Mengurus Satu Masalah

Semakin dipikirkan, semakin sakit.

Mungkin ini yang terjadi pada. Cantika. Beberapa saat setelah dirinya dihadang sama Tania dan diberikan berbagi kata kasar. Kini Cantika baru merasakan sakit pada hatinya. Ia terus sesak hingga hatinya terasa kosong. Entah dia harus melakukan apa. Karena dirinya juga bingung harus bagaimana dengan kondisinya yang sekarang ini.

“Ya Allah kenapa sesakit ini? Akankah ada pelangi indah di kemudian hari? Atau selamanya aku bakalan merasa hujan badai di hidup hamba? Mohon petunjuknya Ya Allah.”

Cantika mengadahkan tangan.

Di malam sepertiga malam. Ia bangun dan menunaikan shalat tahajud. Ia mengadukan semuanya kepada Allah. Tentang hidupnya selama ini dan rasa sakit hatinya yang baru ia rasakan karena diakibatkan oleh anak yang bahkan belum dewasa itu.

“Ya Allah ... kalau memang ini takdir dari Engkau. Mohon pencerahannya. Mohon tunjukan, jalan apa yang harus hamba lakukan supaya hamba ikhlas melewati ini semua dan tolong tunjukkan keajaiban mu Ya Allah.”

Dia menarik napas dalam.

“Dan mohon ketabahannya pada hati hamba Ya Allah. Semoga hamba bisa melewati semua ujian yang berasal dari Engkau Ya Allah.”

***

Pagi harinya,

Di kediaman Alan. Rumah masih terasa dingin. Alan dan Tania belum ada yang berusaha menurunkan egonya dan masih sama-sama mempertahankan egonya. Keduanya terlahir keras kepala. Jadi tidak mudah untuk membuat mereka meminta maaf terlebih dahulu.

Akibat perang dinginnya ini membuat Tania tidak sarapan dan langsung berangkat sama temannya yang menjemput.

Alan tidak bisa protes sama sekali begitu melihat anaknya dijemput dengan seorang laki-laki yang bahkan memakai motor.

“Belum punya SIM aja udah berani bawa anak saya pergi. Dasar, saya nggak akan kasih izin Tania lagi untuk pergi sama temannya!”

Alan mendengus.

Ia mengambil kaos kaki dan mengenakannya di depan rumah. Baru mau masuk mobil, ia melihat Cantika keluar dari rumahnya.

Langsung saja ia mengurungkan niatnya untuk berangkat kerja dan memutuskan untuk menghampiri Cantika.

“Mau kemana kamu?” tanya Alan sedikit berteriak saat melihat penampilan Cantika lebih rapih di banding biasanya. “Kamu nggak izin ke saya?”

Cantika berusaha menaikkan maskernya. Tidak mau membuat Alan sadar akan wajahnya yang sangat bengkak.

“Ini aku keluar karena denger suara mobil tuan. Makanya aku sengaja keluar, sekalian aku mau izin buat pergi sebentar aja. Boleh kan tuan? Aku janji nggak akan lama dan nggak bakalan bocorin kondisi pernikahan kita ke orang lain. Aku akan jaga rahasia kok.”

Alan menatap bingung. Bukan itu yang menjadi sumber permasalahannya saat ini.

“Saya nggak takut kalau kamu mau bocorin rumah tangga kita. Karena kalau kamu bongkar hubungan ini. Pasti kamu juga bakalan terseret masalah ini. Tapi ... bukan itu yang jadi pertanyaan nya. Saya penasaran mau kemana kamu? Masalahnya, kamu belum izin sama sekali loh. Harusnya kamu tahu kan kalau kemana pun istri pergi. Dia harus izin sama suaminya?”

Cantika tertawa kecil.

“Pertama, hubungan tuan sama aku nggak sebaik itu buat izin. Aku juga mau izin. Tapi tuan tahu sendiri kan kalau rumah kita bahkan nggak bareng. Aku nggak mungkin masuk ke dalam rumah tuan cuman buat minta izin? Yang ada aku di marahin sama anak tuan.”

“...”

“Kedua ... sekarang aku izin. Jadi, nggak ada yang perlu di pusingin lagi.” Cantika menarik napas dan berdiri di hadapan Alan. “Aku minta izin buat pergi ke rumah orang tua aku. Boleh kan tuan?” tanya Cantika sekali lagi dengan penuh penekanan.

Alan diam untuk sesaat dan berakhir mengangguk.

“Tapi saya yang antar kamu ke sana. Gimana? Dan saya nggak bisa menunggu kamu. Kamu bisa pulang ke sini sendirian. Nanti saya kasih ongkos buat kamu pulang. Nggak masalah kan? Dan saya butuh kabar dari kamu.”

Cantika tersenyum meledek. Ia mencolek tubuh Alan.

“Cia tuan ... udah mulai nggak bisa di tinggalin sama aku nih?” tanya Cantika menutup mulutnya itu. Berpura-pura merasa malu

 Alan berdecak. "Saya hanya tidak mau kehilangan uang saya. Mau bagaimana pun kamu sudah dibeli sama saya dan nominalnya nggak sedikit!" dusta Alan

Meninggalkan Cantika begitu saja, membuat perempuan itu berceloteh kesal.

"Dasar pemalu ... anak sama bapak sama saja. Mulutnya sama-sama menyakitkan. Dasar ..."

Baru Cantika berlari menghampiri Alan dan masuk ke pintu belakang mobil. Baru duduk Cantika mendapatkan lagi tatapan tajam dari Alan.

"Kenapa lagi tuan? aku ada salah lagi sama tuan?" tanya Cantika yang mulai kesal.

"Memangnya kamu kira saya supir! cepat pindah ke depan."

Dengan perasaan kesal. Cantika keluar dari mobil dan masuk ke dalam pintu di samping Alan. Baru Alan menjalankan mobilnya meninggalkan tempat ini.

***

"Tuan tahu rumah aku?" tanya Cantika yang takjub karena Alan tidak bertanya sama sekali alamat rumahnya, tapi mobil terus melewati jalan yang Cantika kenali

"Tahu lah ... memangnya kamu kira saya nggak pernah datang ke rumah kamu? terus dulu pas saya melamar kamu itu bagaimana? kan saya dan keluarga yang datang ke rumah kamu."

Cantika mengangguk. Baru ingat yang satu itu.

Cantika kembali menoleh ke samping dan melihat banyak kendaraan motor yang membuat jalanan cukup macet. Tak ada kekesalan sama sekali. Cantika menikmati semuanya untuk saat ini.

"Untuk apa kamu kembali ke rumah orang tua kamu?" tanya Alan lagi. "Mereka sudah membuang kamu. Seharusnya kamu sadar akan fakta itu. Jadi, buat apa datang lagi ke mereka yang nggak punya hati itu."

Cantika menghela napas dalam. Memang benar orang tuanya udah sangat membuatnya sakit. Bahkan sampai detik ini Cantika berusaha menyangkal fakta yang satu ini. Tapi mau bagaimana lagi, memang seperti ini faktanya kan? jadi ia harus menerima. Tapi ada beberapa hal yang buat Cantika nggak bisa begitu aja benci sama orang tuanya.

"Aku udah dirawat bertahun-tahun sama mereka," cerita Cantika. "Aku nggak ada hak untuk benci banget sama mereka. Dibanding benci, aku cuman berusaha ikhlas doang. Nggak gampang sih. Tapi aku lagi berusaha buat jalanin semua ini. Semoga aja aku berhasil. Biar kalau inget masalah ini. Aku nggak ngerasa sakit hati lagi."

Alan melirik, ikut merasa sedih.

"Jadi ... buat apa kamu kembali ke mereka? bukannya malah nambah sakit hati aja? karena ngeliat wajah orang yang udah menjual kamu."

Cantika menyetujui perkataan Alan.

"Tapi aku juga butuh penjelasan dari mereka. Jadi, aku harus temuin mereka. Aku janji sama diri aku sendiri. Kalau jawaban mereka menyakiti aku. Aku nggak bakalan kembali ke sana lagi."

Alan menoleh ke Cantika sebentar sebelum kembali fokus ke jalanan.

"Karena saya nggak bisa ikut turun, saya akan membiarkan kamu menghubungi saya kalau ada masalah. Jadi, jangan lupa kalau nomor saya tersedia untuk kamu telepon."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!