Tak ada jawaban sama sekali dari mulut Tania dan anak gadis itu semakin berpikir yang tidak-tidak. Ia mendorong piringnya.
"Ini bukan masakan bibi dan ini juga bukan masakan ayah," tebak Tania sambil memandang berbagai lauk di atas meja. "Jadi, siapa yang masak makanan ini?"
Alan menelan saliva. Kaget karena anaknya sampai memperhatikan hal seperti ini. Dia takut menjawab. Bukan takut sama anaknya. Tapi takut kalau anaknya semakin membenci Cantika yang bahkan nggak bikin salah sama sekali.
"AYAH!" seru Tania sedikit membentak. "Jangan bilang kalau ini yang masak itu perempuan jelek itu?" tuduh Tania dengan emosi menggebu.
Melihat wajah ayahnya yang panik membuat Tania langsung saja berdiri dan tertawa miris.
"Setelah ayah maksa aku buat nerima orang asing itu. Sekarang ayah malah nyuruh aku makan masakannya? ayah nggak kasihan sama aku?" tanya Tania. "Ayah tuh sebenar nya kenapa sih? kenapa ayah selalu maksa aku buat ini itu. Kenapa ayah nggak pernah mau ngertiin posisi aku? aku benci kalau ayah mainnya begini."
"Nak ..."
Alan memijat keningnya. Tidak tahu sang anak akan sampai berontak kayak gini.
Kini mereka kayak orang asing.
Alan yang duduk di kursi meja makan dan Tania yang duduk si sofa membelakangi dirinya. Tidak ada yang berbicara untuk sesaat.
Sampai Alan merasa ia sudah jauh lebih tenang di banding sebelumnya.
"Ayah tahu, kamu benci sama semua ini. Kamu benci fakta ayah yang menikah. Kamu nggak suka kan? ayah juga gak suka nak. Tapi ada suatu hal yang buat ayah sama dia itu harus menikah dan kamu nggak bakalan paham. Di sini ayah sama tante itu juga korban."
Tania mendengus.
"Korban apanya? pasti perempuan jelek itu seneng karena bisa nikah sama ayah? dia pasti mau kuasain uang ayah kan? nggak .. apa pun alasannya. Aku benci fakta ayah yang nikah sama dia."
"Kamu harus tau ... dia dijual sama ibunya sendiri."
Tania terhenyak.
"Kamu tadi bilang. Kalau dia itu pasti senang karena nikah sama ayah kan? tapi nyatanya ayah cuma lihat dia nangis terus setelah nikah sama ayah. Siapa yang nggak sedih kalau tahu fakta dia dijual sama orang tuanya sendiri biar bisa nikah sama ayah?"
"..."
"Ayah bukan orang baik. Tapi ayah juga nggak setega itu untuk ikut jahat sama dia. Luka dia bakalan sedalam apa kalau ayah ikut marah sama dia? di saat nenek kamu itu yang maksa ayah buat nikah. Bukan dia ... bukan ke dia seharusnya ayah marah."
Tania menggeleng. Masih menutup telinga untuk fakta yang satu ini.
"Tapi seenggaknya ayah harus cari cara supaya bisa nolak pernikahan ini kan? mau tante jelek itu di jual atau enggak juga bukan urusan ayah—
"Benar?" sela Tania membuat anak gadisnya bertanya-tanya
"Kamu beneran bakal abai kalau ada orang yang lagi sedih? atau di jahatin sama orang lain?" tanya Alan lagi.
Tania menggumam walau ragu.
"Lagian kan kalau aku nggak kenal. Buat apa aku bantuin dia kan? nggak. Seharusnya ayah juga nggak usah ikut campur sama urusan tante itu. Gimana kalau dia nanti malah besar kepala? aku bakalan semakin marah sama ayah kalau ayah dekat sama dia."
Alan menggeleng.
"Kayaknya ayah udah salah didik kamu."
"Hah? apaan sih," protes Tania.
"Ayah sedih ngelihat kamu yang sebenci ini sama orang lain. Apa lagi panggilan tante jelek itu. Memangnya ayah sama bunda pernah ajarin kamu ngomong kayak gitu? Tapi kamu terus ngomong kayak gitu. Ayah sedih sebenarnya dan ayah janji akan didik kamu lebih keras biar kamu bisa ngejargain orang bukannya malah menghina terus kayak gitu."
"Dih ... ayah sampai segininya cuma karena ayah bela dia?" Tania bertepuk tangan sambil menggeleng. Ia berbalik dan menatap ayahnya.
"Ayah bukan bela Cantika! tapi ayah nggak suka fakta kamu hina orang!" sentak Alan yang sudah berdiri. "Kamu nih udah berlebihan. Mau dia salah atau enggak. Kamu nggak berhak hina dia. Walaupun dia bikin kamu marah. Tapi umurnya jauh di atas kamu!"
Tania menahan amarahnya. Tubuhnya sampai gemetar. Ia menatap penuh benci sama ayahnya.
"Kamu nggak bakal paham. Mau ayah jelasin sampai gimana juga. Kamu nggak akan pernah ngerti! kamu udah langsung negatif terus. Padahal bukan ini yang ayah mau. Ayah mau kamu akur."
"OGAH!"
Tania berlalu pergi dengan langkah lebar.
"Tania! Tania!" panggil Alan berulang kali. "Ayah belum selesai bicara ya. Sini kamu! dasar anak kurang ajar," desisnya pelan.
Alan meraup wajahnya. Ia benar-benar sangat kesal. Suara pintu yang dibanting membuat Alan hanya bisa menggeleng.
"Kapan aku bisa menyadarkan dia?"
***
Di dalam kamar Tania sudah meraung. Hatinya sangat sakit melihat fakta ayahnya yang sudah membela tante itu. Kepalanya mendadak pening dan ia semakin sedih saat matanya tak sengaja menatap foto bunda Nata yang ada di atas meja.
"Bunda ..."
Nata mengambil fotonya dengan tangan lemasnya. Dia memeluk dengan sangat erat.
"Andai aja bunda masih ada di sini. Pasti ayah nggak bakal berani bentak kakak sampai gitu. Pasti ayah nggak akan pernah marah sama kakak. Karena bunda selalu bela kakak."
Ia menarik napas berat. Seberat masalah hidupnya yang anak gadis itu lewati sendiri.
"Bunda ... andai aja aku nggak lahir di dunia ini. Pasti bunda masih ada kan sampai sekarang? bunda pergi kan karena aku. Maaf ya bun. Maaf karena aku udah jadi anak yang jahat dan malah nyakitin bunda."
Berbagai perkataan yang selalu membuatnya sakit, di keluarkan oleh anak itu.
Sampai Tania tertidur dengan posisi terduduk di kasur. Tangannya masih memeluk foto tadi. Air mata masih terus menggenang di pelupuk matanya. Bahkan di tidurnya saja, Tania masih sesegukan.
Sepertinya, anak itu mimpi buruk.
***
Tania bangun dengan mata yang sangat berat.
"Ah aku ketiduran."
Ia masuk ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Setelah siap ia turun ke bawah. Ada yang harus ia lakukan saat ini. Setelah lama menangis di kamar, akhirnya dia memutuskan sesuatu dan akan melakukannya.
"Semoga semuanya berjalan seperti yang aku bayangkan."
Di bawah Tania bertemu dengan bibi. Ia bertanya posisi ayahnya dan ternyata ayahnya itu pergi ke kantor karena ada urusan mendadak.
Merasa jauh lebih aman kalau begini. Tania langsung buru-buru makan malam dan bergegas keluar rumah. Ia pura-pura mau stretching seperti kebiasaannya. Lalu saat tak ada orang ia bergegas menghampiri rumah kecil di sudut halaman belakang rumah.
"Duh."
Batin Tania kembali berperang. Ia ragu untuk mengetuknya. Tapi tiba-tiba,
Ceklek, pintu terbuka menampilkan sosok perempuan dewasa.
"Eh?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments