Rumah Sakit

Angkasa masuk ke ruang yang diarahkan oleh Cooper, di mana di sana Sophia dan Peter dirawat.

Sebuah rumah sakit yang mewah dengan peralatan medis tercanggih di kotanya. Bahkan kini Sophia dan Peter dirawat di ruangan VVIP.

"Apa yang akan kau lakukan dengan ibu dan anak ini setelah mereka sadar?" tanya Cooper dengan tangan kiri yang memegang Ipad dan tangan kanannya memegang kacamata kerjanya.

Angkasa membuka kancing jasnya, duduk di kursi tepat di samping kasur Sophia.

"Pekerjakan dia di rumahku," ucap Angkasa menyilangkan kakinya.

"Apa yang bisa dikerjakan seorang ibu yang memiliki anak? Dia hanya akan menjadi beban," bantah Cooper.

"Aku memintamu untuk mempekerjakan dia di rumahku, bukan rumahmu. Rumahku, terserah pada diriku," sahut Angkasa penuh penekanan.

"Kau benar. Kalau begitu aku keluar dulu untuk menghubungi kepala pelayan di rumah mu dan aku juga sepertinya harus pergi ke kantor untuk mengambil beberapa dokumen yang perlu kau tandatangani sore ini juga," jelas Cooper.

"Pergilah!"

"Baik, aku permisi," pamit Cooper lantas menutup kembali pintu ruangannya.

Angkasa menatap serius wajah Sophia yang masih enggan untuk tersadar. Entah kenapa ia merasa begitu damai hanya dengan melihat wajah Sophia. Seakan beban yang dirinya tanggung selama bertahun-tahun dapat dilepaskan hanya karena melihat wajahnya.

Angkasa membuang muka dari Sophia.

"Peter!" panggil Sophia masih memejamkan matanya, tubuhnya bergerak gelisah.

Angkasa langsung datang menghampiri.

"Peter!" panggil lagi Sophia.

"Siapa Peter? Mungkinkah kekasihnya atau nama anaknya?" gumam Angkasa.

"Peter!"

Dalam sekejap Sophia membuka matanya, menatap wajah Angkasa seperti orang linglung. Ia melirik ke kiri dan kanannya, melihat ke kasur yang sedang di tidurinya.

Matanya berbinar melihat kemewahan yang terdapat dalam ruang rawatnya. Sekali lagi ia menatap Angkasa.

"Jadi begini rasanya berada di surga?" Sophia tersenyum, memejamkan matanya menikmati kenikmatan yang ia rasakan di ruangan ini.

"Surga pantatmu," cibir Angkasa tersenyum smirk seraya menggelengkan kepalanya berulang kali, membuang muka dari Sophia dengan tangan yang menyilang di dada.

"Nyaman sekali. Tahu kalau aku akan masuk surga mungkin aku akan meninggal sudah dari dulu. Ah...aku berharap aku berada di surga selamanya."

Sophia langsung mengernyitkan keningnya tatkala kakinya berdenyut sakit. Mengangkat kakinya ke langit, lantas melihatnya.

"Wow, kenapa kaki ku dibungkus? Ah, aku terluka saat masih di bumi. Tapi kenapa kaki ku harus dibalut? Aku pikir di surga aku tidak akan merasakan sakit lagi. Hm, mungkin saja di surga ada pembaruan."

"Lupakan saja. Bahkan jika aku tertidur selamanya di sini, aku rela. Manusia miskin mana yang akan menolak kenyamanan seperti ini?"

"Ah, Tuhan. Aku tidak menyesal telah bunuh diri."

Angkasa menyentil kening Sophia sangat kuat. Lelah sekali ia mendengar ocehan gadis bodoh.

"Ah," rintih Sophia menyentuh keningnya.

Ia membuka mata dan menatap Angkasa.

"Apa kau malaikat yang Tuhan utus untuk menjadi pangeranku?" tanya Sophia bangkit dari tidurnya. Menatap dengan detail wajah Angkasa.

Laki-laki yang ada di hadapannya bisa dikatakan sangat sempurna. Garis rahangnya terbentuk dengan indah, wajahnya tampan bahkan ia tak pernah melihat ketampanan seperti laki-laki yang ada di hadapannya semasa hidup, dan postur tubuhnya sangat sempurna.

"Eey, Sophia kau sangat beruntung. Pahala apa yang kau lakukan selama di dunia sehingga kau ditempatkan di surga dan bahkan diberi pangeran yang sangat tampan? Kau beruntung sekali Sophia. Mungkin ini berkat kesabaran kau selama di dunia." Sophia memegang dadanya.

"Kau sangat tampan. Aku menyukai mu bahkan sebelum kamu berbicara."

"Tapi tunggu!" Sophia memegang dagunya, ia merasa ada yang hilang tapi ia tidak tahu apa itu.

Sophia menjentikkan jarinya tatkala mengingat. "Adikku Peter," ucapnya.

"Pangeranku, di mana adikku?" tanya Sophia melihat Angkasa.

Pangeran pantat mu. Bagaimana mungkin aku menjadi pangeran untuk gadis bodoh seperti mu. Batin Angkasa menggerutu.

"Aku bertanya padamu. Kenapa kamu hanya diam?" Sophia meraih tangan Angkasa.

"Di mana kamu meletakkan adikku? Aku harus bertemu dengannya. Dia mungkin sedang kebingungan mencari ku saat ini."

"Maksud mu anak yang ada di samping mu itu?" tanya Angkasa menujuk menggunakan dagunya.

Sophia langsung saja melihat ke sampingnya, menatap ke arah tempat bayi yang di dalamnya terdapat Peter yang sedang asik bermain dengan mainannya.

"Oh, Pangeranku yang tampan dan baik hati, terima kasih karena kamu tidak menjauhkan aku dengan adikku. Aku akan sangat bersedih jika berjauhan dengan dia," aku Sophia memegang kembali tangan Angkasa.

"Jadi dia bukan anak mu?" tanya Angkasa menatap silih berganti antara Peter dan Sophia.

"Anakku? Bagaimana mungkin aku memiliki anak? Selama di dunia aku sibuk membiayai hidup ku dan adikku. Bahkan aku tidak pernah kenal dengan satu pria pun. Aku ini gadis yatim-piatu yang miskin. Makanya bertemu dengan mu adalah sebuah anugerah untukku," curhat Sophia tersenyum manis pada Angkasa. Tersenyum hingga membuat matanya menyipit.

"I LOVE YOU, TUHAN."

"AKU BAHAGIA KARENA BERADA DI SURGA MU," teriak Sophia seraya merentangkan tangannya, kepalanya menengadah ke langit dengan mata yang terpejam.

"Surga pantatmu. Kau berada di rumah sakit, bukan di surga," ucap Angkasa menoyor kepala Sophia dengan jari telunjuknya, sedikit mendorongnya namun siap sangka malah membuat Sophia jatuh terbaring.

"Rumah sakit?" ulang Sophia menatap kembali ke setiap pojok ruangan ini.

"Tidak mungkin. Rumah sakit tidak mungkin ada yang semewah ini. Aku pernah ke rumah sakit dan di sana bahkan tidak ada kursi tunggu yang mewah seperti di sini, bahkan ranjang rumah sakit pun sangat tidak nyaman," elak Sophia masih yakin bahwa saat ini dirinya di surga.

"Itu karena rumah sakit yang kau tempati adalah rumah sakit orang miskin seperti mu. Kali ini berbeda," cemooh Angkasa menyandarkan tubuhnya ke tembok, menyilangkan kaki dan tangannya.

"Apa kau tidak berbohong?" tanya Sophia menghadapkan tubuhnya pada Angkasa.

"Tuhan mana yang akan memasukkan gadis bodoh seperti mu ke surganya, hah?"

"Lalu kenapa aku ada di sini? Bukankah terakhir kali aku akan bunuh diri di pantai?" Sophia menggaruk kepalanya yang semakin kebingungan.

"Cih." Angkasa berdecih. Ia sampai kehabisan tenaga dan kata-kata berhadapan dengan gadis yang ada di hadapannya saat ini. Sangat bodoh dan cerewet, membuat gendang telinganya sakit saja.

"Apa kau menyelamatkan aku?" tanya Sophia.

"Menurut mu?" tanya balik Angkasa.

"Jika itu benar, tapi kenapa kamu menyelamatkan aku?"

"Siapa dirimu?" tanya Sophia.

Hening. Angkasa enggan untuk menjawab dan Sophia masih menunggu Angkasa untuk berkata sehingga terciptalah keheningan saat ini.

"Siapa namamu?" tanya Angkasa.

"Sophia Willen," jawab Sophia menyentuh dadanya. "Dan itu adikku, Peter Willen."

"Dan siapa dirimu?"

"Aku,-" Angkasa kembali mengatupkan bibirnya tatkala pintu ruangan terbuka.

"Permisi, Tuan Muda. Saya datang atas panggilan Cooper!" ucap Arthur berdiri dengan tegap, masih memakai seragam kerja hitam putih yang rapi.

Arthur adalah kepala pelayan di rumah Angkasa. dia sudah mengabdikan hidupnya pada keluarga Phoenix semenjak orangtua Angkasa baru menikah hingga sekarang Angkasa sudah dewasa ia masih bekerja dengan baik di rumah tersebut. Arthur sudah berusia lima puluh tahun saat ini.

"Angkasa, malam ini kita ada pertemuan penting bersama beberapa pemilik perusahaan. Dan masih banyak dokumen yang perlu kau tanda tangani di kantor. Aku tidak merasa bahwa aku bisa membawa semuanya ke mari, karena itu menurutku ada baiknya kita pergi saja ke kantor," saran Cooper yang baru saja tiba.

"Dan tentang mereka, aku pikir Arthur bisa mengurusnya untukmu." Cooper berbicara tentang Sophia dan Peter.

"Hm, baiklah." Angkasa mengangguk menyetujui usul Cooper.

"Arthur, bawa mereka ke rumah ku!" Angkasa menggaruk kelopak matanya yang tiba-tiba gatal.

"Jangan biarkan dia melakukan apa pun sebelum kakinya sembuh. Dan panggil dokter ke rumah setiap hari untuk mengecek keadaannya. Jika dia sudah sembuh, kamu bisa menempatkan dia di pekerjaan yang paling cocok dengannya!" perintah Angkasa.

"Baik, Tuan Muda."

"Aku percaya padamu!" Angkasa menepuk pundak Arthur sebelum akhirnya keluar dari ruang rawat ini.

Sophia hanya bisa terdiam sebab tak mengerti dengan semua yang terjadi saat ini.

Jadi saat ini dirinya belum berada di surga? Ugh, menyebalkan sekali.

"Aku ingin pergi ke surga," rancau Sophia kembali berbaring.

Jika benar dirinya masih di dunia, maka saat ini dirinya harus menikmati ranjang rumah sakit dan segala halnya yang ada di sini sebelum kembali ke rumahnya yang bahkan alas tempat tidurnya hanyalah kain yang sudah usang.

"Huft!" Sophia menghela napasnya.

^^^Follow Ig : maeee331^^^

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!