Tania Marah

"Cepat buatkan bubur hangat dan saya minta obat magh sekarang juga!" perintah Alan begitu masuk rumah buat beberapa pegawai langsung ngacir untuk mengambil titahan dari Alan.

Alan menghampiri salah satu mbah pelayan yang paling tua di rumah ini.

"Mbah ... mbah tahu siapa yang keluar rumah pagi ini? soalnya tadi saya lihat di depan rumah Cantika itu banyak sampah? siapa yang berani naruh sampah di sini? Walau kalian tahu saya nggak suka sama pernikahan ini. Tapi bukan ranah kalian ikut campur kayak gini. Ini udah berlebihan banget!"

Mbah itu bangun dan menggeleng.

"Tidak tuan ... tuan tahu sendiri kalau pekerja di rumah ini beroperasi baru jam tujuh. Kita pasti keluar jam segitu. Gak ada yang kepagian. Soalnya memang tuan sendiri yang nyuruh kan? Jadi nggak mungkin ada yang berani menolak. Memangnya kenapa tuan? apa ada yang mengganggu?"

Alan melangkah mundur. Semakin kuat spekulasi dia ke Tania.

"Ya ampun, Tania," gumamnya di dalam hati.

"Sudah lah ... yang penting kalian selalu cek saja. Siapa tahu ada yang iseng lagi dan buat ke depannya tolong kasih makan ke Cantika. Taruh makanan aja. Kalau bisa setiap dua jam sekali kalian taruh makanan, paling tidak cemilan. Soalnya dia mengidap penyakit magh akut. Saya takut dia kenapa-napa."

"Baik tuan."

"Dan tolong lengkapin fasilitas di sana. Kalau bisa cat ulang. Buat seperti rumah yang layak. Soalnya saya ngelihat di sana itu kusam banget. Mana cuma ada kasur doang lagi. Tolong kasih saya rincian barang yang harus di beli nanti saya beri kalian uang. Biar kalian yang urus."

"Baik tuan ..."

Alan melipir ke sofa lalu tak lama pelayan yang tadi dia perintahkan menghampiri dirinya. Memberi segelas air putih dan obat.

"Nanti tolong kasih tahu ke Tania, suruh dia berangkat sendiri. Saya ada urusan di belakang dulu."

"Baik tuan."

Alan berlalu dan tiba-tiba dia ingat sesuatu dan kembali lagi. "Dan kalau buburnya sudah jadi. Kamu telepon saya saja. Jangan kalian yang bawa sendiri."

"Baik tuan ..."

Dirasa urusannya sudah selesai. Alan berlalu mendatangi kamar Cantika lagi. Disana aroma tidak sedap masih sangat mengganggu membuat Alan inisiatif menutup pintu. Supaya aroma dari sampah tidak masuk ke dalam rumah ini.

"Diminum dulu, ini obatnya."

Alan membantu Cantika untuk meminum obat.

"Makasih tuan."

"Hmm," jawabnya enggan. "Senderan dulu kamu. Kamu masih sangat pucat kayak gitu. Dan buat ke depannya, tolong kasih tahu kalau hal kayak gini terjadi. Saya nggak mau kalau kamu mencap saya sebagai orang yang jahat. Karena mengabaikan kondisi kamu."

"Iya tuan, maaf ..."

"Saya memang tidak suka pernikahan ini. Meskipun begitu, saya tetap punya tanggung jawab. Jadi, jangan merasa sendiri. Kalau ada yang merasa nggak di sukai tolong kasih tau saya.*

"Hmm ..."

Alan melirik ke arah Cantika. Perempuan itu sedang memeluk gulingnya dan sesekali meringia, seolah nahan sakit tak tertahan. Wajah pucatnya juga masih terlihat jelas membuat Alan tak tega untuk meninggalkannya.

"Istirahat saja, nanti kalau buburnya sudah jadi. Saya bangunkan kamu."

"Iya tuan, makasih banyak ya. Maaf kalau Cantika ngerepotin tuan."

"Itu tau!" sindirnya. "Makanya kalau ada apa-apa langsung ngomong sama saya. Bukannya begini! sok diam. Memang nya kamu kira saya punya telepati? enggak Cantika!"

"Iya tuan, sekali lagi maaf."

Alan tak lagi menjawab.

Membuat Cantika mulai memejamkan mata. Meratapi rasa sakit yang masih terasa. Keringat dingin di tubuhnya buat perempuan itu merasa begitu sakit. Bahkan Cantika sangat merasa menyesal karena melewati waktu shalat shubuh. Karena dia yang sama sekali nggak bisa bangkit tadi pagi.

Dengan matanya yang terpejam, Cantika terus beristighfar. Memohon ampun karena sudah lalai dalam shalat yang di perintahkan oleh Allah.

Sementara itu,

Alan bangkit dan mulai menelusuri rumah yang sebenarnya bisa dibilang petakan. Karena hanya terdiri satu ruangan dan kamar mandi saja. Alan menatap langit-langit dan terkejut melihat betapa kotornya rumah ini.

Dengan perasaan yang sangat bersalah, Alan melirik ke arah Cantika. Dia berjanji untuk menjaga layaknya seorang saudara. Tapi apa? Kini Alan hanya bisa merasa bersalah. Baru satu hari Cantika tinggal di sini. Perempuan itu sudah melewati berbagai insiden termasuk Alan benar-benar nyesal karena menyuruh Cantika tinggal di rumah tak layak seperti ini.

Sedang asyik menelusuri rumah ini sembari memikirkan furniture apa aja yang di butuhkan. Ponsel laki-laki itu berdering.

Tanpa menjawabnya, Alan langsung menaruh kembali ponselnya di kantong celana.

"Saya ambil bubur dulu ya Cantika, kamu istirahat dulu aja."

"Iya tuan ..."

Alan berjalan menulusuri rumahnya. Namun baru masuk, dia sudah mendengar suara bentakan anaknya disusul suara barang pecah. Alan sigap menghampiri Tania dan di sana anaknya sedang memarahi salah satu pelayan dan tak lupa wajahnya yang sangat merah. Menandakan Tania sedang sangat marah.

"Ada apa ini?" sentak Alan sambil melihat banyak barang pecah belah di bawah. "Sudah kamu masuk sana. Biar saya yang urus," titah Alan membuat pelayan itu menunduk sopan sembari mengucapkan terima kasih lalu berlalu pergi.

"Kenapa anak ayah?" tanya Alan menghampiri Tania.

Tapi anaknya melangkah mundur, tak mau di dekati sang ayah.

"Aku benci sama ayah! Katanya ayah janji sama aku, mau nganterin aku sekolah. Tapi apa? ayah lebih pentingin tante jelek itu? bener kan kata Tania ... kalau ujung-ujungnya ayah bakal lupa sama aku. Ayah bakal prioritasin tante jelek itu. Aku benci sama ayah!"

Alan memijat kepalanya.

"Nggak usah marah-marah, nak. Kamu bisa ngomong baik-baik sama ayah. Nggak usah sampai cemberut kayak gitu. Apalagi banting barang. Berulang kali ayah bilang, kalau lagi emosi tuh jangan lampiasin gitu aja. Kebiasaan banget tahu."

"Ayah sendiri yang buat aku gini! kalau ayah nggak lupa sama janji ayah. Aku juga nggak bakalan marah. Terus ... kalau Tania ngomong baik-baik juga nggak bakalan di denger kan sama ayah?"

Alan menatap wajah anaknya.

Menyesal karena sejak kecil ia dan istrinya selalu saja menuruti permintaan Tania dan pada akhirnya anak itu tumbuh dengan sikap yang luar biasa keras kepala dan juga akan langsung mengamuk kalau keinginannya tidak di turuti sama sekali.

"Ya sudah ... ambil tas kamu. Kita berangkat sekarang. Ayah antar kamu sekarang."

Tania meninggalkan Alan untuk mengambil tas.

Sementara itu, Alan menghampiri para pelayan yang sudah mengumpul di dapur.

"Mbak nanti minta tolong kasih bubur ini ke Cantika dan pastiin dia makan sampai habis. Terus tolong bersihin halaman depan rumahnya. Buang semua sampah di sana," titahnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!