Laut

Jejak dari kaki yang berdarah tersapu bersih oleh air hujan yang turun kian semakin deras. Namun bukan hanya air hujan yang semakin deras, air mata yang keluar dari mata seorang gadis yang kini tubuhnya semakin melemah pun terus mengalir deras.

Sophia berjalan sudah sangat jauh, kini di hadapannya terdapat hamparan pasir yang tersapu ombak berulang kali.

"Tuhan, kaki ku dilangkahkan oleh Mu dan aku berdiri di sini atas kehendak Mu. Mungkin rencana yang ada di pikiran ku saat ini juga bagian dari takdir yang telah Kau tentukan," ucap Sophia tubuhnya semakin gemetar.

"Ayah, Ibu, aku takut ketika aku telah tiada pun aku tak bertemu dengan kalian, akan ku sampaikan permintaan maafku pada kalian di saat-saat terakhir hidupku."

"Ayah, Ibu, aku sudah berusaha, aku sudah berjuang juga. Beberapa minggu lalu, aku membuat banyak janji pada Peter karena aku akhirnya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar, tapi karena kesalahanku juga akhirnya aku dipecat dan aku pun tak bisa menepati bahkan satu janjiku pun pada Peter."

"Aku lelah, Ayah!"

"Ibu, anakmu yang dahulu kau ajarkan untuk berdiri tegak ternyata sampai saat ini dia lumpuh jika tanpa adanya dirimu di sisinya. Anakmu yang dahulu kamu ajarkan berjalan, sampai saat ini langkahnya tertatih-tatih karena ia berjalan sambil membawa beban yang terlalu berat baginya."

"Dan untukMu Tuhan, hambaMu yang Kamu hidupkan ternyata tak bisa bertahan dari hujaman ujian dariMu. Seharusnya Engkau berikan ujian pada mereka yang hidupnya bahagia, bukan pada seorang gadis yang hidup tanpa ayah dan ibu, juga harus mengurus adiknya yang masih kecil. Dia bahkan sampai membenci dirinya sendiri karena tak bisa melewati semua ujian dariMu, Tuhan."

"Ayah, Ibu, dan Tuhan, maafkan aku! Aku tidak memiliki cara apa pun lagi untuk mengakhiri penderitaan hidup ku selama ini selain daripada dengan ini."

Sophia berjalan mendekati ombak, perlahan-lahan masuk ke laut dengan tubuh yang mencoba untuk tetap berdiri tegak, tubuhnya semakin tinggi terendam air laut.

"Aku mencintaimu, Peter Adikku," ucap Sophia tatkala setengah badannya sudah terendam air.

"Gadis gila," umpat Angkasa berlari untuk menyelamatkan Sophia.

Angkasa melompat pada tubuh Sophia yang akan hanyut terseret ombak, dengan erat memeluk perut Sophia, dan dengan susah payah ia membawanya kembali ke daratan.

Cooper sambil membawa payung mendekati Angkasa. Cooper adalah teman sekaligus sekertaris Angkasa.

"Kita harus segera membawa mereka ke rumah sakit," ucap Angkasa begitu tergesa membawa Sophia untuk masuk ke dalam mobilnya.

Untuk saat ini Sophia maupun Peter, keduanya tak sadarkan diri. Dan bahkan ketika kehilangan kesadaran pun Sophia masih begitu erat memeluk erat Peter.

"Cepat jalan!" perintah Angkasa yang saat ini duduk di kursi belakang menopang kepala Sophia di pahanya. Dirinya mengambil Peter yang ada di pangkuan Sophia supaya Peter tak merasa tercekik dengan pelukan erat Sophia.

"Ada apa dengan mu malam ini, Angkasa? Kamu baru melakukan hal seperti ini untuk pertama kalinya. Biasanya jika ada seseorang yang jika dia bunuh diri di hadapan mu pun kamu tidak peduli padanya," ujar Cooper sesekali menatap Angkasa dari pantulan kaca.

"Jika dia bukan wanita miskin yang menyedihkan aku pun tidak akan peduli padanya. Terlebih dia akan bunuh diri setelah dipecat dari pekerjaannya. Dan dia dipecat karena aku."

"Dan dia juga sudah memiliki seorang anak. Jika hanya wanita ini yang mati aku tak peduli, tapi jika dia membawa seorang anak yang masih belum memiliki dosa aku takut anak ini akan mengadu pada Tuhan dan akhirnya Tuhan sendirilah yang menghukum ku."

"Itu masuk logika," jawab Cooper menganggukkan kepalanya.

"Cooper, bukankah wanita ini terlalu muda untuk memiliki seorang anak?" tanya Angkasa menatap wajah Sophia yang begitu pucat namun terlihat damai.

"Ya, mungkin saja dia menjual dirinya untuk bertahan hidup. Dan siapa yang tahu mungkin saja terjadi kecelakaan yang membuatnya memiliki anak dan ayah dari anak itu tidak mau bertanggung jawab. Well, cerita seperti itu tidak asing lagi di kalangan gadis jalanan sepertinya."

"Kenapa kamu bertanya?" Cooper menatap curiga Angkasa.

"Apa salah jika aku bertanya?" tukas Angkasa intonasi suaranya begitu dingin.

"Tidak."

Angkasa menatap Sophia untuk waktu yang cukup lama, sesekali menatap Peter juga yang kini dirinya balut menggunakan jasanya untuk menghangatkan tubuh kecil Peter.

Tangannya menyapu bibir ranum Sophia. Kecil, tipis, pink alami, dan terlihat sangat menggoda. Sangat pas dengan bentuk wajahnya.

Angkasa tersenyum smirk ketika melihat ibu jari bekas menyapu bibir Sophia. "Tidak heran," ucapnya melihat tidak ada sedikit pun bekas lipstik yang tertinggal di ibu jarinya.

"Mereka terlihat sangat mirip," ujar Angkasa yakin setelah menelisik wajah Sophia dan Peter.

"Tentu saja. Mereka anak dan ibu," sahut Cooper.

Sebenarnya sesaat setelah Sophia dipecat....

"Tuan, saya sangat menyesal atas kecerobohan pegawai kami. Tolong maafkan kami. Kami akan ganti rugi dan juga berjanji hal tersebut tidak akan terulang lagi di masa depan," lirih Milly membungkuk di hadapan Angkasa.

Angkasa membuang muka dari Milly, tangannya yang kekar disembunyikan di balik saku celana. Sebab inilah dirinya malas untuk pergi ke suatu tempat yang di mana mereka adalah kalangan orang biasa. Mereka terlalu mengagungkan dirinya seakan dirinya ini Tuhan. Hal itu sungguh membuatnya risih dan jengah.

Sejujurnya, ia lebih suka diperlakukan biasa saja seperti layaknya orang pada umumnya.

"Ayo, pergi!" ajak Angkasa keluar terlebih dahulu lantas Cooper menyusulnya.

Angkasa menatap Sophia yang sedang duduk di depan toko pakaian dari dalam mobil. Sedikit rasa bersalah terasa di hatinya melihat keadaan Sophia yang menyedihkan.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Cooper sebelum menyalakan mesin mobilnya.

"Pulang," jawab Angkasa memalingkan wajahnya dari Sophia.

Lupakan saja, dia hanya gadis miskin yang jika pun dipecat karena dirinya itu tidak akan membuat dia berani melawan dirinya.

Tak seharusnya ia berlarut memikirkan gadis tersebut.

Cooper memutar arah, mulai menerjang derasnya hujan untuk mengantarkan Angkasa pulang.

"Berhenti!" perintah Angkasa masih belum jauh dari toko roti tadi.

"Ada apa?" tanya Cooper membalikkan badannya.

"Kita kembali lagi ke toko roti tadi," perintah Angkasa. Ia mencoba untuk tidak peduli pada gadis tadi, namun pikiran dan hatinya benar-benar membuatnya frustasi.

Hujan jenis apa malam ini sehingga membuatnya ingin berbaik hati pada gadis yang bahkan tidak dirinya kenali?

"Memang ada apa?" tanya Cooper masih belum melajukan mobilnya.

"Berhenti bertanya. Putar arah saja," perintah Angkasa tatapannya begitu tak bersahabat.

Cooper pun memutar lagi arah mobilnya, berjalan kembali ke toko roti.

Sesampainya di sana Angkasa tak mendapati Sophia lagi. Ia menatap ke dalam toko roti namun tak menemukan wajah Sophia di antara yang lainnya.

"Temukan gadis tadi yang menabrak ku!" pinta Angkasa secara tersirat meminta supaya Cooper melajukan lagi mobilnya dan jangan berhenti sebelum menemukan Sophia.

"Untuk apa kamu mencarinya? Apa kamu akan minta ganti rugi?"

"Aku bilang berhenti bertanya dan jalankan saja semua perintah ku!" tegas Angkasa.

Jalanan yang dilewati dari toko roti cukup jauh, dan Angkasa saat ini sudah mendapati Sophia yang sedang berjalan kaki di bawah derasnya air hujan, ia mengikuti dengan mobil.

Dan tibalah Sophia di pantai.

"Dia mencoba untuk bunuh diri!" teriak Cooper.

Angkasa langsung keluar dari mobilnya, berlari untuk menyelamatkan Sophia.

"Gadis gila," umpatnya.

Terpopuler

Comments

🦩NEYRA 🐚

🦩NEYRA 🐚

Ngangenin

2023-09-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!