Kebun

Tepat di jam 12;01;00 siang, Angkasa menapakkan kakinya di halaman rumahnya. Seperti biasanya setiap kali ia turun dari mobil, pasti matanya akan melihat ke sekitarnya. Melihat apakah di rumahnya ada perubahan atau tidak selama ditinggal dirinya bekerja.

Tak bosan para maid berjajar di depan pintu untuk menyambut kedatangan Angkasa. Angkasa pun melewati para maid itu satu persatu.

"Ke mana dia?" gumam Angkasa melihat di antara para maidnya tapi tak menemukan Sophia di antara mereka.

"Kau mengatakan sesuatu?" tanya Cooper samar-samar mendengar Angkasa berucap.

"Aku bilang, jika kamu ingin pulang maka pulang saja," ucap Angkasa membuka kancing jasnya ketika sudah berada di ujung tangga menuju kamarnya.

"Tapi setelah makan siang kau harus pergi lagi ke kantor," ujar Cooper melihat jadwal di iPad yang kini di tangannya.

"Aku tahu. Kau bisa datang nanti setelah aku makan. Aku hanya menawarkan saja, terserah padamu mau pergi atau tidak. Kecuali kamu mau tetap di sini dan menggoda maid-maid ku sebanyak yang kau mau. Hanya satu yang aku pinta darimu, jangan ganggu aku!"

Angkasa tahu bahwa Cooper si teman sekaligus sekretarisnya itu diam-diam suka menggoda maid-maid nya yang masih terlihat muda dan cantik. Dirinya membiarkan saja toh mungkin itu hanya untuk kesenangan. Dan lain dari tugas mereka sebagai maid, maka apa pun urusan hidup mereka, dirinya tidak ikut campur.

Diam-diam Angkasa dengan kedua matanya menjelajahi seisi rumahnya mencari keberadaan Sophia atau mungkin adiknya. Namun nihil tak dapat ia lihat bahkan hanya batang hidungnya sekalipun.

Angkasa berlari ke kamarnya barangkali Sophia ada di kamarnya, akan tetapi di kamarnya tak terlihat sedikitpun ada tanda kehidupan di sana. Dirinya berlari lagi ke bawah, ke meja makan, ke kamarnya Sophia, ruang tv, ruang santai, balkon setiap kamar yang ada, kini dirinya berada di tengah rumahnya.

Angkasa memegangi lututnya, napasnya terengah-engah, keringat mulai bermunculan di wajahnya, setetes keringat jatuh dari ujung keningnya, buru-buru saja ia menyekanya.

"Apa mungkin dia kabur karena kejadian semalam? Padahal aku tidak melakukan apa pun padanya. Apa yang membuatnya kabur? Bukankah hidup di tempat seperti ini adalah impiannya?" cerca Angkasa berbicara sendiri.

"Ah, sial sekali. Lagian untuk apa aku harus mencarinya sampai membuatku berkeringat begini."

Arthur yang sejak tadi diam dan hanya memperhatikan Angkasa yang berlari-lari, kini ia menghampiri Angkasa setelah melihat Angkasa kelelahan.

"Tuan Muda, diperhatikan sejak tadi sepertinya Tuan Muda sedang mencari sesuatu? Apakah itu dan apakah Tuan Muda membutuhkan bantuanku?" tanya Arthur.

"Di mana Sophia dan adiknya?" tanya Angkasa berkacak pinggang sambil terus menetralkan napasnya.

"Oh... Sophia. Dia ada di kebun. Dia tidak bisa bekerja apa pun di dalam rumah karena itu aku menempatkannya di kebun," jawab Arthur jari telunjuknya menujuk ke atas.

"Ah...," lenguh Angkasa. Ingin sekali rasanya ia pingsan.

"Di kebun mana dia bekerja saat ini?"

"Oh, tadi pagi sih di taman bunga di dalam rumah, tapi sepertinya sekarang dia berada di kebun di depan rumah. Aku akan memanggilnya untuk mu."

"Tidak perlu. Biarkan aku saja yang pergi ke sana."

Angkasa membuka jasnya lalu memberikannya pada Arthur, dengan kemeja putihnya sambil menggulungkan nya Angkasa berjalan mendekati taman depan rumahnya.

"Sophia!" panggil Angkasa masih tak melihat ada Sophia di sekitar taman. Ia semakin pergi lebih dalam ke kebun yang semua isinya hanya bermacam-macam bunga.

Bukan tanpa sebab dirinya menanam bunga di depan rumah, itu sudah ada sejak orangtuanya masih hidup dan ia lestarikan. Awalnya tak tahu apa fungsinya, namun setelah terjun ke dunia perusahaan ia baru sadar bahwa bunga-bunga itu disengaja di tanam untuk menjadikan rumah tampak indah ketika para tamu perusahaan datang untuk sekedar menjamu pun mereka akan menikmati makanannya sambil melihat hamparan bunga.

Dan pujian setiap tahunnya selalu mengalir untuk rumahnya yang menyediakan taman begitu indah.

Adapun taman di dalam rumah. Itu sengaja dirinya buat untuk menyegarkan pikirannya tatkala ia merasa lelah.

"Astaga, ke mana gadis bodoh itu? Dia bahkan meninggalkan adiknya bermain sendirian di tanah." Angkasa berjongkok di hadapan Peter yang asik bermain tanah.

"Di mana kakakmu?" tanya Angkasa dijawab senyuman saja oleh Peter.

"Aku lupa, kau belum bisa berbicara. Sia-sia saja aku bertanya padamu." Angkasa pun berdiri kembali.

"Sophia!" panggil lagi Angkasa.

"Aku di sini, Tuan Muda!" teriak Sophia dari atas pohon.

Angkasa mencari asal suara tersebut, tapi matanya tak menemukan kehadiran seseorang di sekitarnya selain Peter.

"Tuan Muda, tolong aku!"

"Sophia, datanglah ke hadapanku! Jangan bermain-main seperti anak kecil!" peringat Angkasa berkacak pinggang.

"Aku di sini, Tuan Muda!" Suara Sophia semakin bergetar.

"Di mana?"

"Di atas mu," jawab Sophia memeluk batang pohon begitu erat ia sangat amat takut terjatuh.

Angkasa seketika mengangkat pandangannya, dan benar saja Sophia berada di atasnya, memeluk batang pohon dengan erat seperti ulat bulu.

Angkasa menepuk jidatnya sendiri.

"Kau ini sedang apa di sana? Aku mempekerjakan mu untuk merawat taman di rumahku, bukan cosplay jadi ulat bulu," rancau Angkasa memegang kepalanya yang terasa pusing.

Sebenarnya Sophia itu kakaknya atau adiknya Peter? Peter di sana meskipun bermain tanah tapi dia juga menanam tanaman meski tak ditanam dengan benar.

Sementara kakaknya malah cosplay jadi ulat bulu. Apakah ini yang Tuhan sebut dengan jiwa yang tertukar? Ugh.

"Saat aku sedang bekerja ada kucing yang mengeong di atas sini, lalu aku pun membantunya untuk turun karena aku kira kucing itu tidak bisa turun. Tapi sekarang aku sendiri yang tak bisa turun," rengek Sophia menangis tanpa air mata.

"Tuhan, aku akan membayar mahal padaMu jika Kau bisa menurunkan obat untuk menyembuhkan kebodohan Sophia. Wajahnya sangat imut tapi otaknya benar-benar membuatku pusing. Selamatkan anak cucuku nanti dari kebodohan seperti Sophia," rutuk Angkasa menutup matanya tak kuasa dirinya dengan tingkah laku Sophia.

"Baik, sekarang melompat lah ke bawah, aku akan menangkap mu!" Angkasa merentangkan dua tangannya bersiap untuk menangkap Sophia.

"Jangan berbohong!" peringat Sophia takut justru nanti Angkasa malah akan membiarkannya jatuh.

