Makan malam

Angkasa meneruskan langkahnya lagi setelah tadi terhalang oleh prahara bersama Sophia.

"Kenapa kau terus mengikuti ku?" tanya Angkasa menoleh ke belakangnya untuk melihat Cooper.

"Tentu saja untuk mengantarkan mu hingga ke kamar. Aku harus memastikan kamu selamat sampai tujuan."

"Oho, kau berlebihan sekali. Aku bukan bidadari yang harus diantarkan hingga ke pintu kayangan. Ini rumahku sendiri, aku pasti aman," cetus Angkasa dengan mata yang menyipit.

"Bidadari?" ulang Cooper langsung menutupi bibirnya yang ingin tertawa. Sophia mengatakan bahwa Angkasa adalah pangeran, dan sekarang Angkasa sendiri mengatakan bidadari. Itu seakan menyatu dengan ucapan Sophia tadi.

"Apa yang kau pikirkan, hah?" tanya Angkasa menujuk Cooper dengan dagunya.

"Tidak ada," balas Cooper menggelengkan kepalanya berulang kali agar Angkasa percaya.

"Pergilah! Aku butuh istirahat," perintah Angkasa melonggarkan dasinya.

Angkasa kembali menaiki anak tangga, sementara Cooper putar arah dan menuruni anak tangga.

Angkasa menghembuskan napasnya. Lelah sekali setelah seharian penuh bekerja, benaknya sudah membayangkan rasa enaknya saat tubuhnya yang lelah direndam di air hangat. Pokoknya malam ini dirinya akan memanjakan dirinya.

Ia pun masuk ke kamarnya.

"Astaga," umpat Angkasa meloncat kaget ketika membuka pintu dan mendapati seorang anak kecil yang sedang tengkurap sambil memainkan mainannya.

"Demi Tuhan, jantungku hampir copot," keluh Angkasa mengelus dadanya.

Angkasa menelisik wajah anak tersebut, dan ia baru sadar bahwa anak laki-laki itu adalah adiknya Sophia.

"Bagaimana caramu masuk ke sini?" tanya Angkasa berjongkok di depan Peter.

"Dada!" ucap Peter langsung mendudukkan dirinya sendiri, tangannya terus bergerak seakan meminta agar Angkasa memeluknya.

Sayangnya orang dewasa yang saat ini ada di hadapannya tidak peka.

"Dada?" ulang Angkasa mencoba menerka apa maksud perkataan Peter. "Apa dada mu sakit?" tanya Angkasa menyentuh dadanya Peter.

Peter merangkak dan berdiri dengan kaki Angkasa yang dijadikan pegangan untuknya.

"Dada!" ucapnya lagi.

"Aku tidak mengerti dengan maksud mu. Berbicaralah nanti dengan kakakmu." Angkasa memangku Peter, meletakkan anak kecil itu di atas kasurnya, sementara dirinya pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dulu dirinya.

Hanya menghabiskan waktu lima menit untuk membersihkan tubuhnya, dan dua menit untuk mengenakan pakaian dan lain sebagainya. Angkasa kini sudah siap dengan kaos santainya.

Ia melihat pada Peter. Sedikit salut karena anak itu hanya diam di kasur tanpa pecicilan. Anak penurut. Tak ambil waktu lagi ia memangku Peter dan membawanya keluar dari kamar menuju ke lantai bawah.

"Aku tidak terlalu suka anak kecil, tapi yasudah lah," ucap Angkasa menuruni anak tangga sembari sesekali melihat pada Peter.

"Sedang apa kalian?" tanya Angkasa melihat para maid nya seperti sedang mencari sesuatu hal.

Para maid kompak menegangkan badannya lantas menatap Angkasa.

"Itu Peter!" ucap para maid menujuk Peter yang ada di pangkuan Angkasa.

Peter tertawa dengan keras gara-gara para maid yang memanggil namanya dengan kompak juga menujuk dirinya. Sedikit senyum menyungging di bibir Angkasa.

"Ya ampun, aku sudah lelah mencari mu dan ternyata kamu bersama dengan tuan muda. Bagaimana bisa kamu bersama dengan tuan muda, Peter? Kamu membuatku khawatir saja," kata Sophia sambil berjalan menghampiri Angkasa, ia langsung mengambil alih Peter dari pangkuan Angkasa.

"Maafkan aku, Tuan Muda," lirih Sophia membungkukkan badannya.

"Tidak masalah," balas Angkasa memasukkan tangan ke saku celananya, berjalan melewati Sophia menuju meja makan.

Arthur mendorong kursi yang akan diduduki oleh Angkasa, dan Agatha bersama maid lainnya tengah menyimpan berbagai menu hidangan untuk malam ini.

"Bukankah dunia ini terbalik, Peter? Aku dan kamu makan berdua makanannya hanya satu piring berdua, dan tuan muda itu hanya makan seorang diri tapi menunya seperti untuk satu gedung kosan kita," bisik Sophia membawa Peter untuk pergi ke dapur. Sekarang juga sudah waktunya buat Peter makan.

Peter terus melihat pada Angkasa, satu tetes air liur keluar dari mulut kecilnya itu. Angkasa menoleh pada Peter dan mendapati Peter yang seperti itu.

"Sophia!" panggil Angkasa.

"Iya, Tuan Muda?" Sophia membalikkan badannya.

"Adikmu sepertinya lapar. Makanlah di sini bersama ku!" pinta Angkasa melihat Agatha yang sedang menyiapkan piring untuknya, juga meletakkan berbagai hidangan yang biasa dirinya makan di piring tersebut.

