikan kunci mobilnya padaku!" pinta Angkasa pada supir pribadinya.

"Ayo, masuk!" perintah Angkasa pada Arthur begitu terburu-buru.

"Arthur, kamu lihatlah jalan dengan seksama dan temukan Sophia!" perintah Angkasa sambil menyetir.

"Sophia?" ulang Arthur menatap Angkasa.

"Ya, kau tidak diizinkan banyak tanya. Pokoknya temukan Sophia secepat mungkin."

Angkasa mengelilingi seisi kota namun ia tak melihat Sophia di mana pun. Sebuah tempat tiba-tiba terbersit di kepalanya, ia pun langsung tancap gas menuju pantai yang dulu pernah Sophia jadikan untuk tempat bunuh diri.

"Tuan Muda, itu Sophia!" Arthur menujuk Sophia yang sedang berjalan mengikuti ombak yang kembali ke pantai.

"Sial, dia benar-benar melakukannya lagi."

Arthur hendak keluar, namun Angkasa lebih dulu melakukannya sehingga Arthur mengurungkan niatnya. Ia mencari payung di dalam mobil.

Sementara itu Angkasa berlari untuk menyelamatkan Sophia.

"Sophia, maafkan aku," lirih Angkasa sambil terus berusaha menerjang derasnya hujan.

"Sophia, aku mohon jangan bunuh dirimu!"

"Sophia!" Angkasa menarik tubuh Sophia menjauh dari pantai.

"Maafkan aku!" pinta Angkasa memeluk Sophia yang masih terdiam.

"Aku mohon, jangan bunuh diri!"

"Bunuh diri? Aku tidak akan bunuh diri," balas Sophia.

"Lalu kenapa kau pergi ke pantai?" Angkasa melepaskan pelukannya.

"Sandalku terbawa arus karena itu aku berusaha untuk mengambilnya karena sandalnya baru dan masih bagus. Sangat disayangkan kalau terbawa ombak," jawab Sophia membuat Angkasa syok.

Namun meski begitu Angkasa bersyukur karena telah menemukan kembali Sophia.

"Kenapa di saat hujan seperti ini kamu malah berkeliaran, hah?" tanya Angkasa berkacak pinggang.

"Sebenarnya tadi aku sudah berteduh sambil makan mie, lalu aku pergi setelah hujannya mulai reda sambil memakai payung. Namun ketika di pertengahan jalan hujan deras kembali, dan angin pun bertiup kencang sehingga payungku pun terbawa terbang."

"Saat mengejar payung, tanpa sengaja sandalku terlepas dan terbawa oleh ombak," jelas Sophia membuat Angkasa hanya bisa tepuk jidat.

"Jika tidak peduli tentang dirimu sendiri, setidaknya kasihani adikmu. Dia akan sakit jika terus dibiarkan diguyur hujan."

"Tuan Muda tidak perlu khawatir karena kami ini kuat,-" Belum selesai Sophia berbicara, dirinya dan Peter bersin di waktu yang bersamaan.

"Kuat, ya!" cibir Angkasa membawa Sophia masuk ke dalam mobil.

^^^^^^FOLLOW IG : maeee331^^^^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!