Menangis dan Menenangkan

Cantika merasa dunianya berhenti untuk sesaat. Fakta mengejutkan yang baru ia dengar benar-benar membuatnya sedikit linglung karena tidak mengetahui orang tuanya akan setega ini. Sejak mendengarnya, Cantika hanya diam. Bahkan Cantika tidak bereaksi sama sekali saat Alan membereskan meja bekas mereka makan.

"Maaf kalau kabar ini mengejutkan kamu," ucap Alan. "Selain saya baru tahu kalau baru mendengar kabar ini. Tapi di sisi lain, menurut saya memang udah saatnya kamu tahu karena semakin lama kamu mendengar fakta ini. Maka makin lama juga kamu sakit hatinya."

"Tuan ..."

"Hmm?"

Cantika beranjak dan ikut duduk di samping Alan. Ditatap nya mata Alan yang selama ini tidak pernah Cantika berani untuk tatap itu. Cantika kesampingkan rasa takut dan gugup nya.

"Tapi .. apa alasan mereka ngelakuin ini?" tanya Cantika sambil menggeleng lalu mengerang pelan. "Bahkan aku sama sekali nggak ada pikiran ke arah sana. Karena semua nya baik-baik aja. Aku nggak pernah berantem sama ibu dan bapak. Pas masih di rumah juga, ibu sama bapak nggak ada tuh nunjukin keanehan yang buat aku bingung. Tapi ini ke napa tiba-tiba banget kayak gini."

"Jawabannya cuma satu, saya tidak tahu ... udah lebih baik kamu tidur. Sudah malam, karena besok pagi buta. Kita harus kembali ke rumah saya. Saya masih ada kerjaan."

Alan meninggalkan Cantika yang masih terduduk di pinggir kasur.

"Tuan ..."

"Kita lanjutin lagi besok Cantika," seru Alan lagi dengan tegas. "Karena kamu juga harus nyiapin diri untuk besok."

"Nyiapin diri?" Menoleh ke Alan

Laki-laki itu berdeham.

"Buat apa?"

"Oh? saya belum bilang ya?" anggukan Cantika membuat Alan mendengus pelan. "Kamu besok ke rumah saya dan artinya kamu bakalan bertemu sama anak saya. Jadi saya minta kamu untuk nyiapin diri."

"Kalau ketemu sama anak tuan kenapa harus nyiapin diri? kayak ketemu orang penting aja," jawab Cantika santai. "Dan kenapa dari tadi ajh nggak lihat anak tuan? bukan seharus nya dia ada di sini ya? di samping tuan pas orang tuanya lagi nikah. Tapi, kenapa malah nggak ada?"

"Itu tantangannya ... anak saya sangat menentang dan tidak setuju sama pernikahan saya. Dia juga sangat keras kepala. Entah apa yang akan terjadi besok, karena saya membawa kamu ke rumah saya. Tapi apa pun itu, harusnya kamu siap kan? kamu tinggal menarik hati anak saya dan ya semua masalah udah selesai."

"Santai banget tuan ngomongnya."

Perempuan itu bergidik. Belum selesai masalahnya tentang orang tuanya ini. Kini dia malah mendapat fakta baru lagi. Diam-diam Cantika mencengkram pergelangan tangannya hingga memerah dan sedikit memar.

"Sudah ...," potong Alan lagi berusaha menenangkan Cantika. "Istirahat saja, tidak usah terlalu di pikirkan akan masalah ini. Sudah kamu tidur di kasur, biar saya yang di sofa."

"Eh nggak usah!" Cantika langsung berdiri dan membawa bantal serta selimut di kasur. "Biar tuan aja yang di kasur. Aku udah biasa tidur di sofa atau lantai. Tapi kalau tuan, jangan. Nanti badannya malah sakit."

Alan menahan lengan Cantika dan menyuruhnya untuk tetap diam di tempat.

"Tidur di sana atau saya tiduri kamu!"

Mata Cantika membola dan buru-buru tiduran di atas kasur. Cantika membelakangi Alan dan berusaha memejamkan mata dengan begitu panik.

