Empat Mata (2)

Sembari menunggu Alan yang turun dari kamarnya. Tak henti-henti Cantika berdecak kagum sama isi rumah yang sangat mewah ini. Pilar yang begitu mewah di tambah dengan berbagai furniture yang kelihatan sangat mahal membuat Cantika sadar kalau dirinya sudah menikah bukan sama orang biasa.

Dia menelan saliva, seketika merasa gugup.

"Aku kayak butiran debu kalau ada di sini."

Cantika memperhatikan pantulan dirinya dari lemari kaca di sampingnya. Terlihat sangat tak pantas duduk di sofa yang sangat empuk ini. Tangannya menarik rok murahnya. Cantika jadi minder dan gugup. Merasa tidak pantas ada di sini.

"Sekarang aku bakalan semakin minder sih," gumam Cantika pelan. "Lagian ... kenapa tuan Alan nggak cari perempuan yang setara aja sih? aku yakin banget masih banyak tuh perempuan yang jauh lebih baik di banding aku."

Berbagai uneg-uneg ia lontarkan sampai dehaman Alan membuat Cantika memilih bungkam.

"Sebelum saya jelaskan terkait kontrak pernikahan kita. Saya ingin bertanya lebih dulu ke kamu," papar Alan yang memperhatikan Cantika. "Saya di depan Cantika, bukan di bawah," singgung Alan yang sedikit kesal. "Kamu begitu takut sama saya sampai melihat ke lantai terus? tenang, saya nggak akan marah sama kamu kalah kamunya sendiri nggak bikin ulah. Tapi kalau kamu ngeselin gini. Jangan marah kalau saya bentak kamu."

Cantika menelan saliva takut-takut.

"Kita ada di posisi yang sama-sama nggak di inginkan. Jadi seharusnya kita bisa menyatukan otak kita untuk bahas ini. Tolong bantuannya ... jangan takut begitu. Itu malah membuat saya kesal sama kamu."

"Maaf tuan ..."

Alan berdeham. Menetralkan perasaannya. Ditenggaknya segelas air putih yang baru di sajikan pelayan. Setelah lebih lega, Alan menyatukan kedua lengannya dan kembali natap ke arah Cantika.

"Enggak perlu minta maaf Cantika ... saya nggak perlu maaf kamu. Yang saya perlukan penjelasan kamu tentang pernikahan ini. Sama gimana perasaan kamu sekarang? apa ada yang masih mengganggu pikiran kamu? keluarin aja semuanya. Biar kamu lebih tenang juga."

Cantika terhenyak.

"Aku ... masih nggak nyangka kalau ibu sama bapak udah jual aku," ucapnya pelan. Sampai hanya terdengar desisan kecil.

Untung saat ini suasana sedang sangat sepi. Jadi, Alan masih bisa mendengarnya.

"Aku masih sedih ngebayanginnya." Cantika terisak kecil. Tubuhnya terguncang. "Semuanya baik-baik aja. Terakhir kali kita cuma ribut karena perjodohan paksa ini. Tapi aku nggak mikir sejauh itu kalau ibu sama bapak udah jual aku."

"..."

"Aku memang nggak terima sama pernikahan ini. Tapi fakta kalau aku dijual sama mereka itu sangat sakit," jelasnya dengan suara begitu tertahan.

Alan menegakkan tubuhnya, menatap Cantika. Sesaat mata mereka saling bersitatap dan Alan hanya bisa mengusap tengkuknya. Entah tiba-tiba merasa canggung.

Entah dorongan dari mana, pria yang dikenal dingin itu kini meraih sapu tangan di saku celananya. Berjalan mendekati Cantika dan memberikannya dengan gesture kurang bersahabat.

"Ambilah!" titah Alan mutlak.

Membuat Cantika memasang wajah tanda tanya. Sapu tangan berwarna putih dengan sedikit rajutan berwarna emas itu kini disodorkan lagi oleh laki-laki yang juga memberi luka padanya itu.

"CK! Saya bilang ambil," marah Alan yang sebenarnya malu sampai telinganya memerah. "Tangan saya sudah pegal," alibi laki-laki itu. Dia berseru dengan tidak sabaran, berusaha menutupi jantungnya yang berdegup tak keruan.

Cantika mengambil alih saputangan tersebut dan tersenyum dalam diam saat menerimanya.

"Terima kasih tuan," ucapnya dirinya dengan senyuman lebar yang sangat manis, tanpa sadar.

Untuk beberapa detik Alan terkesiap dan melamun. Sebelum ia berdeham dan balik ke tempatnya. Tidak mau Cantika melihat dirinya yang salah tingkah seperti ini.

Setelah lebih tenang, Alan kembali bertanya kepada Cantika dan sedikit memaksa perempuan itu untuk cerita dan jujur akan perasaannya. Karena itu sangat bagus untuk mereka ke depannya.

"Untuk urusan orang tua kamu, saya angkat tangan." Alan memberikan gesture angkat tangannya. "Karena itu di luar ranah saya. Saya mendengarnya dari orang tua saya. Jadi, saya nggak mau ikut campur. Tapi balik lagi ... saya mau tanya tentang isi hati kamu akan pernikahan ini. Apa kamu bahagia?"

Spontan Cantika menggeleng.

"Aku nggak bahagia," ucapnya. "Sama sekali nggak bahagia."

"Maaf sebelumnya ... bukan maksud saya untuk meremeh kan kamu. Tapi menikah dengan saya itu sangat beruntung loh. Saya bisa membiayai hidup kamu. Kamu nggak perlu cari uang ini itu. Jadi, harusnya kamu senang kan? apa yang buat kamu nggak senang?"

Cantika mengalihkan pandangan ke arah lain. Apakah semua ini selalu tentang uang? itu yang ada di pikirannya saat ini.

"Aku nggak secinta itu sama uang dan harta," jujurnya.

"Aneh," gumam Alan.

"Aku tau ... zaman sekarang siapa sih yang nggak suka uang? semua hal bisa dibeli pakai uang. Tapi balik lagi. Aku bukan orang yang gila harta. Dibanding banyak uang, aku sedih karena dengan pernikahan ini semua mimpi aku jadi terbengkalai."

Cantika menggigit ujung lidahnya. Berusaha mengontrol perasaan sedihnya lagi.

"Dan kita orang asing ... aku nggak kenal tuan sama sekali. Jadi semuanya masih buat aku bingung. Aku nggak tahu harus ngerespon apa. Karena baru hari pertama menikah aja. Udah ada kejadian kecil."

Alan tersipu, merasa tersindir akan omongan Cantika itu.

"Maaf untuk yang tadi."

"Nggak apa-apa, tuan."

"Oke balik lagi. Tadi kamu bilang kalau pernikahan mendadak ini buat kamu bingung, karena saya seperti orang asing yang memaksa di hidup kamu. Jadi, saya persilahkan kamu untuk nanya apa pun tentang saya. Tapi ingat ... saya ngelakuin ini bukan untuk dekat sama kamu. Melainkan untuk membuat kamu nyaman. Karena untuk beberapa tahun ke depan hidup kamu akan dipenuhi sama saya."

Cantika mengangguk pasrah.

ibaratnya ia sedang ada di jalan buntu yang dibelakang tubuhnya ada singa yang siap menerkam. Jadi, dia terpaksa diam. Karena nggak ada jalan lain selain memilih untuk diam.

"Aku boleh nanya tentang anak tuan?" tanya Cantika pelan.

Alan memiringkan wajah dan mengangguk. "Tentu saja. Apa yang kamu mau tanyakan tentang Tania?"

"Anak tuan itu udah lumayan besar ya," kagum Cantika. "Dia sangat cantik. Aku kaget loh karena anak tuan secantik itu. Pas pertama kali lihat, aku ngerasa dia bakalan jadi temen buat aku. Tapi ternyata ... anak tuan galak," ucapnya yang semakin memelan di akhir kalimat. Takut kalau Alan marah setelan mendengar omongannya.

Alan menganggap Cantika lucu. Diantara banyaknya hal yang bisa mereka bicarakan, kenapa Cantika malah mengatakan hal tersebut?

Laki-laki itu hanya bisa tersenyum tipis.

"Dia memang sangat cantik. Sama seperti bundanya. Tapi sayang, anak itu memang galak. Sangat galak ..."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!