Sakit Hati

Cantika melambaikan tangan ke arah mobil Alan yang meninggalkan dirinya. Setelah mobil Alan sudah sangat jauh dari jarak pandangnya. Cantika langsung bergegas masuk ke rumah yang tidak terlalu besar namun terkesan nyaman karena banyak tanaman yang selalu Cantika rawat itu.

"Semoga ibu sama bapak jelasin semuanya dengan baik dan alasannya masuk akal. Supaya aku nggak terlalu sakit hati," harap Cantika.

Dengan perlahan, ia mendatangi pintu rumahnya. Ia ketuk dan memanggil ibunya. Cukup lama tak ada jawaban hingga suara ibunya yang meminta untuk menunggu terdengar, dan spontan ia melangkah sedikit menjauh dari pintu.

"Siapa ya?" pintu terbuka dan seketika wajah ibunya terlihat kaget begitu melihat dirinya.

"BU!" Cantika menahan pintu rumah dengan kakinya dan memaksa masuk. Ia dorong paksa pintu rumahnya sampai kini ia ada di dalam dan melihat ibunya yang menunduk aja tanpa mengatakan apa-apa. "Bu ... apa bener atas semua yang tuan Alan katakan ke aku?"

***

Cantika, ibu dan bapak sudah duduk melingkar di depan ruang televisi. Cantika butuh penjelasan dari mereka. Dia tak mengatakan apa-apa sejak tadi. Tangannya menyilang di dada, menatap orang tuanya yang bahkan enggan untuk menjelaskan masalah yang terjadi.

"Aku kecewa banget sama ibu dan bapak," aku Cantika memulai pembicaraan lagi. "Kalian udah nggak sayang sama aku? kalau memang begitu. Harusnya ibu sama bapak bisa ngomong langsung sama aku. Bukannya malah buang aku kayak gini. Memangnya aku apa? memangnya aku bukan anak kalian, makanya kalian sampai ngelakuin ini."

"Memang benar!"

Cantika terperanjat. "Maksud bapak apa?"

Bapak beranjak meninggalkan mereka dan masuk ke dalam kamar. Ia keluar sambil membawa sebuah map.

"Kamu bisa baca sendiri semuanya di sini."

Cantika hanya bisa menatap curiga lalu mengambil map tersebut dan dunia Cantika seakan runtuh saat melihat isi dari map tersebut.

Surat adopsi. Surat yang bertuliskan namanya di surat itu membuat jantungnya berdegup kencang. Cantika berusaha memastikan berulang kali. Tapi tulisan di sana masih sama. Nama orang tuanya yang menjadi wali sambung dan mereka yang mau mengangkat anak dari sebuah panti, yaitu dirinya.

"Bu? pak?" Cantika menuntut penjelasan.

"Benar yang ada di sana," ucap Ibu dengan pelan. "Kamu memang bukan anak kami. Ibu didiagnosa nggak bisa hamil dan kami terpaksa buat angkat kamu sebagai anak. Tapi kami nggak tega kasih tahu ke kamu. Jadi, maaf kalau ini menyakiti kamu. Tapi memang seperti ini faktanya. Kamu bukan anak kami."

Mulut Cantika hanya menganga. Tidak sanggup untuk mengatakan apa-apa.

Berita besar seperti ini dan mereka sangat kelihatan begitu santai. Seolah memang nggak peduli sama dirinya? ia mendengus dan menghembuskan napas kasar.

Memijat keningnya yang tiba-tiba terasa pening.

"Kalau memang kalian bukan ibu sama bapak kandung aku. Apa wajar kalau kalian buang aku begini? terus jual aku? aku ini manusia, bukan aset. Kalau memang ibu sama bapak udah nggak sanggup buat rawat aku. Harusnya kalian bilang langsung sama aku. Bukannya malah kayak begini."

Cantika memalingkan wajah.

Bertahun-tahun bersama orang tuanya, melewati banyak hal bersama membuat Cantika nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Kasih sayang yang dulu di curahkan oleh orang tuanya. Entah kenapa sekarang malah kelihatan sedikit palsu?

Cantika mengerang kesal.

"Kalian angkat aku anak— woah." Cantika menggeleng pelan. "Aku sampai nggak tahu harus ngomong kayak gimana lagi. Tapi di sini ibu sama bapak malah keliatan sesantai ini? kalian nggak merasa bersalah kah sama aku?"

Bapaknya itu dengan santai menggeleng.

"Kami sudah membiayai kamu dari kecil. Tentu aja dari dulu kami udah merawat kamu dengan segenap hati. Kami juga udah ngeluarin banyak biaya buat kamu. Kami sedikit berharap kalau kamu bisa balas budi. Tapi apa? kerjaan aja kamu susah dapat. Jadi, bukan salah kami kalau kami mutusin kayak gini?"

Cantika lagi-lagi speechless. Ia beralih menatap ibunya yang sejak tadi hanya diam saja.

"Bu?" panggilnya.

"Kamu dengar aja omongan bapak kamu. Itu udah yang terbaik buat kamu," ucap Ibu membuat Cantika nggak bisa berpikir jernih lagi.

"Kalau bapak sama ibu memang butuh uang. Harusnya kalian bilang langsung sama aku. Aku bakalan giat buat cari kerja. Biar bisa kasih banyak uang buat ibu sama bapak. Bukannya malah begini!"

Cantika menepuk dadanya hingga bunyi cukup kencang.

"Kalau begini sama aja kalian ngorbanin aku!" serunya lalu meraup wajahnya, sangat kesal. "Memangnya kalian kira aku mau menikah? enggak ... kalian kayak maksa aku buat masuk ke lubang buaya. Kalian sama aja nggak sayang sama aku."

"Justru karena kami sayang sama kamu," papar bapak tiba-tiba

"Maksud bapak?"

"Kamu nikah sama siapa? kamu menikah sama orang yang kaya kan? jadi harusnya bagus dong. Hidup kamu bakalan terjamin buat ke depannya. Kamu nggak bakalan hidup susah kayak sekarang. Toh sekarang ibu sama bapak juga udah dapet enaknya. Jadi, kita sama-sama enak."

"..."

"Kamu juga nggak bisa protes loh," seru bapak lagi kali ini dengan serius. "Kamu harus nurut dong sama kami? kami udah ngurus kamu. Jadi, kamu nggak bisa protes sama sekali dengan pilihan kami."

Seketika Cantika berdiri.

"Kayaknya aku butuh waktu buat nenangin diri."

Ia meninggalkan kedua orang tuanya dan masuk ke dalam kamar. Tangisan yang dari tadi ia tahan kini pecah juga. Ia meraung dan mengeluarkan sakit hati yang sangat sesak di dadanya.

"Kenapa masalah terus datang berurutan kayak gini?" tanya Cantika dengan pelan. "Menikah aja udah buat aku sakit. Tapi aku malah di buat tambah sakit pas dapet fakta aku dijual sama orang tua aku sendiri. Terus aku yang dapat omongan kasar banget dari Tania dan sekarang? aku juga dapat fakta baru. Kalau aku bukan anak dari orang tua aku yang selama ini udah merawat aku dari kecil."

Semuanya terlalu tiba-tiba dan Cantika sangat kaget.

Ia nggak bisa mengimbangi akan takdir yang menyakitkan seperti ini.

Cantika memeluk tubuhnya sendiri. Meratapi nasibnya yang semakin dewasa, bukannya semakin bagus. Tapi malahan semakin hancur dan tak terbentuk sama sekali.

"Sekarang ... aku harus apa? bahkan aku nggak bisa percaya sama siapa-siapa sekarang."

Cantika berulang kali menarik napas dan menghembuskan nya. Ia berusaha menenangkan dirinya. Walau sejak tadi jantungnya berdegup kencang karena nggak tahu harus apa selain menangis.

Rasanya ia mulai lelah.

Hampir tiap hari, tiap jam terus menangis seperti ini.

Ia mengeratkan pelukan di tubuhnya sendiri.

"Sekarang aku cuman punya diri aku sendiri. Nggak ada yang lain."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!