Hembusan angin sore menerpa wajah pria itu, lama ia berdiri disana, menatap sebuah pohon yang menyimpan sebuah memori.
"Tuan, tiga jam lagi anda memiliki janji makan malam dengan ketua komisaris."
"Iya, tunggu sebentar lagi." Ray masih menikmati hembusan angin dengan pemandangan hijau yang menyejukkan mata.
Lagi? Anda sudah berdiri disini sejak dua jam yang lalu. Apa kaki anda tidak mati rasa? Astaga tuan Raymond, kau selalu seperti ini saat kita datang kemari. — Batin Yohan.
Tree park, sebuah taman pohon yang tumbuh alami, taman ini adalah tempat dimana Ray sering melepaskan penatnya, di sini juga merupakan tempat kenangannya bersama Angel.
Pohon tua yang tumbuh meneduhkan itu— dulu ia duduk disana, menangis seorang diri. Namun, tiba-tiba ada seorang gadis kecil datang, gadis itu bagaikan malaikat yang memberinya semangat, mengingat semua hal itu, membuat Ray semakin ingin menemukan Angel.
"Tuan, anda sudah berdiri cukup lama disini." Ujar Yohan, kembali mengingatkan.
Ray menghela nafasnya sejenak, kemudian menatap ke arah Yohan.
"Ah baiklah baiklah, kau akhir-akhir ini sangat cerewet sekali." Katanya.
"Maaf tuan."
"Lupakan, ayo pergi." Ujar Ray, sebelum pergi, ia memandang pohon penuh kenangan itu sejenak. Lalu kemudian, ia melangkah pergi menjauh dari sana.
Sesampainya di tempat parkir, Yohan membukakan pintu mobil untuk Ray, setelah Ray masuk ke dalam mobil itu, Yohan menutup pintu mobil itu kembali. Kemudian, ia berjalan menuju bagian kursi pengemudi. Tapi, saat dirinya baru saja ingin masuk ke dalam mobil itu, ekor matanya tak sengaja menangkap sosok yang cukup familiar di ingatannya.
Yohan menoleh, punggung perempuan yang dilihatnya itu benar-benar terlihat tidak asing baginya, perempuan itu seperti Ana.
Bukankah itu nona Ana? Apa yang dilakukannya disini? — Batin Yohan.
"Yohan. Apa yang kau lakukan, kenapa lama sekali?!" Tanya Ray dari dalam mobil.
"Ah iya tuan, maafkan saya." Ucap Yohan yang kemudian masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobil itu.
Ah mungkin aku salah lihat. — Batin Yohan.
"Apa saja jadwalku malam ini?"
"Hanya makan malam dengan ketua komisaris tuan, setelah itu tidak ada jadwal lagi." Jawab Yohan.
Ray mengangguk paham. Setelah itu, ia kembali mengedarkan pandangannya ke luar jendela mobil.
Entah kenapa rasanya aku ingin sekali bertemu dengan perempuan itu, sikapnya yang tidak sopan padaku ternyata membuatku candu untuk selalu melihatnya. — Batin Ray.
"Setelah makan malam dengan ketua komisaris, kita pergi ke restoran calon istriku."
"Eh?"
"Apa kau tuli?!"
"Ah maksud saya, baik tuan."
Saya hanya tidak menyangka kalau anda akan memanggil nona Ana seperti itu tuan. — Batin Yohan.
•••
Kenan membantu Ana duduk di bawah pohon, tempat yang dulu sering digunakan keluarganya untuk menghabiskan akhir pekan bersama.
"Apa kakak merasa dingin?"
Pria itu membenarkan syal yang Ana kenakan. Udara di tempat ini memang cukup dingin, karena banyak pepohonan dan juga dekat dengan pegunungan.
Orang normal mungkin tidak akan terlalu bermasalah dengan udara di sini. Tapi, bagi Ana, ini akan menimbulkan masalah.
"Jangan berlebihan, aku baik-baik saja." Ujar Ana dengan senyumannya.
Kenan kemudian duduk disamping Ana, di kursi panjang taman itu.
"Sudah lama sekali ya." Ujar Kenan.
"Em, lama tidak kemari. Sekarang rasanya seperti kita sedang melintasi ruang waktu untuk melihat kenangan masa lalu."
Ana melihat sekeliling taman itu, bayang-bayang dirinya dan keluarganya saat itu terputar di benaknya.
"Waktu berjalan sangat cepat ya kak."
"Hei, kau juga cepat sekali besarnya. Dulu kau sangat kecil dan pendek, sekarang kau tinggi sekali, bahkan lebih tinggi dariku." Kata Ana.
"Tentu saja, aku ini sudah dewasa."
"Iya iya, kau bahkan sudah punya pacar, sedih sekali rasanya, awas saja kalau kau melupakan kakakmu ini."
"Hei apa kakak sedang cemburu."
"Iya! Aku cemburu kau lebih memiliki banyak waktu dengan pacarmu itu dari pada kakakmu ini." Ujar Ana.
"Oh ya ampun, aku tidak percaya ini. Kakak, bagiku kau tetap nomor satu." Ucap Kenan.
"Kau pasti mengatakan hal yang sama juga pada pacarmu. Pacarku— bagiku kau adalah nomor satu. Benar kan?"
"Waah— bagaimana kakak tahu? Apa kakak seorang paranormal?"
"Ingat, jangan bertindak melebihi batas pada pacarmu, jangan sampai membuatnya seperti Rachel."
"Kakak tidak perlu khawatir soal itu, aku tidak akan lupa memakai pengaman saat melakukannya." Canda Kenan.
Ana rasanya seperti tersedak ludahnya sendiri, adiknya itu dengan vulgar mengatakan hal yang bahkan Ana sendiri sangat malu mendengarnya.
"Hei, Kau! Rasakan ini! Beraninya mengatakan hal seperti itu! Melakukan apa hah?!"
Ana memukul badan Kenan tanpa ampun. Dengan cepat, pria itu pun berusaha menghindar dari kakaknya.
"Kemari kau! Dasar setan kecil!"
"Aww sakit, kaaak— aww iya iya, aku hanya bercanda." Ujar Kenan yang kemudian kembali berlari kecil menghindari Ana yang berada tak jauh darinya.
"Kenan, jangan berlari, kau ini! Bagaimana jika kejadian seperti Rachel terjadi lagi hah?!"
"Sudah aku katakan, aku hanya bercanda~" Kenan berhenti berlari dan merengek pada kakaknya itu.
Melihat itu, Ana pun akhirnya menyerah, ia berhenti mengejar adiknya.
"Kemari!"
"Tidak, kau akan memukulku nanti, apa kau tidak tahu kalau pukulanmu itu sangat sakit!" Rengek Kenan.
"Astaga. Apa pantas kau sebut dirimu itu seorang pria, ayo kemari!"
Kenan berjalan pelan, Ana tersenyum melihat adiknya yang mulai mendekat ke arahnya itu.
Saat Kenan sudah berada di hadapannya, Ana langsung memeluk adiknya itu, ia meletakkan kepala Kenan pada bahu mungilnya. Gadis itu mengelus lembut rambut Kenan dan menepuk-nepuk pelan punggung Kenan.
"Oh adikku sayang— maafkan kakak okey. Sudah— jangan menangis lagi."
"Siapa yang menangis, aku hanya terharu, sudah lama kakak tidak memelukku seperti ini. Rasanya nyaman sekali." Ujar Kenan.
"Kalau begitu, kedepannya aku akan sering memelukmu seperti ini." Kata Ana.
Kenan melepaskan pelukannya dari Ana, ia menatap kakaknya dalam diam, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Pacarku bisa salah paham jika melihatnya."
Ana kembali berpura-pura kesal pada Kenan,
"Kau ingin kupukul lagi ya?! Masih saja membahas pacarmu!"
