“Apa aku begitu buruk sebagai pendampingmu, Bintang? Sepertinya kamu tidak berpendapat seperti itu waktu di apartemenku itu.” Kata pria itu menatapku dengan tajam menunggu jawabanku.
“Waktu itu aku tidak ada pilihan lain.” Kata Bintang menjawab dengan nada tenang. Bintang mengangkat wajahnya dan balas menatap mata pria itu dengan tajam.
Akhirnya Bintang mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Bintang menarik napasnya lalu berkata, “Aku sudah mencoba berusaha memberikanmu banyak pilihan pada saat itu. Aku pun berusaha untuk tidak menyentuhmu, tetapi harus kamu sadari, aku ini pria normal. Sehingga aku berpendapat pada saat itu kamu selalu menggodaku terus.”
“Waktu itu aku diajak minum-minum oleh temanku di apartemennya. Sehingga aku tidak sadarkan diri. Ditambah lagi kamu memberikan aku minum minuman yang mengandung alkohol juga sewaktu aku berada di apartemenmu waktu itu.” Jelas Bintang.
“Aku tidak tahu akan hal itu. Dan aku tidak tahu kalau kamu masih virgin.”
Bintang merasa seakan seseorang telah menampar wajahnya, lalu dia menarik napas dalam-dalam.
“Beberapa kali aku meminta kamu untuk menghentikan perdebatan ini, Bintang. Aku sudah lelah berdebat dengan kamu tentang masalah ini terus.”
“Stop!” Kata Bintang sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Aku tidak mau mengingat hal itu lagi.”
“Kenapa kamu pergi pagi itu bahkan sebelum sempat kita bicara?”
“Aku tidak mau bicara denganmu. Aku tidak ingin mengenalmu bahkan aku juga tidak ingin mengetahui siapa namamu. Aku mengira aku tidak akan melihatmu lagi. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku kalau aku akan hamil karena aku telah divonis oleh dokter bahwa aku mandul, tidak akan bisa punya anak. Pada waktu itu, aku cuma ingin pergi dari tempat itu dan melupakan semua yang telah terjadi padaku. Seharusnya aku tahu hal ini akan terjadi padaku. Dan aku harus menanggung segala kesalahan yang telah aku perbuat.”
“Berarti kamu menganggap yang terjadi diantara kita adalah sebuah kesalahan?”
“Tentu saja iya!” Sahut Bintang ketus sambil menatap pria itu dengan tatapan tajam.
“Sebelum aku mengenalmu, kehidupanku sangat teratur. Sekarang coba kamu lihat, hidupku mulai berantakan. Semua ini karena siapa? Semua ini karena kamu datang dalam kehidupanku.”
“Jadi sekarang kamu menyalahkan aku? Hidupmu berantakan karena aku?” Kata Felix. Lalu dia tersenyum pada Bintang dan berjongkok di dekat kursi Bintang, membelai rambutnya dan menghapus air mata dari pipi Bintang.
“Biarkan aku sendiri!” Ujar Bintangdengan nada marah. “Aku tidak mampu melawan dirimu saat ini. Tidak secara fisik atau pun dengan adu mulut. Aku benar-benar sangat lelah menghadapi semua ini. Aku sangat menginginkan bayi ini. Namun, aku sangat bosan dengan kehamilan ini. Aku bosan melihat tubuhku yang harus membengkak seperti ini. Aku tidak suka mengeluh pada siapa pun, termasuk dirimu. Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?”
“Sebaiknya kamu makan dulu. Perutmu harus diisi. Jaga kesehatanmu juga, Bintang.”
Lalu Felix bangkit berdiri dan menyendokkan Bintang sepiring nasi goreng yang telah dibuatnya.
“Aku tidak lapar.” Rengek Bintang.
“Makanlah walau sedikit saja. Perutmu perlu diisi. Si jabang bayi juga pasti sudah lapar sekarang. Ayo, makanlah.”
Walau katanya tidak lapar, Bintang menyantap habis sepiring nasi goreng buatan Felix.
“Nasi goreng buatanku enak tidak?”
“Lumayanlah untuk menganjal perut yang kosong.”
Felix tersenyum mendengar jawaban Bintang barusan. “Mau tambah?” Katanya manawarkan Bintang untuk menambah nasi goreng buatannya.
“Boleh!”
Lalu Felix menyendokkan lagi sepiring nasi goreng buatannya.
“Sehabis makan, biar aku yang membereskannya dan mencucinya. Kamu istirahatlah.”
Bintang menganggukkan kepalanya dengan pelan.
Sehabis makan malam, Bintang berjalan menuju sofa ruang tamu. Dia duduk meringkuk di pojok sofa ruang tamu, matanya menerawang jauh ke arah jendela rumah. Secangkir teh hangat berada di atas meja ruang tamu. Sesekali sambil meneguk teh hangat itu, sesekali matanya menerawang jauh ke luar jendela.
Setelah selesai membereskan dapur, Felix mematikan lampu dapur dan segera bergabung dengan Bintang yang sedang duduk di ruang tamu. Dia duduk di samping Bintang.
“Sebaiknya kita mencari seorang asisten rumah tangga untukmu, Bintang .” Katanya sambil meraih tangan Bintang dan mengelusnya dengan lembut.
“Aku sudah punya asisten rumah tangga sebelumnya. Asisten rumah tanggaku sedang cuti ketika kamu muncul.”
“Kamu serius sudah punya asisten rumah tangga?”
“Kamu kira aku tidak sanggup membayar seorang asisten rumah tangga? Aku hidup dari gajiku sebagai seorang guru. Aku hidup berkecukupan dan aku pasti akan mampu menunjang kehidupan anakku kelas, Bapak Felix yang terhormat.”
“Kamu tetap kelihatan sangat cantik di bawah sinar cahaya lampu, Bintang.”
Bintang menghela napas dengan kesalnya mendengar perkataan Felix yang mulai dengan kata-kata gombal lagi. Bintang seakan tidak berdaya menghadapi pria ini.
“Kamu benar-benar serius mau pindah ke sini ya?” Tanya Bintang dengan rasa penasarannya.
“Ya. Kenapa memangnya?”Tidak apa-apa.anya
“Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja.”
“Aku hanya ingin bersama denganmu saat melewati masa sulit ini. Melahirkan itu jelas merupakan peristiwa yang harus dijalani oleh kedua orang tuanya. Dan aku juga ingin melihat anakku lahir.”
Bintang membasahi bibirnya dengan lidahnya. Dia mencoba memahami perasaan pria ini. Dia menyadari betapa susah payahnya pria ini mencari dirinya sampai ke sini. Dia juga menyadari sia-sia saja bila harus menyangkal anak yang dikandungnya adalah anak pria lain.
“Kalau pun aku setuju kalau kamu tinggal di sini, tetapi bagaimana mungkin kamu tinggal di kota ini sampai bayi ini lahir? Bagaimana dengan pekerjaanmu di kota tempat tinggalmu itu? Kamu punya kesibukan di sana. Bahkan kantormu pun di sana.”
“Kamu tidak perlu khawatir mengenai masalah pekerjaanku di sana. Aku akan meminta asistenku untuk membantuku menangani kasus-kasus itu.”
“Tidak! Itu tidak mungkin!” Bintang menggelengkan kepalanya. “Kamu pasti mempunyai keluarga, teman yang ada di sana. Kenapa kamu mati-matian ingin tinggal di sini bersamaku?”
“Keluargaku cukup banyak. Kalau saatnya tiba, pasti kamu akan bertemu dengan mereka semua. Tadinya mereka menayakan soal kepergianku ini. Tetapi, untuk sementara ini, aku mengatakan pada mereka aku sedang pergi ke suatu tempat selama beberapa waktu lamanya untuk urusan pribadi. Mereka menghormati privasiku ini.”
“Mungkin kamu punya hal lainnya yang harus kamu urus saat ini?”
“Apa maksudmu hal lain yang harus aku urus?”
“Mungkin kamu punya wanita lain selain diriku?”
“Aku belum pernah menikah. Mungkin dulu aku pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita, tetapi tidak serius.”
“Oh, begitu!” Kata Bintang sambil menghela napasnya. Dia berharap bisa mendapat informasi lebih banyak mengenai kehidupan romantika pria itu.
“Bagaimana dengan keluargamu?”
“Aku tidak punya keluarga.”
“Benarkah, Bintang? Tidak seorang pun?” Tanya Felix dengan herannya. Seakan dia tidak percaya kalau Bintang tidak memiliki keluarga.
“Iya, benar. Aku tidak memiliki keluarga.”
Bagaimana kisah selanjutnya? Cek pada bab berikutnya……….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments