"Wihhh!! Kenapa lagi itu muka kamu?" Tanya Gerry yang baru saja turun dari mobil dan berpapasan dengan Fabian di parkiran. Dia tertawa mengejek melihat wajah Fabian yang lebam lagi tepat disudut bibir. Meski tidak separah beberapa hari yang lalu, tapi tetap saja terlihat.
Fabian diam saja, dia acuh tidak menanggapi Gerry. Tadi malam Papanya memarahi dirinya habis-habisan setelah Mamanya masuk kamar. Bahkan lebam di sudut bibirnya juga baru dia dapat tadi malam dari Papanya yang emosi karena pengakuannya yang mengejutkan.
Awalnya Fabian pikir Sandi juga Shanti hanya syok saja, ternyata dia salah. Setelah kedua orang tuanya menguasai pikiran mereka masing-masing akhirnya amarah dia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bahkan pukulan juga dia dapatkan secara cuma-cuma hingga membuat sudut bibirnya berdarah dan sekarang menimbulkan bekas lebam.
"Yee!!! Diam aja ditanya." Gerutu Gerry saat melihat Fabian diam dan berjalan dulu masuk ke rumah sakit.
Meski dia menggerutu dan kesal karena tidak ada jawaban dari Fabian, Gerry lantas menyusul teman sekaligus rekan kerjanya itu.
"Bagaimana?" Tanya Gerry saat mereka menaiki lift menuju lantai tiga dimana ruangan mereka berada.
Fabian menoleh ke arah Gerry dengan kening mengkerut. Dia tidak tahu apa maksud dari pertanyaan Gerry. Bagaimana apanya, pikir Fabian.
"Kau sudah menemui Maura lagi?" Bisik Gerry karena di dalam lift tidak hanya mereka berdua, tapi ada staff yang lain juga keluarga pasien.
Fabian menggeleng kepala pelan sebagai jawaban. Dia belum menemui Maura kembali karena takut Maura masih histeris dan akan berpengaruh kehamilannya. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada Maura dan calon anaknya. Apalagi saat ini usia kandungan Maura masih muda, belum ada dua bulan.
"Apa kau nggak ada rencana untuk menemuinya lagi?" Tanya Gerry lagi setelah mereka keluar dari dalam lift dan menuju ruangan mereka.
"Untuk saat ini belum. Biarkan dia menenangkan diri dulu, juga menerima kenyataan kalau aku ayah dari janin yang dikandungnya." Jawab Fabian. "Oh iya, Ger! Aku mau tanya sesuatu sama kamu." Fabian menghentikan langkah kakinya dan menarik tangan Gerry untuk melihat kearahnya.
"Mau tanya apa?" Gerry memicingkan matanya melihat Fabian seperti tengah menatapnya serius. Jantung nya tiba-tiba berdetak cepat, takut kalau Fabian menanyakan sesuatu yang selama ini dia sembunyikan.
"Apa kau memasukkan sesuatu ke minuman ku malam itu?" Tanya Fabian to the point. Karena malam itu dia pergi ke kelab malam bersama Gerry juga beberapa rekan dokter lainnya dalam satu tempat kerja.
Gerry menelan ludahnya kasar. Ternyata Fabian sudah mengingat bahkan mencurigai dirinya. Dia pikir Fabian diam saja sejak malam itu karena Fabian tidak merasakan sesuatu yang aneh, ternyata salah, Fabian hanya diam dan tidak ingin mencurigai orang sembarangan.
"Hmmm!!" Gerry bingung harus menjawab apa. Fabian pasti sudah mendapatkan jawabannya sendiri tanpa harus dia jawab. Apalagi melihat gelagatnya saat ini, sudah pasti Fabian tahu kalau dirinya lah yang membuat Fabian mabuk dan memasukkan obat kedalam minuman temannya itu.
"Baiklah!!" Fabian menepuk pundak Gerry kasar. "Aku sudah tahu jawabannya." Setelah mengatakan itu, Fabian melanjutkan langkahnya menuju ruang spesialis bedah.
"Aishhh!!! Sorry, Bi!!" Ucap Gerry menyesal. Dia melakukan itu karena terpaksa. Dia diancam sama seseorang.
Meski awalnya ragu karena Fabian temannya sedari kecil, tapi Gerry tetap melakukannya karena sebuah ancaman. Dia berharap Fabian bisa mengontrol dirinya dan melakukannya dengan Aurel setelah sampai rumah. Tapi justru Fabian melakukan kegiatan panas itu dengan gadis lain dan berujung benih yang dia keluarkan tumbuh di rahim gadis itu tanpa permisi terlebih dahulu.
🌷🌷🌷
Maura menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit. Dia ragu untuk turun, dia takut bila tidak sengaja bertemu dengan Fabian. Bukan, dia bukan takut, melainkan lebih belum siap untuk bertemu lagi dengan lelaki itu.
Apa Maura sudah memaafkan Fabian? Jawabannya tentu saja belum. Maura masih belum memaafkan lelaki itu meski sebenarnya kejadian malam itu dilakukan tanpa paksaan karena keduanya sama-sama mabuk dan sama-sama mau, juga tidak ada pemberontakan.
Maura masih ingat betul kejadian malam itu. Dipikirannya hanya ada Rafa malam itu hingga membuat dirinya berpikir kalau Fabian adalah Rafa. Dengan suka rela dia menyerahkan kehormatan yang dia jaga selama ini dia berikan kepada Rafa yang ternyata adalah Fabian.
Terdengar suara bunyi handphone, Maura menoleh kearah jok samping yang kosong dimana dia menaruh ponselnya. Dia melihat ada panggilan masuk dari Anggie, temannya.
"Hallo, Ra! Kamu dimana? Sudah sampai belum?" Tanya Anggie di seberang sana.
"Sudah sampai. Ini masih diparkiran." Jawab Maura lirih.
"Ya sudah buruan, aku tunggu!" Pinta Anggie.
"Nggie!!!" Panggil Maura sebelum Anggie menutup sambungan telepon.
"Ada apa?" Tanya Anggie.
Maura tidak langsung menjawab. Dia melihat kearah bangunan rumah sakit. "Apa dia sibuk?" Tanya Maura.
Terdengar Anggie tertawa kecil diseberang sana. "Kamu tenang aja. Aku sudah tanya sama rekannya, katanya dia ada di ruang operasi sampai siang." Jawab Anggie yang sepertinya tahu siapa yang Maura maksud.
"Baiklah. Aku tutup dulu." Maura memutus sambungan telepon dari Anggie. Dia mengambil nafas perlahan dan dia hembuskan secara perlahan sebelum akhirnya keluar dari dalam mobil dan menuju tempat praktek dokter Obgyn dimana temannya Anggie berada.
"Semuanya baik-baik. Detak jantungnya juga normal. Beratnya juga sesuai. Air ketuban semuanya oke, tidak ada masalah." Ucap Anggie saat memeriksa kondisi perut Maura.
"Kamu semalam kram mungkin karena terlalu memikirkan ayah dari anak kamu." Celetuk Anggie mengingat semalam Maura menghubungi dirinya karena perutnya terasa kram.
"Aku nggak mikirin Fabian." Elak Maura walau kenyataannya dari pengakuan Fabian waktu itu dia terus memikirkan lelaki yang telah merenggut kesuciannya.
"Tumben mau manggil nama Fabian. Biasanya dia dia dia aja terus." Ejek Anggie dengan tertawa. Dia sudah tahu cerita tentang Maura juga Fabian karena Maura sudah bercerita juga Fabian yang pernah mendatangi dirinya dan menanyakan apa ada pasien yang bernama Maura berobat pada dirinya.
"Nggak sengaja." Jawab Maura cepat, karena memang dia tidak sengaja menyebut nama lelaki itu.
Anggie tertawa saja sambil mengangguk pelan. Temannya itu gengsinya gede juga, pikir Anggie.
"Obat yang aku kasih kemarin masih kan?" Tanya Anggie dan diangguki Maura. "Oke, karena tidak ada masalah apapun. Aku kasih obat penguat kandungan. Dari kemarin kamu ngerasa kram terus." Anggie menulis resep obat, karena sebelum dia hanya memberikan beberapa vitamin tanpa ada penguat kandungan.
"Nggak usah mikirin yang aneh-aneh lagi. Kalau Fabian menemui kamu, lebih baik temui dia. Hilangkan rasa takut kamu. Tidak mungkin dia akan mengambil anak kalian. Aku tahu bagaimana Fabian itu. Kalau dia sudah bilang mau bertanggung jawab, pasti akan dia lakukan. Dia orangnya baik, tidak suka mengambil milik orang lain." Anggie memberi nasihat pada Maura. "Dan satu lagi,_" Anggie mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah Maura, "_dia orangnya setia." Ucap Anggie lirih.
"Cih!! Setia." Cibir Maura. "Kalau dia setia tidak mungkin dia melakukan itu. Apalagi dia sudah memiliki istri, Nggie. Bahkan sudah memiliki seorang anak. Apa itu yang dimaksud setia?" Maura terlihat sekali tidak setuju dengan ucapan Anggie yang mengatakan Fabian itu orangnya setia. "Aku juga nggak mau menjadi duri di rumah tangga mereka."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Pasrah
lanjut lagi thor
2023-09-17
0
Mimik Pribadi
Ayo bantu jelas Anggie pada Maura siapa sebenarnya Fabian ,biar jdi bahan pertimbangan buat Maura memutuskan apa yng terbaik buat dia dan anaknya
2023-09-04
0
Roza Pracintee
lanjut
2023-08-13
0