Imran hanya bisa diam saja dan tidak bisa melarang Linda yang ingin berangkat ke tokonya. Dia masih bisa memaklumi sifat Linda dan berpikir jika mereka belum terlalu mengenal satu sama lainnya.
Meninggalkan Imran dan Linda. Kita beralih ke Dyah dan Malik lagi.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu. Akhirnya, Dyah dan Malik sampai juga di rumah Shanum. Mereka berdua memang sengaja tidak langsung pulang ke rumah, karena ingin mengunjungi Shanum terlebih dahulu.
Shanum yang selesai sarapan tadi, sama sekali tidak ada mood untuk ngapa-ngapain. Dia memilih terbengong di samping rumah dengan hati yang gundah dan resah.
Masa melamun Shanum buyar, ketika mendengar salam yang diucapkan oleh Dyah dan Malik.
Shanum tentu saja langsung bergegas menuju ke ruang tamu untuk melihat siapakah yang sedang berkunjung ke rumahnya.
"Wa'alaikumussalam. Eh Dyah! Malik! Ayo mari silahkan masuk."
Dyah dan Malik tentu langsung masuk ke dalam ruang tamu, ketika sudah dipersilahkan oleh Shanum.
"Kalian rapi sekali. Apa mau pergi?" tanya Shanum.
Dyah menggelengkan kepalanya. "Tidak! Kami tadi baru saja bertemu dengan teman mas Malik. Dan sengaja mampir ke sini untuk memberikan ini," Dyah memberikan makanan yang tadi sudah dibelinya.
"Terimakasih. Kalian kenapa repot-repot. Sebentar, biar Mbak mengambil piring dulu sama minum untuk kalian."
Dyah mencoba mencegah. "Tidak perlu Mbak. Mbak duduk saja, jangan capek-capek."
Shanum tersenyum. "Tidak capek ko. Cuma teh saja. Tunggu sebentar ya."
Dyah dan Malik cuma mengangguk dan tersenyum saja. Lalu membiarkan Shanum pergi berlalu ke dalam dapur.
Selesai membuatkan teh untuk Dyah dan Malik. Shanum langsung membawanya ke ruang tamu untuk dia hidangkan kepada mereka berdua.
"Silahkan diminum."
Dyah dan Malik langsung menghargai teh buatan Shanum. "Terimakasih Mbak Shanum." Malik dan Dyah langsung meminum tehnya.
Selesai minum teh, Dyah mencoba berbasa-basi masalah ponsel Shanum.
"Oh ya Mbak Shanum. Semalam Dyah mencoba menelpon nomor ponsel Mbak. Ko tidak aktif kenapa?"
Dyah bisa melihat bila wajah Shanum terlihat bersedih saat ini. "Ponsel Mbak hilang Dyah."
Dyah dan Malik berpura-pura terkejut. "Ko bisa hilang Mbak? Bagaimana ceritanya?"
"Mbak juga tidak sadar jika ponsel Mbak ternyata terjatuh di suatu tempat."
"Hmm! Biarlah! Mungkin memang itu jalan dari Allah untuk Mbak. Supaya Mbak bisa melupakan mas Imran."
Mendengar jawaban Shanum. Dyah dan Malik langsung saling pandang.
"Ponsel itu ada banyak kenangan untuk Mbak bersama mas Imran. Jika ada ponsel itu, Mbak pasti akan memandangi fotonya mas Imran yang saat ini sudah bahagia dengan Linda."
"Mungkin ini hadiah untuk Mbak dari Allah. Supaya Mbak bisa bangkit dan menata hidup Mbak jauh dari bayang-bayang mas Imran."
Melihat Shanum yang seperti itu, ada rasa sesak dan kasihan di dalam dada Dyah dan Malik. Akan tetapi, setelah mendengar sendiri ucapan Shanum. Mereka berdua semakin yakin tidak akan memberikan ponsel Shanum kepadanya.
Dyah mencoba menenangkan Shanum. "Mbak yang sabar ya. Nanti jika Dyah ada rejeki lebih. Dyah akan belikan ponsel yang baru untuk Mbak Shanum."
Shanum tentu saja menolaknya. Apalagi Dyah pastinya akan membutuhkan banyak biaya untuk persalinannya nanti. "Eh! Tidak perlu Dyah! Uangnya kamu simpan saja untuk lahiran si dedek."
Dyah tersenyum mendengar ucapan Shanum. Setelah mereka berdua puas berbincang dengan Shanum. Dyah dan Malik pun berpamitan pulang dengan Shanum.
Singkat cerita. Setelah beberapa hari mengurus surat perceraian. Pengadilan agama akhirnya mengetuk palu dan mengesahkan jika Imran dan Shanum sudah resmi bercerai.
Shanum yang sedang menyapu halaman rumahnya sedikit terkejut ketika melihat sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Setelah Shanum perhatikan keluarlah sang pemilik mobil, yaitu Imran dan Linda.
Jantung Shanum berdetak sangat kencang sekali melihat kedatangan dua manusia yang ingin dihindarinya.
"Mas Imran!"
Imran berjalan sambil bergandengan tangan dengan Linda menuju ke arah Shanum.
"Mas ke sini cuma ingin memberikan surat resmi dari pengadilan agama dan harta gono gini selama kita menikah."
Shanum mengambil map tersebut yang Imran berikan kepadanya. Di dalam map itu juga ada sebuah amplop yang berisi uang tunai yang Imran berikan kepadanya.
"Itu uang gono gini yang pengadilan putuskan untuk diberikan kepadamu."
Shanum melihat uang tersebut. Tapi entah kenapa hatinya menolak ingin menerima uang tersebut. "Ini Mas! Uangnya Shanum berikan kepada Mas."
Linda yang melihat malah tidak suka dengan sikap Shanum. "Halah! Sudah miskin belagu! Ambil saja uang itu. Kenapa! Kurang?"
"Astaghfirullah," Shanum beristighfar di dalam hatinya.
"Shanum tidak butuh Mas. Lagi pula selama kita menikah. Shanum tidak bisa memberikan yang terbaik untuk Mas! Jadi lebih baik uang ini untuk Mas saja, Shanum ikhlas. Uangnya bisa untuk tambahan tabungan Mas untuk membiayai anak Mas nantinya."
"Heh! Kamu kira saya miskin tidak bisa membiayai anak saya sendiri hah!"
"Saya tidak butuh uang santunan dari kamu! Dasar miskin!"
Linda mengambil uang tersebut lalu melemparkannya ke wajah Shanum dengan kasar sekali. Imran yang melihat hanya diam saja tidak ada niatan ingin menasihati Linda atau membantu Shanum yang sedang dihina oleh istrinya.
"Ayo pergi dari sini Mas!"
Linda langsung mengajak Imran untuk pergi dari rumah Shanum. Setelah kepergian mereka berdua, dengan terpaksa Shanum memunguti uang tersebut yang berceceran di tanah sambil terus meneteskan air matanya.
Kejadian itu dilihat jelas oleh tetangga Shanum yang kebetulan lewat didepan rumahnya. Bisik-bisik pun langsung cepat menyebar di satu kampung itu tentang perceraian Shanum dan sikap Linda kepada Shanum.
Setiap kali Shanum keluar dari dalam rumah untuk membeli kebutuhan rumah. Dia sangat malu sekali, karena beberapa ibu-ibu ada yang sedang menggosipkannya, ada pula ada menggunjing dirinya dan ada juga yang mengasihani hidupnya.
Walau sekarang Shanum sudah berpisah dengan Imran. Tapi air mata Shanum masih saja keluar karena menangisi kehidupannya yang sunyi sepi.
Sedangkan berbeda dengan Imran. Dia sedang senang-senangnya menjalani hidup rumah tangganya dengan Linda. Mereka pergi jalan-jalan, makan-makan di luar bersama ibu Mu'idah juga. Dan tidak ingat bagaimana menderitanya Shanum atas ulah mereka bertiga saat ini.
Selama Imran dan Linda menikah. Dyah sama sekali belum pernah lagi berkunjung ke rumah sang ibu maupun sang kakak. Sebab Dyah masih merasa marah kepada mereka berdua, apalagi ketika melihat sendiri bagaimana terpuruknya Shanum saat ini.
Laila sebagai sang sahabat yang hampir setiap hari menemui Shanum selalu mencoba menghiburnya dan selalu mengajaknya makan di luar untuk menikmati suasana baru.
Ke dua orang tua Laila juga merasa kasihan dengan hidup Shanum. Mereka sudah menganggap Shanum sebagai anak mereka sendiri sama seperti Laila.
Shanum yang baru berusia dua puluh enam tahun sudah harus merasakan hidup menjanda. Karena dia menikah ketika masih berumur dua puluh empat tahun.
Shanum dan Imran selisih umur sekitar dua tahun. Jadi untuk saat ini, Imran sudah berumur dua puluh delapan tahun.
Bersabarlah Shanum. Semua akan indah pada waktunya. Percayalah! Allah tidak tidur.
...☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️...
...~TBC~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
sinti
lanjut kak
2023-08-11
1
marlina djalis
Allahuakbar ...😲
Bersabarlah Shanum .Semua pasti indah pada saatnya.Yakinlah Allah Maha Mengetahui dan Tidak Tidur...Lanjuuut Thor upnya 2 donk...smoga Shanum n Emyr sgra ketemu.Aamiin 🥰🙏
2023-08-11
3