"Cepatlah! Tangan ku sudah pegal," sergah Angkasa.

Sophia pun berusaha untuk menyeimbangkan dulu tubuhnya, ia merapatkan matanya lalu menjatuhkan dirinya, angin bertiup kencang rok pendek yang Sophia pakai tersingkap. Karena hal itulah Angkasa dapat semakin jelas melihat ****** ***** Sophia.

"Astaga, warna merah yang mematikan," umpat Angkasa langsung menutup wajahnya. Jelas hal itu membuat Sophia akhirnya jatuh ke tanah.

Sophia terdiam beberapa saat, ia tak bisa bernapas karena benturan yang sangat keras ke tanah.

"Sophia!" Angkasa baru saja teringat pada Sophia akan tetapi sayang dia sudah terlambat.

"Kamu berbohong padaku. Semoga Tuhan memberikan mu rasa sakit yang kurasakan juga saat ini," rintih Sophia mencoba bangun dengan usahanya sendiri.

Angkasa terkekeh melihat Sophia yang sepertinya mengalami syok. Wajahnya bengong begitu.

"Maafkan aku. Semuanya terjadi gara-gara ****** ***** berwarna merah mu itu. Dia membuatku kehilangan fokus," sesal Angkasa membantu Sophia untuk berdiri.

"Lagian kenapa kamu memakai baju compang-camping seperti ini? Ke mana pakaian maid mu?" Angkasa menyandarkan tubuhnya ke pohon dan menyilangkan tangannya di dada.

"Aku, kan sudah tidak bekerja lagi di dalam rumahmu, karena itu Agatha mengambil lagi pakaian maid ku. Kata Arthur pekerja kebun bebas memakai pakaian apa pun. Dan hanya pakaian ini yang ku punya," jawab Sophia memegang selang untuk melanjutkan kembali pekerjaannya menyirami bunga.

"Kenapa kamu pulang?" tanya Sophia karena tak biasanya ia melihat Angkasa di jam segini.

"Aw, apakah aku harus memiliki alasan untuk pulang ke rumahku sendiri?" balas Angkasa dengan pertanyaan.

"Kamu benar. Ini, kan rumah mu, ya." Sophia terkekeh sendiri.

Sophia menghadapkan selang itu ke wajahnya ketika air tak muncul, semakin Sophia mendekatkan wajahnya air pun keluar. Alhasil air tersebut membasahi wajahnya Sophia, karena kehilangan keseimbangan air itu pun menyirami seluruh badannya.

Angkasa langsung mematikan keran airnya. Pandangan matanya berhenti di punggung Sophia yang kini tembus pandang gara-gara air. Punggungnya yang putih mulus dapat dilihat dengan jelas.

"Terima kasih," ucap Sophia membalikkan badannya.

Angkasa limbung hingga mundur satu langkah melihat keadaan depan Sophia. Semuanya tercetak jelas, bra merahnya yang kebesaran pun dapat dirinya lihat, perut kecilnya, bentuk pinggangnya, hingga leher jenjang Sophia yang terlihat lebih menggoda karena tetesan air.

"Sophia...." Angkasa langsung menarik tangan Sophia pergi dari taman rumah. Saat ini dirinya benar-benar marah pada Sophia.

Jika ini ketidaksengajaan, maka ketidaksengajaan apa yang dimaksudkan sehingga setiap kali bersama Sophia selalu saja ada hal yang menggoda imannya? Membuat dirinya frustasi saja.

"Arthur, jaga Peter! Aku akan membawa Sophia pergi dari sini."

Desas-desus pun kembali terjadi di antara para maid. Mereka mengasihani Sophia yang sepertinya akan dihukum oleh tuannya karena terlihat jelas raut marah di wajah tuannya itu.

"Ke mana kamu akan membawaku?" tanya Sophia tak memiliki kekuatan untuk melepaskan dirinya dari Angkasa.

"Kau diam saja!"

Follow Ig : maeee331

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!