Pagi-pagi sekali Tania sudah bangun dari tidurnya. Dia menatap jam weker, masih jam empat pagi dan Tania yakin sekali kalau belum ada yang bangun di rumah ini.
Dengan langkah hati-hati, anak perempuan itu keluar dari kamarnya. Matanya menelusuri seisi rumah dan ia memekik pelan karena rumah yang memang masih gelap. Buru-buru ia turun ke lantai bawah dan keluar dari pintu utama.
Angin yang berhembus langsung menyapa kulit Tania begitu ia menutup pintu lagi. Dipandangnya lagi sekitaran dan sesekali ia dibuat merinding, saat sadar suasana di depan nga ini masih sangat gelap.
"Jangan takut, ayo Tania ... kamu pasti bisa," ucapnya untuk menyemangati dirinya sendiri.
Tania menarik resleting jaketnya, membuat tubuh kurusnya tertutupi jaket tebal dan celana training yang panjang. Tak lupa anak itu mengambil satu kantung sampah besar di tong sampang yang ada di halaman rumahnya.
Dia menyeret kantong plastik berat itu.
"Uh ... bau banget sih! Tapi nggak apa-apa demi terlaksana ini!" serunya lalu ia tersenyum smirk saat mendekati rumah kecil di halaman belakang. "Iyuh ... aku nggak mau lihat dia ada di sini. Dia harus pergi dan karena ayah pasti ngelarang aku buat usir dia. Mendingan aku sendiri yang buat dia pergi tanpa disuruh."
Tania tersenyum sinis.
Banyak rencana yang hinggap di benaknya setelah tahu orang yang dibawa ayahnya tinggal di belakang rumah. Dia akan melakukan banyak cara untuk membuat perempuan itu pergi dari rumahnya dan dia akan membuatnya tak nyaman tinggal di sini.
"Bodo amat, mau di bilang jahat. Yang penting aku nggak mau dia tinggal di sini dan nguasain hidup aku sama ayah!"
Setelah tiba di depan rumah gubuk itu. Tania buru-buru melempar asal kantongnya sehingga sampahnya langsung keluar dan berserakan tepat di depan pintu masuk. Suara yang begitu kencang, membuat Tania refleks sembunyi di balik pohon. Tapi setelah tahu tidak ada pergerakan sama sekali. Tania keluar dari persembunyiannya.
Dia mengeluarkan sarung tangan dari kantung jaketnya dan mengenakan. Dia langsung meratakan semua sampah itu. Sehingga semakin terlihat banyak.
Aroma tak sedap langsung terhirup membuat Tania memilih untuk tak bernapas. Setelah tugasnya selesai, dia berdiri sedikit menjauh.
"Puas!" serunya sambil membersihkan lengannya. Dia tampak puas dengan rencananya. "Gimana reaksi tante jelek itu ya pas tahu rumahnya berantakan gini? mana bau banget lagi. Cocok lah ..."
Tania terlihat sangat puas.
"Aku harap tante jelek itu kesel sih. Udah semalem dia nggak makan juga kan? ah ... semoga dia sadar kalau keberadaannya di sini tuh nggak di sukai. Jadi, harusnya dia pergi aja. Bukannya malah terus di sini!"
"Tapi ... kalau pun nggak pergi sekarang. Aku masih punya banyak rencana."
Tania memberikan jempol ke bawah lalu beranjak pergi dengan senyuman sangat puas. Langkahnya terasa ringan dan dia langsung mencuci tangannya di depan rumah lalu masuk ke dalam lagi.
"Habis dari mana kamu?"
Tania terantuk pintu sangking terkejutnya mendengar suara sang ayah yang berdiri di depan anak tangga yang paling bawah.
"Tadi ayah langsung cek kamar kamu dan ternyata nggak ada. Ayah panik banget," jujurnya. "Untung aja ayah lihat kamu masuk."
Tania menutup pintu hati-hati dan tertawa canggung.
"Aku bangunnya kepagian."
