Merindukan Ibu

Angkasa membantu Sophia untuk menyadarkan tubuhnya ke kepala ranjang.

"Makanlah!"

Sophia akhirnya memakan bubur tersebut dari suapan Angkasa.

Beberapa kali mengunyah tiba-tiba saja Sophia menangis dengan keras, ia menghapus air mata dengan pergelangan tangannya.

"Ada apa? Apa buburnya tidak enak?" tanya Angkasa panik, meletakkan mangkuk di nakas dan mencegah Sophia untuk menghapus air matanya dengan pergelangan tangan.

"Jangan menggunakan pergelangan tangan, itu akan membuat mu sakit," tegur Angkasa lembut.

"Aku tidak ingin makan," ungkap Sophia sembari masih menangis.

"Baiklah, kau tidak perlu makan. Berhentilah menangis, oke?" Angkasa menghapus air mata Sophia dengan ibu jarinya.

Sophia terdiam seraya menatap manik mata Angkasa. Air matanya masih tak berhenti mengalir karena dadanya begitu sesak.

"Aku merindukan ibu," aku Sophia menutupi wajahnya dengan dua telapak tangannya agar Angkasa tak mendengarkan tangisnya. Tuannya meminta ia berhenti menangis pasti karena merasa terganggu.

Angkasa tak bisa berkata apa-apa.

"Aku ingin memeluk Peter. Peter membuatku merasakan kehangatan ibu. Aku mohon, berikan Peter padaku!" mohon Sophia menatap Angkasa dengan mata yang sudah sangat merah.

"Kamu bisa memelukku sebagai gantinya." Angkasa maju lebih dekat, tangannya langsung terulur ke belakang tubuh Sophia untuk menarik Sophia ke pelukannya.

"Peter pasti akan menangis jika melihat mu menangis. Menangislah sebanyak yang kau mau dipelukan ku saja." Angkasa mengelus-elus punggung Sophia agar Sophia lebih tenang.

Sophia melepaskan pelukannya setelah ia merasa lebih baik.

"Setiap aku sakit, ibu akan membuatkan ku bubur dan memaksaku untuk memakannya dengan dalih agar cepat sembuh. Ketika ibu masih ada, aku selalu menolaknya. Tapi sekarang ibu sudah tidak ada dan aku merindukannya. Aku ingin disuapi oleh ibu seperti sewaktu aku kecil," curhat Sophia tak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis.

"Tegar lah! Kita sama-sama anak yatim-piatu. Sebagai seorang yatim-piatu tidak akan ada yang menguatkan mu selain dirimu sendiri," ujar Angkasa mengelus kepala Sophia.

Mendengar cerita Sophia seketika ia pun teringat pada masa lalunya. Ingin sekali ia mengatakan bahwa Sophia masih beruntung karena ibunya ada untuk menyuapinya ketika sakit.

Sementara dirinya, mau sembuh ataupun sakit, yang selalu ada hanya Agatha dan Arthur. Orangtuanya begitu sibuk dengan pekerjaan hingga membuat mereka lupa bahwa mereka memiliki anak.

Bahkan dulu dirinya menganggap bahwa Arthur dan Agatha lah orangtuanya.

"Aku ingin bertemu dengan ibu."

"Kau tidak boleh berkata begitu. Jika kau menemui ibumu lalu bagaimana dengan adikmu Peter?"

Angkasa memindahkan Sophia dengan entengnya, ia lalu bersandar di tumpuan ranjang, lantas ia membuat Sophia tidur di atas pahanya.

"Apa ini?" Sophia merasa janggal dengan paha Angkasa, ada yang mengganjal dan rasanya tak nyaman.

Angkasa memejamkan matanya seraya mengigit bibir bawahnya. Sialnya, niat hati ingin perhatian tapi juniornya malah berada di tempat yang salah.

Sophia tengkurap karena penasaran, lantas ia memegang dengan polosnya. Membuat Angkasa kalang kabut, ia bingung harus bergerak bagaimana. Di saat sudah menyentuhnya, Sophia masih tak mengetahui apa yang sedang dipegangnya. Apa Sophia benar-benar sepolos seperti anak kecil? Ini membuatnya frustasi.

"Ini seperti...."

"Pulpen," sergah Angkasa menepis tangan Sophia, ia segera beranjak berdiri lalu pergi untuk membenarkan juniornya. Gawat jika Sophia kembali menyentuhnya.

"Ternyata aku benar-benar bodoh. Selama aku hidup, aku baru tahu kalau ada pulpen sebesar itu," celoteh Sophia.

Angkasa baru masuk kembali ke dalam kamar sembari membawa satu buah apel yang masih utuh, dirinya mendengar apa yang Sophia katakan barusan. Beruntunglah karena Sophia bodoh dan polos, jika tidak, tidak masalah juga sih.