"Tidak, Tuan Muda. Terima kasih atas tawaranmu. Kami akan makan di dapur saja," tolak Sophia dengan hormat.

"Aku bilang, makan bersama ku!" titah Angkasa penuh penekanan.

Sophia menatap Arthur dan Agatha, dua kepala pelayan itu menganggukkan kepalanya, memberi isyarat supaya Sophia menuruti apa yang diinginkan Angkasa.

Sophia berjalan sedikit demi sedikit, ia asa-asa karena semua orang pun tahu bahwa dirinya hanyalah pelayan baru. Dirinya takut menimbulkan masalah. Dan matanya pun melihat jelas maid-maid yang lain berdesas-desus, itu pasti sedang membicarakan dirinya.

Sophia duduk lantas mendudukkan Peter di kursi satunya lagi.

Angkasa memberi isyarat kepada semua maid untuk meninggalkan dirinya karena dirinya akan makan sekarang.

"Beri makan adikmu, apa pun yang dia inginkan!" ucap Angkasa sambil memotong daging, menyuapkan potongan daging tersebut ke mulutnya. Hanya fokus pada makanannya.

Sophia mengambil satu daging yang sama dengan Angkasa, ia menyuapi Peter. Siapa yang menyangka bahwa Peter akan begitu menyukainya hingga dia melahap dengan cepat.

"Kamu juga makanlah! jangan hanya memberi makan adik mu!" titah Angkasa.

Sophia menatap dari ujung sana ke ujung sini menu makanannya, entah kenapa di matanya tidak ada yang terlalu menarik. Atau mungkin karena dirinya yang sedang sakit perut jadi tak begitu ingin makan.

"Kenapa tidak makan?" tanya Angkasa mengacungkan garpunya, membuat Sophia menyangka bahwa saat ini Angkasa tengah mengancamnya.

"Aku tidak tahu harus makan apa. Aku sedang tidak ingin makan."

"Cobalah hati angsa ini!" Angkasa menyodorkan piring berisi hati angsa yang masih utuh.

"Makan saja. Itu enak," ucap Angkasa melihat Sophia yang malah menatap hati angsanya dan tidak memakannya.

Sophia memotong hati angsa tersebut dengan potongan kecil, ia menyuapkan hati angsa tersebut dengan harap itu akan enak, meski di matanya terlihat bahwa hati angsanya tidaklah enak.

"Ini enak," puji Sophia matanya berbinar.

"Peter, cobalah ini!" Sophia memberikan satu suap hati angsa pada Peter.

Satu hingga tiga suap Sophia merasa baik-baik saja dengan makanannya, sampailah pada suapan terakhir Sophia merasakan mual di perutnya.

"Ada apa?" tanya Angkasa panik melihat Sophia yang mengulum bibirnya.

"Tidak enak. Sepertinya aku akan muntah." Sophia membekap mulutnya, menahan dirinya supaya tak muntah. Ia ingin berlari namun ia juga tahu kalau ia lari pasti tak akan bisa menahan muntahnya.

Angkasa dan Sophia saling menatap. Sophia semakin tak bisa menahan dirinya.

"Jangan muntah di sini!" pekik Angkasa merengkuh tubuh Sophia, memangku Sophia seperti seorang penculik dan membawa lari Sophia ke kamar mandi.

Setibanya di kamar mandi Angkasa langsung menurunkan Sophia, dan dirinya sendiri langsung berlari keluar lagi kemudian menutup pintunya.

Napasnya begitu terengah-engah.

Sophia setelah mengeluarkan seisi perutnya, dirinya merasa lega dan kembali menghampiri Angkasa.

"Buka, aku sudah selesai!"

Angkasa membuka pintunya. Ia hanya mampu menghela napas melihat penampilan Sophia yang acak-acakan. Menyisir rambutnya ke belakang sembari berjalan lebih dulu.

Suara hujan terdengar semakin deras, di saat yang sama guntur menggeledek dengan kerasnya, dibarengi oleh petir yang terlihat jelas bentuknya.

"Aaaaa...," teriak Sophia melompat ke pangkuan Angkasa secara spontan. Hal yang paling menakutkan baginya adalah suara guntur dan petir.

"Apa kamu takut guntur?" tanya Angkasa mengerutkan keningnya melihat Sophia yang begitu erat melingkarkan tangan di lehernya. Seandainya tak dilonggarkan pasti dirinya akan mati kehabisan napas.

Angkasa membiarkan Sophia berada di pangkuannya namun ia tak mencekal tubuh Sophia, tangannya diam di tempat.

"Aku sangat takut," rengek Sophia.

"Turunlah! Guntur sudah tidak ada!"

Baru saja kaki Sophia mau menyentuh lantai, tiba-tiba saja guntur kembali menggeledek dan lampu pun mati.

Alhasil Sophia kembali memeluk Angkasa dengan erat.

"Apa kamu juga takut dengan kegelapan?" tanya Angkasa satu tangannya berada di punggung Sophia, satu tangannya lagi berada di saku celananya.

"Iya. Aku sangat takut guntur, petir, hantu dan kegelapan juga," aku Sophia memejamkan matanya begitu erat. Ia takut kalau membuka matanya ada hantu di depannya.

"Sejak kapan?" tanya Angkasa meletakkan dua tangannya di bokong Sophia. Lama-kelamaan Sophia juga terasa berat.

"Sejak lahir. Ibuku bilang aku lahir ketika hujan badai dan mati lampu."

"Pantas kehidupan mu sangat gelap," cibir Angkasa.

^^^Follow Ig : maeee331^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!