Kenan menanggapinya dengan senyuman lebar, membuat Ana tertawa.
Mereka tertawa bersama, melepas semua beban walau hanya sesaat. Namun, senyum Ana terhenti saat dirinya tak sengaja melihat sebuah pohon tua yang masih berdiri kokoh, dahannya sangat teduh dan terawat.
Pandangan Ana mulai berputar, rasanya seperti memori ingatan Ana sedang memaksa otaknya untuk mengingat sesuatu. Ana memegangi kepalanya yang terasa sakit.
'Hai' suara gadis kecil itu berhasil membuat seorang pria kecil yang sedang duduk dibawah pohon menoleh padanya, wajah pria kecil itu~
Kilasan ingatan Ana yang seperti telah lama hilang itu berputar seperti film hitam putih, suara gadis kecil yang mengatakan kata 'hai' itu terus memutari kepala Ana.
"Kak! Kakak!" Kenan panik ketika melihat Ana mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya.
Gadis itu terus berteriak kesakitan, air matanya pun mengalir. Ingatan itu seperti ingatan penting yang telah lama hilang, terasa sedih dan menyesakkan.
Ada perasaan tidak nyaman dihati Ana ketika dirinya melihat ingatannya sendiri.
Ingatan yang telah lama tenggelam itu seakan-akan mulai muncul kepermukaan, seperti puzzle yang mulai disusun satu demi satu.
"Kak!" Kenan mengguncangkan tubuh Ana, gadis itu masih diam, tubuhnya terasa lemas, ia jatuh terduduk di tanah, membuat Kenan semakin panik.
Perasaan apa ini? Membuatku gelisah, sesak dan ingin mencari tahu lebih. Apa itu tadi ingatanku? Mungkinkah kecelakaan yang pernah menimpaku dulu membuat beberapa ingatanku menghilang? — Batin Ana.
"Kak Ana."
Ana tersadar dari pikirannya, kepalanya sudah terasa lebih baik sekarang, suara gadis kecil itu juga telah hilang dari peredarannya.
"Bantu aku berdiri." Pinta Ana.
"Apa yang terjadi, kenapa kakak berteriak kesakitan seperti itu? Aku akan mengantar kakak ke rumah sakit."
"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Aku hanya seperti mengingat sesuatu, tapi— rasanya sulit sekali memahami ingatan itu. Apa kau pernah mendengar mama atau ayah berbicara tentang ingatanku atau semacamnya?"
Kenan berusaha mengingat, namun seingatnya, ia tidak pernah mendengar pembicaraan semacam itu.
"Sepertinya tidak ada. Apa ada yang salah dengan ingatan kakak? Semenjak mama sakit sampai meninggal, kakak tidak pernah memeriksakan diri ke rumah sakit, apa kakak baik-baik saja?"
Ana tersenyum, ia berusaha terlihat baik-baik saja dihadapan adiknya itu, tak ingin Kenan khawatir padanya.
"Kakak baik-baik saja, Kakak hanya merasa sedikit pusing. Mungkin butuh sedikit istirahat."
"Kalau begitu, ayo pulang kak. Kau harus istirahat yang cukup, aku tidak ingin melihatmu seperti tadi lagi, aku benar-benar sangat takut." Ujar Kenan yang ditanggapi sebuah anggukan dari Ana.
Setelah itu, mereka berjalan meninggalkan tempat itu. Kenan membantu Ana berjalan menuju mobil mereka yang terparkir di area parkir kendaraan.
"Maaf membuatmu khawatir." Ucap Ana ketika Kenan telah duduk di kursi kemudi mobil itu. Kenan tersenyum lembut menanggapi ucapan kakaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Kenzi Kenzi
bener kan.....ana she is.....
2021-11-07
1
Fafa Adieq Bosky
semakin menarik ....
2021-01-15
0
Juli Mahtin
anggel adalah ana
2020-09-07
5