"Jika kau tidak ingin makan bubur, makanlah buah ini! Perut mu harus diisi meskipun sedikit, agar ketika meminum obat itu dapat berpengaruh pada tubuhmu," kata Angkasa sambil membelah apelnya menjadi dua, tak lupa ia juga mengupasnya.

"Kepalaku sakit lagi," adu Sophia menjatuhkan buah apel yang sudah dikupas Angkasa.

"Tidurlah di pahaku, aku akan menyuapi mu!" Angkasa pun membuat Sophia kembali tidur di pahanya, tangannya memotong-motong kecil buah apelnya lalu menyuapi Sophia satu persatu.

"Dahulu, ketika ibu masih ada, aku sangat bahagia hidup bersamanya meskipun kita miskin. Makan seadanya dan tidur saling berpelukan karena rumah kita yang kecil. Aku selalu ikut ke mana pun ibu pergi, menghabiskan dua puluh empat jam hidupku bersama ibu. Waktu itu aku sangat bahagia." Sophia tersenyum menatap langit-langit.

"Aku tidak tahu kalau setelah aku besar ternyata ibu akan meninggalkanku untuk selamanya. Andai aku tahu, mungkin aku tidak akan terlalu manja padanya dan mencoba untuk membahagiakannya sebisaku meski itu sebentar."

"Ibu, apa kau pikir aku kuat tanpamu? Kau salah besar. Tanpamu aku hidup tanpa arah, tidak ada lagi cinta dan kasih sayang dalam hidupku, semuanya terasa hampa. Aku merindukan kalian. Semoga kalian tidak lupa pada kami,"

"Sekarang kau tahu, kan bahwa bahagia bukan hanya tentang uang? Hidup bersama dengan orang yang kau sayangi adalah kebahagiaan. Uang bisa dicari, tapi orang yang disayang jika mereka tiada maka tidak akan ada gantinya," timpal Angkasa memakan potongan terakhir buah apelnya.

"Kebersamaan bersama orang tersayang dan banyak uang itu akan jauh lebih bahagia," balas Sophia seraya membalikkan tubuhnya menjadi miring menghadap ke perut Angkasa.

"Aku ingin tidur sebentar saja, Tuan."

Sophia benar-benar terlelap di paha Angkasa.

"Bahkan aku tidak pernah perhatian seperti ini kepada adikku. Tapi melihat mu menangis dan bersedih, dadaku merasakan sesak. Mungkinkah karena kita senasib jadi aku merasa iba padamu?" ucap Angkasa menatap lekat wajah Sophia, tangannya pun ia gunakan untuk mengelus-elus rambut Sophia.

Angkasa merasakan pahanya pegal, dan ini pun sudah cukup lama Sophia tertidur di pahanya. Ia mengangkat kepala Sophia untuk dipindahkan ke bantal.

"Ibu, jangan tinggalkan aku!" rancau Sophia memeluk perut Angkasa begitu erat.

"Apa mungkin kau sedang bermimpi bertemu dengan ibumu?" Angkasa mengurungkan niatnya, ia duduk kembali.

"Jangan tinggalkan aku!" rancau Sophia matanya masih terpejam.

"Aku tidak akan meninggalkanmu," sahut Angkasa mengelus kepala Sophia.

"Biar aku bantu!" tawar Arthur yang baru saja tiba di kamar.

"Tidak perlu. Biarkan saja seperti ini," cegah Angkasa.

"Tolong ambilkan saja laptop kerjaku!"

Arthur pun keluar dari kamar, berjalan dengan penuh tanda tanya di kepalanya. Seakan banyak teka-teki tentang Angkasa di otaknya yang coba ia pecahkan.

"Apa sungguh tuan membiarkan Sophia tidur di pahanya?" tanya Agatha mengikuti ke mana Arthur pergi.

"Ya, dan dia juga mengelus kepala Sophia. Agatha, apa menurutmu tuan menyukai Sophia?" tanya Arthur tatkala sudah berada di dalam kamar Angkasa.

"Aku pun tidak tahu, tapi dilihat dari apa yang terjadi aku pikir tuan mungkin memang memiliki perasaan untuk Sophia. Selama aku bekerja bersama tuan, baru kali ini tuan memperlakukan maid nya sebaik pada Sophia. maid bukan sembarang maid."

"Jika benar tuan menyukai Sophia sungguh malang nasib Sophia."

"Bukankah beruntung bagi Sophia dicintai tuan?" tanya Arthur tak mengerti maksud perkataan Agatha.

"Memang beruntung, tapi tuan adalah seorang yang kaya raya, ia tinggal di mansion yang mewah, sementara Sophia gadis miskin yang tak punya apa-apa. Bayangkan bagaimana reaksi rekan-rekan kerja tuan mengetahui tuan jatuh cinta pada gadis miskin? Mereka pasti akan menghina Sophia habis-habisan."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!