Di dalam hati Cantika sudah menggerutu kesal, apa-apaan ini. Kenapa dengan gampangnya Alan malah mengatakan hal yang begitu menyeramkan. Hal yang nggak pernah di pikirkan sama sekali oleh Cantika.

Sementara itu,

Melihat mata Cantika yang masih kelihatan berkedip walau sedang tertidur membuat Alan menggelengkan kepalanya sesaat.

Dia beranjak ke lemari, mengambil bantal lalu menaruhnya di sofa. Ia tiduran telentang dan menyelimuti tubuhnya sendiri.

Setelah beberapa waktu, keadaan mulai hening. Alan menoleh ke arah Cantika yang masih membelakanginya itu.

"Cantika ..."

"I— iya tuan?" jawabnya pelan

"Jangan pikirkan omongan saya yang tadi. Karena sampai kapan pun saya nggak akan pernah melakukannya sama orang yang bahkan nggak pernah saya cintai," ucap Alan

Cantika tertegun. Entah harus bersyukur atau meringis mendengar kabar ini.

"I— iya."

"Dan ... maafkan orang tua saya yang udah membeli kamu. Karena perlakuan orang tua saya sama saja seperti membeli dan memaksakan hidup kami. Pasti berat kan menjalani takdir yang nggak sejalan sama hidup kita?"

Cantika terdiam untuk sesaat. Perasaan sedihnya kembali menguap dan perempuan itu hanya bisa memeluk gulingnya dengan perasaan sedih.

"Saya juga minta maaf atas omongan kasar saat pertama kali kita bertemu. Tapi jujur saja, pada saat itu saya sama sekali nggak mengetahui rencana orang tua saya. Dan setelah mereka jujur, akhirnya saya luluh. Karena di sini salah orang tua kita berdua. Jadi, saya nggak berhak untuk menyalahkan kamu lagi."

Cantika menggeleng pelan.

"Mau tuan anggap aku apa pun, aku udah nggak peduli," ucapnya dengan sangat pelan. "Aku lebih sedih sama fakta ibu dan bapak yang udah jual aku. Disaat aku nggak tahu apa-apa. Padahal kalau mereka ada masalah uang, mereka bisa jelasin sama aku. Bukannya malah kayak gini. Aku bisa cari kerja, tapi mereka malah milih buat jual aku."

"..."

"Seolah aku nggak ada harga dirinya sama sekali di mata ibu dan bapak," gumam Cantika. "Juga ... kenapa mereka bisa mikir buat jual anaknya sendiri. Kayak semuanya gak masuk akal di otak aku."

Alan terduduk dan menatap tubuh Cantika yang bergetar, tanda menangis. Tapi Alan tidak bisa apa-apa dan milih untuk diam.

"Makanya ... pada akhirnya saya menerima kamu dengan lapang dada. Kamu tenang saja, setelah ini kamu bisa bebas ngelakuin apa yang kamu mau. Saya nggak akan maksa kamu untuk ngelakuin ini itu. Karena saya ingin nanti kita hidup masing-masing walaupun tinggal di satu atap dan juga kamu cukup narik hati anak saya. Setelahnya kamu bebas ngapain juga saya nggak peduli. Bahkan kalau nanti kamu bertemu sama laki-laki yang kamu suka. Saya nggak akan sungkan untuk menceraikan kamu."

Cantika terdiam.

"Saya nggak mau pernikahan ini malah membuat kamu susah. Anggap aja pernikahan ini main-main. Kamu bisa bahagia dengan cara kamu sendiri. Asal saya mau minta sesuatu untuk kamu dan jika kamu melanggarnya, jangan harap kamu bisa bahagia lagi di pernikahan ini."

"Maksud tuan?" tanya Cantika dengan suaranya yang serak

"Saya harap kamu tidak mencintai saya. Ini hanya pernikahan di atas kertas yang nggak serius di mata saya dan selamanya saya tidak akan pernah mencintai kamu. Hidup saya hanya terfokus ke almarhum istri saya dan anak saya saja. Jadi, jangan pernah mencintai saya!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!