Selepas menyinggung almarhum istrinya. Entah kenapa Alan merasakan suasana berubah menjadi canggung. Dia tak tahu alasannya karena apa. Tapi Cantika juga jauh lebih diam dan nggak secerewet sebelumnya. Cantika lebih banyak diam dan menanggapi ucapannya dengan dehaman saja.
Alan menggeleng pelan.
"Lagi mau fokus makan aja kali," gumam Alan di dalam hati yang nggak mau memusingkan lagi hal ini.
Alan kembali fokus dengan ponselnya. Berselancar di media massa untuk mencari informasi ter update supaya dia bisa mengetahui berita terbaru. Jadi, kalau ada perkumpulan antara boss. Nanti dia nggak akan ketinggalan berita.
Sedangkan Cantika,
Sibuk dengan alat masak di sana. Ia sengaja membuat makanan dengan jumlah yang lumayan banyak. Supaya nanti pas Tania pulang sekolah, anak itu bisa makan masakannya juga.
Setelah jadi, Cantika membawakannya ke meja makan dan meminta Alan untuk makan.
"Kamu nggak makan?" tanya Alan begitu melihat Cantika yang ingin kembali ke dapur.
"Eh? masa iya aku makan sama tuan. Enggak ah, aku nggak enak juga. Tuan aja makan. Aku belum lapar."
"Makan!" titah Alan dengan suara beratnya. Ia menatap tajam Cantika. "Duduk dan makan," serunya lagi membuat Cantika spontan menarik kursi dan duduk agak jauh dari Alan. "Nah begitu dong ... apa kamu lupa kalau punya magh akut? saya nggak mau kalau kamu sampai sakit lagi karena saya."
"Iya .. maaf tuan."
"Udah makan sana."
Cantika menuang nasi dan lauk ke piringnya.
Kala itu suasana benar-benar sangat mencekam dan canggung. Bahkan Cantika merasa makanannya seperti sulit ditelan. Bukan karena nggak enak. Melainkan karena suasana yang sangat nggak nyaman. Cantika menenggak minuman setiap kali menyuap makanan. Membantu untuk menelannya.
"Masakan kamu enak," puji Alan setelah makanan di piring habis. "Kamu enak masakannya. Buat ke depannya saya akan sering nyuruh kamu buat masak deh. Nggak masalah kan?"
"Ih aku malah ngerasa seneng. Masakan aku di hargain gitu. Tuan tenang aja. Tanpa tuan pinta juga. Aku bakalan masak makanan buat tuan. Nanti kalau memang mau. Tuan kabarin aja ke aku?"
"Siap."
Cantika bangkit dan membawakan piring kosong ke wastafel. Alan mengikutinya dari belakang sambil membawa sisa lauk.
"Ih nggak usah repot-repot," panik Cantika sambil menerima piring yang digenggam Alan. "Biar aku aja yang bawa."
"Saya udah terbiasa membantu gini," beri tahu Alan sambil terus membantu Cantika. "Nata mengajarkan saya kalau pekerjaan rumah tuh bukan cuma tugas istri saja. Tapi juga tugas suami. Siapa pun yang masih bisa mengerjakan, lebih baik membantu. Jadi saya terbiasa melakukan kayak gini," cerita Alan lalu duduk di kursi pantry, memperhatikan Cantika yang mencuci piring dari tempat duduknya.
"Oh ya? tuan hebat deh."
"Bukan hebat tapi ini memang yang harus dilakuin para suami ke istrinya."
Pergerakan Cantika terhenti.
"Tapi kan tuan nggak anggap serius pernikahan ini? jadi buat apa tuan bantu aku. Udah ... tuan ke sana aja, nggak usah bantu Cantika."
"Eh?"
Diam-diam Alan menyetujui omongan Cantika.
Tanpa memperpanjang protes. Alan meninggalkan piring kotor di atas nakas dan langsung pergi gitu aja.
"Beneran pergi?" seru Cantika menggeleng pelan. "Padahal aku lagi nyindir tuan Alan. Tapi dia keliatannya malah gak kesindir ya?"
Cantika menyelesaikan sisa piring kotornya. Lalu tak lupa merapihkan dapur karena ulahnya.
Masih asyik membersihkan, Alan berlari menghampiri dirinya. "Buruan keluar lewat belakang. Tania datang. Saya nggak mau ribut lagi sama Tania karena dia lihat kamu di dalam sini."
"Eh?"
Tubuh Cantika di dorong ke belakang rumah yang ternyata memiliki pintu keluar. "Tuan," panggil Cantika dulu sebelum benar-benar pergi. "Nanti jangan lupa kasih Tania makan. Itu makanannya yang tadi. Kalau memang agak dingin. Nanti tuan hangatin dulu aja."
"Siap, udah sana."
Alan membanting pintu tepat di depan Cantika yang belum beranjak sama sekali.
Perempuan itu menggeleng dan menghela napas kecil. Ingin segera pergi. Tapi langkahnya terhenti karena dia melihat Tania yang keluar dari mobil. Buru-buru Cantika jongkok dan berlutut tepat di samping tong sampah besar.
Ia menutup hidungnya. Menghalau aroma tak sedap.
"Ya Allah ... sampai segininya," gumam Cantika pelan. "Aku udah kayak maling aja. Padahal aku juga nggak mau ada di posisi kayak gini."
Cantika menghela napas pasrah. Saat melihat Tania yang bukan langsung masuk. Malah berkacak pinggang sambil menatap rumah yang ia tinggali.
Cantika bisa melihat mata Tania yang sepertinya mengutuk. Sebelum anak perempuan itu masuk ke dalam dan dengan cepat Cantika berlari ke rumahnya dan menutup pintu.
Napasnya memburu di balik pintu dan tubuhnya terjatuh disusul dengan helaan napas berat.
"Kenapa sampai segininya banget sih?"
***
Tania masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Ia masih ingat kalau tadi pagi hubungannya sama sang ayah bisa dibilang nggak baik. Tapi kini dia malahan melihat mobil ayahnya di parkiran. Tanda ayahnya itu lagi nggak kerja.
Ia masuk dengan langkah pelan. Tanpa salam sama sekali.
"Tania."
Ia menghela napas dan langkahnya terhenti. "Iya?" jawab Tania tanpa menoleh sama sekali.
"Ganti baju dulu gih. Nanti kamu makan, ayah temanin. Kamu suka ngeluh kesepian kan? sekarang ayah temani kamu pas makan."
"Tumben," seru Tania dengan santai.
"Sudah sana naik, shalat, ganti baju terus turun. Ayah tunggu di sini. Ayah mau ngomong sesuatu sama kamu."
"Hmm ..."
Setelah melakukan semua yang diperintahkan Alan. Kini Tania turun dengan pakaiannya yang lebih santai. Tak lupa ia menyampirkan headphone di lehernya. Memang headphone itu salah satu barang yang selalu menemani Tania. Biar hidupnya nggak terlalu sepi.
"Duduk sini, ayah udah hangatin makanannya buat kamu."
Tanpa protes Tania duduk di hadapan Alan. Membiarkan Alan menuang makanan ke piringnya.
"Makan sana."
"Ayah nggak makan?" tanya Tania pada akhirnya karena melihat ayahnya yang malah duduk sambil melihati dirinya bukannya malah makan.
Alan menggeleng.
"Tadi ayah keburu laper, makannya ayah udah makan duluan. Maaf ya karena nggak nunggu kamu. Tapi ayah nungguin kamu makan kok. Jadi, kamu makan dengan santai aja nggak usah ngerasa nggak enak."
Tania mengangguk.
Ia beranjak dari tempat duduknya lalu membuat sesuatu di dapur.
"Kamu buat apa?" tanya Alan lagi membuat anak gadisnya menghela napas disusul desisan pelan.
"Ayah udah berapa lama sih hidup sama aku? ayah lupa kalau aku harus minum teh dulu sebelum makan? ini udah kebiasaan aku. Tapi ayah nggak ingat-ingat."
"Ah oke, noted," jawab Alan. "Ayah bakal inget mulai sekarang."
Tania kembali ke tempat duduknya dan menyeruput tehnya sebelum makan.
Setelah satu suap masuk ke dalam mulutnya. Tania berhenti sejenak mengunyah. Ia menatap Alan dengan waspada.
"Siapa yang masak ini?" tanya Tania dengan suara tertahan
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments