"Aku nggak sudi ayah bawa perempuan lain ke rumah ini selain bunda!"
Pekikan yang Cantika dengar begitu menginjakkan kaki di rumah berlantai dua itu langsung membuat Cantika mundur. Ia menatap, di depan sana seorang perempuan kisaran belasan tahun.
Rambutnya di cepol asal, wajahnya sangat cantik dan anggun. Anak itu masih mengenakan piyama dan sedang memeluk sebuah buku.
Tapi,
Semua itu berbanding terbalik sama wajahnya yang terlihat galak. Menatap Cantika dari atas sampai bawah.
"Kalau ayah tetep egois, aku bakal angkat kaki dari rumah ini!" pekiknya lagi kali ini disusul lemparan barang ke arah Cantika.
Alan sigap menangkap bantal sofa yang di lempar anaknya.
"Siapa yang ngajarin kamu nggak sopan kayak gini?" tanya Alan lembut membawa anaknya ke pelukan. "Ayah sama bunda nggak pernah ajarin kamu ngomong begini loh. Udah ah kita masuk ke dalam aja."
"Ayah beneran menikah?" tanya anak itu yang masih di dengar Cantika
"Hmm." Alan mengangguk. "Ayah minta maaf ya. Tapi mau ayah nikah atau enggak, kamu tetep jadi prioritas ayah. Gak akan ada yang gantiin. Cuma kamu yang ayah sayang. Ayah bakalan terus fokus sama kamu. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Karena ayah sayangnya cuma sama kamu doang."
Cantika tertegun.
"Ta— tapi di mana janji ayah sama bunda."
Anak cantik itu mendorong tubuh Alan dan menangis. Dia memukul tubuh ayahnya cukup kencang.
"Ayah cuma boleh sama bunda Nata doang. Aku nggak mau ibu baru. Ibu tiri jahat! aku benci. Aku nggak suka lihat ayah nikah. Aku nggak setuju, tapi kenapa ayah nggak dengerin omongan Tania? Tania benci ayah!"
Oh ... Namanya Tania. Cantika terus menatap Tania dari atas sampai bawah. Dirinya semakin minder mengetahui anak itu membenci dirinya. Ia menelan saliva, melangkah mundur lagi. Semakin merasa kecil dan tak berharga di rumah besar ini.
"Ayah ... ayah bohong. Ayah pembohong! katanya setelah bunda meninggal. Ayah cuma mau fokus sama aku. Ayah juga janji sama bunda untuk nggak nikah lagi. Tapi kenapa begini."
Tania meninggalkan Alan dan melipat kakinya di sofa. Wajahnya tenggelam di balik lipatan kaki. Dia semakin menangis kencang. Meronta saat Alan memasak untuk memeluk anak itu.
"Aku benci ibu tiri! sampai kapan pun aku nggak bakalan terima dia. Suruh dia pergi yah. Kalau ayah sayang sama aku. Ayah harus pilih aku dan suruh cewek tadi pergi! aku nggak mau ngeliat dia menginjak kaki di rumah ini lagi!"
Alan menoleh ke belakang, melihat Cantika yang semakin menunduk.
Alan kembali menatap anaknya. Dia bingung harus memilih yang mana.
Akhirnya dengan perasaan yang campur aduk. Alan meninggalkan anaknya dan menghampiri Tania.
"Tania ... saya minta maaf. Sebenarnya anak saya memang tidak setuju sama pernikahan ini. Saya juga setuju karena kasihan sama kamu dan paksaan dari orang tua saya. Jadi, saya di sini paham sama perasaan anak saya dan betapa dia bencinya sama kamu. Jadi, kamu mohon memaklumi nya ya."
Cantika tertegun dan menatap melas pada Alan.
"Tania sungguh menentang pernikahan ini. Dari awal saya udah suruh kamu nyiapin mental kan? dan sepertinya dia gak setuju kalau kamu tinggal di sini."
"Ya sudah ... pulang saja ke rumah," jawabnya lemah.
"Untuk apa kamu pulang ke rumah kamu? kamu kan sudah di jual sama mereka?"
Satu fakta lagi menampar Cantika. Ia tertawa miris di hari. Merasa dirinya sudah tidak berguna bagi semua orang yang ada di sini. Ia menunduk. Ia hanya punya dirinya sendiri dan nggak tahu harus melakukan apa untuk ke depannya.
"Begini saja .., di belakang rumah saya. Tepatnya di halaman belakang, ada rumah kecil. Sebenarnya lebih ke gubuk. Soal nya dulu itu jadi tempat naruh barang. Tapi beberapa bulan kemarin saya sengaja keluarkan semua barang dan menaruh kasur. Bagaimana kalau kamu tinggal di sana?"
"Hah?" kaget Cantika
"Sudah lebih baik begitu. Kamu masih tanggung jawab saya. Jadi, saya nggak berhak menyuruh kamu pergi juga."
Belum sempat protes, Alan keburu memanggil pelayan di rumahnya.
"Iya tuan?"
"Kamu antarkan Cantika ke rumah gubuk di belakang itu. Nanti kamu rapih kan dulu, baru suruh Cantika istirahat di sana. Kamu persiapkan juga semua kebutuhan untuk Cantika. Pokoknya perlakukan Cantika seperti atasan kamu. Jangan malas!"
Alan mendorong pelan tubuh Cantika keluar rumah, menunjuk halaman rumahnya dengan dagu. Meminta Cantika untuk cepat pergi.
Dengan perasaan campur aduk, Cantika membawa koper dan tas lusuhnya lalu beranjak keluar.
"Mari nona ..."
Cantika mengikuti perempuan berseragam itu.
Melewati banyak tanaman yang indah, akhirnya Cantika bertemu dengan sebuah rumah kecil di belakang rumah Alan. Ia menoleh ke belakang dan kembali menatap gubuk mungil di depannya. Berbanding sangat jauh dan itu membuat dia begitu sakit hati.
"Nona tunggu sebentar ya, saya rapih kan dulu di dalam."
"Iya .."
Cantika memilih duduk di kursi dan memandang langit yang begitu indah. Pandangannya begitu kosong hingga setetes air mata turun.
"Kenapa nasib aku bisa berubah drastis kayak gini?" tanya Cantika pelan. "Bukan ini yang aku harapkan. Aku benci sama takdir hidup begini. Aku benci!"
Tangannya mengepal dan diam-diam Cantika memukul dadanya. Rasa sakit nggak sebanding dengan rasa sesak yang Cantika rasakan saat ini.
Perih, sedih, ingin marah, kecewa, semuanya campur aduk jadi satu.
Hingga suara langkah kaki membuat Cantika buru-buru bangun dan menghapus air matanya. Dia menggeleng dan berusaha tersenyum lalu bangkit saat melihat perempuan berseragam tadi keluar dari gubuk yang sebenarnya tak layak di pakai itu.
"Nona ... semuanya sudah saya bersihkan. Nona bisa langsung istirahat. Kalau butuh apa-apa nona bisa telepon saya."
Dia merogoh kantungnya dan mengeluarkan selembar kertas yang tertera sebuah nomor. Diberikannya ke Cantika dan Cantika langsung mengambil dan mengucapkan terima kasih padanya.
"Makasih banyak ya, maaf merepotkan," ucapnya dengan suara begitu serak.
"Tidak merepotkan sama sekali. Ini sudah tugas saya." Perempuan berseragam itu tersenyum tipis. "Sekarang apa nona butuh sesuatu? karena sebentar lagi saya harus menyiapkan makan siang untuk nona muda Tania dan tuan Alan."
Cantika menggeleng.
"Udah semuanya ... makasih ya sekali lagi."
"Iya sama-sama nona, saya pamit."
Setelah kepergian perempuan berseragam itu. Cantika kembali menarik kopernya ke depan pintu yang tertutup itu.
Kakinya terasa berat untuk melangkah masuk. Bahkan tangan Cantika hanya bertengger di kenop pintu. Tidak berani membukanya. Perasaan ia sedikit nggak enak.
Setelah menguatkan hati, akhirnya Cantika membukanya dan seketika ia tertegun melihat isi rumah kecil tersebut.
"Apa ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments