Dikira Mandul Ternyata Subur
Seorang wanita dengan daster rumahan lengan pendek sedang berjibaku dengan peralatan masak. Ada apron yang menggantung di lehernya sebagai alat pelindung agar pakaiannya tidak terkena noda dari masakan yang sedang diolah olehnya.
Hampir satu jam dia berada di dapur. Menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Sejak menjadi menantu di rumah ini, dia memang selalu disibukkan dengan urusan rumah yang tidak ada kata selesainya itu.
Usai semua masakan yang diolahnya telah selesai dieksekusi, dia pun mulai menatanya di meja makan. Pada saat yang bersamaan, keluarganya yang berisi suami, ibu mertua, serta adik ipar yang tengah hamil tua itu mulai berdatangan untuk menyantap sarapan.
"Selamat pagi, Bu," sapa wanita itu pada ibu mertuanya.
Mendapat sapaan dari sang menantu, si ibu mertua justru melengos seakan tidak menganggap kehadiran menantunya. Wanita itu pun hanya bisa tersenyum getir seraya mengusap dadanya.
Si suami hanya melirik istrinya, lalu dengan enteng berkata, "Jangan rusak suasana, deh, Na!"
"Memangnya aku ngapain, Mas?" tanya wanita itu heran.
"Diana, mendingan kamu mandi, deh! Dari pada bikin ribut di sini," ucap si mertua, sambil melirik sinis.
"Aku udah mandi, Bu," jawab Diana sopan.
"Udah mandi, kok, mukanya masih muka bantal gitu." Si adik ipar menyahut dengan nada mengejek.
Diana hendak menjawab, akan tetapi suaminya justru membanting sendok ke lantai. "Kamu ini paham enggak, sih. Aku bilang enggak usah rusak suasana!"
"Mas Hengki," ucap Diana lirih, dari nadanya terdengar kecewa karena sang suami justru membentaknya dengan kasar.
"Enggak usah drama, deh, Mbak." Si adik ipar kembali menyela, sebelah sudut bibirnya terangkat untuk menegaskan bahwa dia muak dengan sandiwara sang kakak ipar.
"Mbak enggak pernah bersandiwara, Karin," ucap Diana dengan tegas.
Hengki yang semakin merasa kesal pun memejamkan mata sejenak, lalu detik berikutnya menggebrak meja makan hingga ketiga wanita yang ada di tempat itu tersentak kaget.
Diana yang lebih terkejut dan berada di posisi yang disalahkan, tentu saja memejamkan mata dengan kepala tertunduk. Bukan hanya terkejut, tetapi juga hatinya seperti tercabik-cabik mendapat perlakuan kasar dari suaminya sendiri.
Sementara itu, Hengki bangkit dari kursi duduknya. Dia bahkan mendorong kursi itu hingga terjungkal ke belakang. Suara kursi yang menabrak lantai membuat Diana membuka kedua matanya serta sedikit mengangkat wajahnya.
Tanpa berkata apapun, Hengki melangkahkan kakinya meninggalkan meja makan tanpa menyentuh masakan sang istri. Melihat sang suami hendak pergi meski belum sarapan, Diana pun mengejar langkah suaminya.
"Mas, mau ke mana?" tanya Diana sambil terus berusaha menyamakan langkah dengan suaminya.
"Kerja!" Hengki menjawab dengan suara kesal. Dia bahkan enggan menatap wajah polos sang istri.
"Tapi … kamu belum sarapan, Mas," ucap Diana masih terus mengikuti sang suami yang kini telah sampai di pintu depan rumah.
Hengki memegang gagang pintu, kemudian menatap Diana yang juga ikut menghentikan langkahnya. "Aku muak dengan suasana rumah ini, Dian. Aku muak dengan semua tingkah kamu yang semakin hari semakin membuatku kesal."
"Salahku apa, Mas?" Diana meminta penjelasan yang lebih bisa diterima oleh akal sehatnya.
"Salah kamu banyak, Dian! Salah satunya adalah kamu … tidak bisa memberiku keturunan." Hengki dengan tega mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.
Diana terdiam meski hatinya merasakan sesak yang luar biasa. Dia hanya bisa menenangkan diri dengan beristighfar dalam hati.
"Kamu tahu, Dian. Aku mulai curiga bahwa kamu benar-benar … mandul," kata Hengki tanpa memikirkan perasaan sang istri.
Laksana panah yang menghujam jantung, Diana merasa hidupnya telah hancur saat sang suami juga ikut menghinanya dengan kata-kata itu. Selama ini dia masih berusaha kuat saat keluarga sang suami selalu menghinanya dengan kata-kata mandul, tetapi saat ini sang suami lah yang mengatakan kata-kata sarkas tersebut.
Pelupuk mata Diana sudah seperti bendungan air yang hampir jebol. Kata-kata hinaan yang terucap dari bibir laki-laki yang dulu selalu mengucap kata cinta itu benar-benar berhasil melukai hatinya.
Tanpa sadar setetes cairan bening lolos dari sudut mata kanannya. Hengki sempat melihat air mata sang istri. Namun, hatinya masih sekeras batu hingga tidak menghiraukan perasaan wanita yang dulu dia perjuangkan.
"Enggak usah pura-pura nangis! Aku benci air mata palsumu itu, Dian!"
Diana menatap sang suami dengan bibir bergetar hebat, dia mati-matian berusaha menahan tangisannya. Diana pun tidak ingin terlihat lemah dengan menangis di depan orang-orang yang sudah melukai hati dan jiwanya.
"Sudahlah. Pergi dari hadapanku sebelum aku bersikap kasar padamu." Hengki sedikit mendorong tubuh Diana yang menghalangi pintu, kemudian membuka pintu rumah dan melangkahkan kakinya keluar.
"Mas," panggil Diana dengan suara tertahan.
"Apa?" tanya Hengki dengan nada membentak. Dia menatap tajam sang istri yang juga sedang menatapnya.
"Hati-hati," ucap Diana singkat. Meski sudah dilukai oleh perkataan Hengki, tetapi Diana masih saja berusaha bersikap layaknya seorang istri yang dihargai oleh suaminya.
Hengki tidak menjawab, dia justru membuang pandangan, lalu mempercepat langkahnya meninggalkan sang istri yang sedang meratap. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu terlihat begitu angkuh dan tidak berperasaan.
Usai kepergian Hengki, Diana luruh. Dia terduduk di lantai dingin dengan posisi kepala yang dia sembunyikan dengan kedua lengan.
Cukup lama Diana menangis tanpa suara. Hingga terdengar suara seseorang yang berhasil membuatnya tersentak.
Diana buru-buru menyeka air mata yang membasahi pipinya, kemudian bangun dari posisinya semula. Samar-samar masih terdengar suara sesegukan meski Diana sudah menghentikan tangisannya.
"Jadi wanita enggak usah lemah. Lagi pula yang dikatakan oleh Hengki memang benar, 'kan? Kamu ini wanita tidak berguna. Selain tidak bisa bekerja, kamu juga tidak bisa memberikan keturunan pada kami," kata wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu berwarna hitam legam di depan Diana.
Sesak akibat hinaan Hengki saja belum reda, kini ditambah dengan hinaan sang mertua yang juga membahas tentang keturunan. Diana hanya mampu terdiam, dia tidak memiliki keberanian untuk menjawab hinaan sang mertua yang begitu kejam padanya.
"Seharusnya kamu malu sama Karin, Na. Dia itu baru satu tahun menikah, tapi dia sudah berhasil memberikan cucu untukku. Tidak seperti kamu. Sudah sepuluh tahun menikah, tidak ada tanda-tanda akan hamil sama sekali," cibir Rohima yang kini membandingkan Diana dan Karina–sang putri bungsu.
"Ma-af, Bu. Tapi Diana juga sudah berusaha," kata Diana yang mulai memberanikan diri.
"Usaha apa? Aku tidak pernah melihat kamu berusaha untuk memperbaiki hormon kamu agar cepat hamil, kok!"
"Apa setiap Diana melakukan sesuatu, ibu harus tahu?"
"Kurang ajar, kamu, yah! Sudah berani menentangku. Awas saja, aku akan adukan sikapmu ini pada Hengki!" Rohima mengancam dengan suara yang sengaja ditinggikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
keluarga kurang ajar
2023-12-14
0
IndraAsya
👣👣👣
2023-11-28
1
Dewi Denis
lanjut thor
2023-07-31
0