"Oh ... tapi kalau bangun pagi, jangan langsung keluar ya nak. Ini masih sepi. Ayah khawatir banget sama kamu. Kalau sibuk kamu bisa langsung lakuin apa gitu tapi yang di dalem rumah. Jangan keluar! memangnya habis dari mana sih kamu?"
Tania menelan saliva, mengusap tengkuknya.
"Aku— eh— iya— hmm, aku nyari angin!" serunya terbata-bata. "Pengin hirup udara pagi yah. Makanya aku keluar. Tania minta maaf deh. Nggak lagi Tania keluar kayak tadi."
"Nah ... gitu bagus, kamu kan bisa cari angin di balkon kamar kamu. Nggak perlu keluar. Nggak perlu sampai buat ayah sama yang lain jadi khawatir. Udah sana masuk, mandi. Sekarang hari senin. Kamu masuk lebih pagi kan? jadi kita berangkat pagian."
"Siap ayah!"
"Tania!" panggil Alan lagi membuat langkah Tania berhenti mendadak dan menoleh, menatap penuh protes. "Kamu belum kasih rutinitas pagi kamu loh."
Tania mendengus.
Dengan langkah ringan, ia menghampiri Alan dan memeluknya. Kakinya jinjit dan mengecup pipi Alan. "Selamat pagi ayah, semoga hari ini kita bahagia!" sapanya lalu melepas pelukan.
Alan sigap menahan tubuh sang anak dan menangkup mukanya. Menghujam kecupan di pipi, kening dan mulut anak itu.
"Selamat pagi juga anak ayah. Gih masuk ke kamar. Ayah mau buat sarapan dulu. Makan roti bakar nggak apa-apa kan?"
"Iya yah ..."
***
Alan sengaja membuat roti bakar berlebih. Dia juga menaruh berbagai macam selai untuk Cantika, karena tidak tahu apa yang disukai perempuan itu.
"Saya aja kali ya yang bawa ke sana?" gumam Alan sambil membawa piring kecil berisi roti bakar. "Iya sudah, anggap saja sebagai penebus rasa bersalah karena kemarin nggak ngasih dia makan hampir seharian."
Alan memastikan anaknya masih di dalam kamar mandi. Lalu dia buru-buru pergi ke halaman belakang rumahnya.
"APA-APAAN INI!" pekik Alan begitu melihat banyak sampah yang berserakan di depan pintu. "Siapa yang melakukan ini?"
Alan celingukan kesana-kemari. Tiba-tiba benaknya ingat anaknya yang keluar di pagi hari. Padahal biasanya Tania sangat enggan bangun pagi dan keluar rumah karena selalu mengeluh dingin.
"Masa iya Tania sih yang ngelakuin ini?" seru Alan sambil menendang sampah ke samping. Tidak terlalu di depan pintu rumah. "Dia aja jijian kan? masa dia mau megang sampah? ah tapi ... siapa lagi? yang nggak suka sama Cantika kan cuma Tania di rumah ini."
Tak mau berlama-lama memikirkan ini, Alan mengetuk pintu cukup cepat.
Membuat Cantika yang sejak tadi memeluk perutnya menahan sakit keluar dengan langkah tertatih.
"Bukannya langsung di buka! udah tahu saya sibuk. Ini— eh," pekik Alan melihat wajah Cantika yang pucat dan bulir keringat terus turun di wajah Cantika. "Kamu kenapa?"
Cantika mendongak. Bibirnya sudah pucat.
"Saya punya magh akut tuan," jujurnya.
Alan tersentak dan menaruh asal piring roti bakar tadi. Lalu dia merangkul Cantika, membawanya ke atas kasur. Dia dudukan Cantika di sana dan menyodorkan piring tadi.
"Dimakan dulu."
Cantika mengangguk. Ia mengunyah perlahan roti tersebut. Tapi perih di perutnya membuat Cantika terus meringis. Benar-benar sangat memprihatinkan.
"Ya ampun," gumam Alan merasa bersalah. Dia nggak tahu kalau Cantika memiliki magh akut. Kalau tahu dari kemarin dia akan membawakan makanan.
"Kalau gitu saya ambil obat sama minum dulu. Kamu tunggu di sini!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments