Empat Mata

Setelah berusaha mengeluarkan isi hati dan berakhir menangis. Jujur saja, ini pertama kalinya Alan kembali menangis setelah dulu dia terakhir menangis karena Nata yang pergi meninggalkan dirinya.

Butuh waktu beberapa bulan dirinya berusaha mengikhlaskan kepergian sang istri. Setelah mulai benar benar ikhlas. Alan berjanji untuk tidak menitikkan air mata lagi. Dia mau fokus mengurus anaknya dan nggak mau kalau Tania sampai sedih karena melihat dia menangis.

Tapi sekarang,

Alasan dia menangis adalah karena anaknya sendiri.

Dengan perasaan tak menentu, Alan mulai melajukan mobil lagi meninggalkan tempat tadi.

***

"Sudah di bersihkan rumah belakang?" tanya Alan begitu masuk ke dalam rumah. "Cantika juga sudah makan? Dia agak baikan apa masih keliatan pucat? kalau masih keliatan sakit. Tolong panggilkan dokter keluarga dan cek Cantika."

"Mbak Cantika udah lebih baik kok," jelas pelayan tersebut membuat Alan menghela napas lega. "Rumah juga udah di bersihin. Udah wangi dan saya udah mencatat beberapa furniture rumah yang di butuhkan. Oh iya, mbak Cantika juga lagi istirahat dan minta kita semua buat pergi. Jadi, kita semua ada di sini. Tapi seperti yang tuan pinta. Setiap satu jam sekali nanti kita akan cek ke sana."

Alan menerima surat itu dan berterima kasih.

"Kalau ada apa-apa jangan lupa beri tahu saya."

"Baik tuan."

Alan memasuki kamarnya dan mulai membaca satu per satu list untuk rumah Cantika. Walaupun kecil, Alan akan memberikan kenyamanan untuk Cantika. Jadi, perempuan itu tidak merasa tersingkirkan walau tinggal di belakang rumahnya itu.

Tangannya menggulir beberapa aplikasi dan tanpa pikir panjang, ia langsung membeli beberapa barang yang di rasa pas untuk rumah dibelakang.

Setelah selama dua jam asyik berselancar di aplikasi belanja. Akhirnya Alan bangkit dan membersihkan diri.

Maklum dari pas bangun, Alan belum sempat mandi. Tadi ia hanya cuci muka. Jangan ditiru ya!

***

"Bagaimana keadaan kamu?" Alan menatap wajah Cantika yang lebih baik di banding sebelumnya. "Tapi kayaknya agak lebih baik ya? soalnya nggak sepucat tadi. Tapi masih sakit nggak perutnya?" tanya Alan beruntun.

Cantika menggeleng.

"Makasih banyak tuan, berkat tuan aku jadi sembuh," cicit nya.

"Sama-sama ... sudah saya bilang kan kalau kamu ini tanggung jawab saya. Jadi, saya nggak akan menutup mata lalu membiarkan kamu terbaring sakit gitu aja. Toh, saya masih punya hati untuk nggak abaiin kamu gitu aja."

"Hmm ..."

Alan meneliti wajah Cantika yang sangat murung. Laki-laki itu kembali teringat perbuatan sang anak yang berlebihan. Hatinya tergerak untuk meminta maaf. Tapi rasa gengsi kerap melarangnya untuk meminta maaf.

Setelah sekian lama mereka saling diam. Akhirnya Alan memutuskan untuk minta maaf.

"Cantika ..."

"Iya tuan?" jawabnya pelan.

"Atas nama anak saya. Saya minta maaf ya. Maaf kalau kemarin pas datang kamu langsung kaget ngelihat anak saya yang marah kayak gitu dan tadi pagi dia malah lakuin yang nggak bener ke depan rumah kamu. Sungguh, saya gak tau kalau Tania akan melangkah sejauh itu. Jadi, atas nama Tania. Saya minta maaf ya."

Cantika mengedipkan mata bingung. Dengan wajah bingung, ia mengangguk pelan.

"Lagian aku nggak ada hak buat marah kan? jadi tuan tenang aja. Aku nggak bakalan marah kok. Tuan tenang aja."

"Tidak begitu Cantika ... saya sungguh merasa nggak enak sama kamu. Saya merasa udah jahat banget sama kamu. Jadi wajar kalau kamu marah. Kamu jangan ngomong gitu. Wajar sekali kok kamu marah."

Cantika tertegun dan menunduk.

"Bahkan saya kaget karena kamu tinggal di rumah sekumuh ini. Saya nggak tahu kalau kondisi di sini seburuk itu. Karena terakhir kali saya ke sini. Tempat ini masih rapih dan layak tinggal. Jadi, saya suruh kamu tinggal di sini. Tapi tenang aja ... saya akan merenovasi sedikit tempat ini dan nanti kamu bisa tinggal dengan layak."

"Sampai kapan?" ucap Cantika tiba-tiba.

Alan bertanya kembali, tak mendengar suara Cantika yang sangat kecil. "Kamu ngomong apa?"

"Sampai kapan," ucap Cantika lagi dengan lirih.

"Maksud kamu?" bingung Alan, mengusap tengkuknya.

"Sampai kapan tuan mau menikahi aku? kapan tuan bakal ceraiin aku?" tanya Cantika membuat Alan tersentak. "Aku tau kalau tuan terpaksa nikahin aku kan? waktu itu ... tuan juga bilang kalau tuan beli aku dari orang tua aku kan? kalau alasan tuan nahan aku di sini cuma karena uang itu. Aku janji bakal nyicil semua uang itu. Aku bakalan bayar. Tapi aku butuh waktu."

PRANG!

Gelas kaca yang sejak tadi ada di genggaman Alan kini pecah. Cantika meringis melihat luka yang terpampang jelas. Tapi dia tak berani mendekat sama sekali. Memilih untuk menunduk, sadar kalau omongannya yang buat Alan jadi marah.

"Maaf tuan ..."

"Jadi, kamu menganggap pernikahan ini main-main?" tanya Alan dengan tegas

Cantika tak berani bergerak sama sekali, benar-benar diam di tempatnya.

"Saya nggak tahu kalau kamu sebodoh itu Cantika. Dari awal saya menerima pernikahan ini juga karena keputusan saya sendiri. Walau ada sedikit paksaan dari orang tua saya. Tetap saja semua keputusan ada di tangan saya."

"Bukan begitu ..."

"Saya tahu kalau kamu juga terpaksa sama pernikahan ini. Kita sama-sama dipaksa. Nggak ada yang ingin di posisi ini. Tapi ... pernikahan itu sakral Cantika ... saya baru saja di tinggalkan almarhum istri saya dan sekarang masa saya di tinggalkan lagi? apa kata orang?"

Cantika tertegun.

"Saya juga nggak bisa menganggap kamu istri kok. Hubungan pernikahan kita juga nggak bisa kayak hubungan pernikahan orang pada umumnya. Tapi saya menentang untuk cerai. Saya nggak mau ... terserah kalau kamu mau maksa. Tapi kamu tahu sendiri kalau saya nggak akan semudah itu melepaskan kamu."

Cantika menggeleng. Sadar dirinya sudah salah main dengan lawannya.

"Bukan itu maksud aku tuan," ucap Cantika cepat. "Aku kira tuan terpaksa sama pernikahan ini. Apalagi anak tuan juga nggak merestui hubungan ini. Jadi, aku ngomong kayak tadi biar wakilin perasaan tuan aja. Takutnya memang tuan yang nggak enak buat bilang sama aku."

"Ah sudah lah." Alan berdiri membuat Cantika mengikuti pandangannya.

"Kita omongkan di dalam rumah. Saya mau bicara empat mata sama kamu. Kita bahas hubungan terpaksa ini. Di sini terlalu gerah. Silahkan kamu bersih-bersih dulu. Baru masuk ke dalam."

Cantika menatap dirinya sendiri. Sedikit malu karena Alan mengetahui kondisinya.

Sepeninggalan Alan yang pergi meninggalkan rumah ini. Cantika langsung masuk ke dalam kamar mandi dan memakai baju yang sedikit layak. Supaya tidak terlalu menjijikkan untuk masuk ke dalam sana.

Cantika hanya berharap mereka nggak akan berakhir bertengkar lagi. Sudah cukup mereka selalu berantem setiap kali bicara empat mata.

"Semoga tuan Alan nggak marah lagi," doanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!