"Pak ..."
Ibu langsung histeris melihat nominal uang yang begitu banyak di buku tabungan tersebut. Bahkan ada nama data dan password yang sengaja Cantika kasih untuk mereka.
"Selama ini aku bertanya-tanya, kemana uang Cantika karena dia kerja. Tapi aku nggak pernah lihat dia bersolek dan sekarang aku tahu kalau dia sengaja tabung uangnya dan sekarang semua uang itu di kasih ke kita. Setelah tadi kita udah jahat banget sama dia."
Ibu bergegas ke depan dan semakin histeris melihat Cantika yang tak terlihat lagi.
Bapak menghampirinya dan memeluk Ibu. Berusaha menenangkannya.
"Nggak apa-apa sayang. Anak kita memang sangat baik. Dia sangat berbalas budi. Tapi jangan nangis begini. Kalau Cantika sampai tahu dia bakalan sedih loh. Dari pada nangis karena dengan nangis nggak mungkin buat Annisa balik lagi ke sini. Mungkin kita doakan saja. Semoga Cantika baik-baik aja."
Ibu mengangguk, masih menangis di pelukan suaminya.
"Semoga kebahagiaan selalu menyertai hidup Cantika."
"Aamiin ..."
***
Cantika menatap dirinya di kaca supermarket. Ia tersenyum tipis. Dirinya persis seperti sedang diusir.
"Tapi kenyataannya aku memang habis diusir?" tawa Cantika berusaha menutupi luka di hidupnya itu. "Pasti banyak orang yang anggap aku aneh."
Ia menarik napas dan menghentikan langkahnya.
"Aku masih nggak paham sama yang terjadi di sini," papar Cantika berusaha memikirkan semuanya. "Terlalu aneh dan mendadak banget. Aku sampai nggak bisa cerna semua ini. Aku cuma berusaha untuk paham sama semua ini. Padahal sekarang aja aku nggak tahu harus apa dan bereaksi kayak gimana."
Ia mendengus dan mengusap air matanya yang jatuh di pipi lagi.
"Kayaknya aku keliling sebentar dulu deh sebelum pulang," seru Cantika.
Ia melirik ke arah sekitar dan bertemu dengan supermarket yang menyediakan kursi di dalamnya untuk menyantap makanan. Perutnya tiba-tiba saja keroncongan.
"Pantas saja, udah masuk waktunya makan siang."
Untung saja supermarket tersebut cukup sepi dan Cantika sengaja memilih satu kursi yang ada di paling ujung. Kursi itu sedikit tertutupi dengan rak dan pot besar. Membuat Cantika merasa lebih nyaman dan tenang.
Ia membeli mie instan dan menyeduhnya. Setelah membayar ia membawa belanjaannya ke tempat ia duduk.
Ia menyantap makanan dengan tenang sampai kaca besar di depannya memperlihatkan seorang anak yang di gandeng sama orang tua di kedua sisinya. Anak itu tertawa sangat lebar dan orang tuanya hanya mengacak rambut anak itu.
Tanpa sadar air matanya kembali turun. Ia mengusap tapi air matanya seolah tak kunjung berhenti.
"Aku juga pernah ada di posisi kayak gitu kok. Jadi, aku nggak perlu ngerasa iri." Cantika berusaha memperingatkan dirinya.
Tapi, semakin di ingatkan. Yang ada dirinya semakin merasa sakit.
Makannya menjadi kegiatan yang paling sakit. Ia terus makan sambil menangis. Ia ingin buru-buru keluar dari supermarket ini dan mencari tempat tenang. Ia mau mencari tempat yang tinggi. Cantika mau berteriak. Ia mau menghilangkan rasa sesak yang sejak awal nikah selalu ia rasakan itu.
Tangisannya kembali turun saat ponselnya berdering dan foto kelulusannya saat bersama ibu sama bapak terpampang nyata di layar ponsel.
Bukannya menjawab panggilan yang masuk. Cantika hanya memeluk ponselnya dan kembali menangis. Satu tangannya ia gunakan untuk menutup mulutnya. Supaya tidak terdengar oleh beberapa pelanggan yang masuk.
Tapi panggilan itu sedikit mengganggunya dan nomor asing yang meneleponnya membuat Cantika kesal bukan main.
Ia mengangkatnya.
"Bisa berhenti nelepon nggak? nggak tahu kalau aku lagi sedih. Aku lagi sakit hati. Jangan ganggu aku dulu!" kesal Cantika tak sengaja membentak.
/Cantika?/ suara diseberang telepon membuat Cantika tertegun. Suara Alan yang beberapa hari ini cukup membuat hidup Cantika jadi terhibur.
"Tuan ..." serunya menjadi histeris. "Tuan sebenarnya apa salah aku? sampai ibu sama bapak aku ngomong kayak tadi? tuan juga harus tahu kalau sekarang aku sendirian. Aku nggak punya siapa-siapa lagi," serunya melindur
/Cantika ... di mana kamu? kamu di sana sama siapa? saya dengar suara mobil. Kamu sudah nggak ada di rumah orang tua kamu lagi?/ tanya Alan beruntun
"Tuan harus tahu kalau aku nggak beruntung. Aku ngerasa hidup aku cuma penuh kesedihan doang. Aku juga kayaknya bawa pengaruh buruk buat hidup orang lain. Makanya tuan mendingan cepat ceraikan aku. Siapa tahu hidup tuan bakalan kena pengaruh buruk karena nikah sama aku," jawab Cantika yang malah ngelantur
/CANTIKA! Kamu di mana sekarang! saya kesana sekarang juga./
"..."
/Cantika .../ suara Alan terdengar sangat frustasi. /Tolong jawab. Di mana kamu sekarang./
Setelah beberapa saat melamun, ia tersadar dan mengirim alamat ini lewat pesan. Alan hanya memintanya untuk nunggu dan jangan pergi ke mana-mana.
Begitu panggilannya terhenti. Cantika hanya mengangkat bahu acuh.
"Ah ... kenapa dia?"
***
Cantika masih berdiam di supermarket. Ia butuh waktu untuk pulang. Sejak tadi ia hanya menelungkup di balik lipatan tangannya. Ia hanya menangis. Lalu tak lama berhenti menangis. Tapi beberapa saat kemudian, ia bakalan menangis lagi. Terus saja begitu.
Sampai ia mendengar suara lonceng tanda orang masuk dan entah kenapa ia seketika menoleh.
Matanya terbelalak melihat Alan yang mengenakan jas bergegas menghampiri dirinya yang kepalanya tersembul dari balik rak dan pot besar.
Alan bergegas menghampiri dirinya dan Alan spontan memeluk Cantika. membuat wajah istrinya berada di perut laki-laki itu. Alan mengusap punggung dan sesekali ia mengacak rambut Cantika.
Untuk sesaat, Cantika berusaha memahami semuanya sampai rasa tenang yang mengalir di jiwanya membuat Cantika kembali menangis. Ia memeluk Alan dan kembali menangis.
"Aku sakit banget tuan. Kenapa ibu sama bapak bisa lakuin ini semua ke aku? kenapa mereka nggak pernah jujur dari awal. Mungkin kalau dari dulu aku tahu. Aku nggak bakalan ngerasa sesakit ini. Tapi kalau sekarang? rasanya sangat sakit. Apalagi di tengah banyak masalah yang datang. Kayak aku nggak dikasih napas sama sekali di hidup aku sendiri."
Walaupun Alan tidak paham sama apa yang terjadi.
Laki-laki itu hanya menyimpulkan kalau sesuatu yang besar terjadi di rumah mertuanya. Alan nggak mau nanya untuk sekarang. Ia akan membiarkan Cantika menenangkan diri sampai perempuan itu berhenti menangis.
Karena melihat Cantika yang terus menangis di depannya membuat Alan sangat sakit. Dia nggak tahu harus lakukan apa. Tapi Alan nggak suka melihat Cantika yang menangis seperti ini.
Ia terus berusaha menenangkan Cantika.
Tapi suara Cantika yang menangis sampai sesegukan mampu membuat Alan ikut merasa nyeri di hatinya.
Tangannya bergerak mengusap punggung Cantika. "Tenang ... ada saya di sini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments