Seorang wanita dengan daster rumahan lengan pendek sedang berjibaku dengan peralatan masak. Ada apron yang menggantung di lehernya sebagai alat pelindung agar pakaiannya tidak terkena noda dari masakan yang sedang diolah olehnya.
Hampir satu jam dia berada di dapur. Menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Sejak menjadi menantu di rumah ini, dia memang selalu disibukkan dengan urusan rumah yang tidak ada kata selesainya itu.
Usai semua masakan yang diolahnya telah selesai dieksekusi, dia pun mulai menatanya di meja makan. Pada saat yang bersamaan, keluarganya yang berisi suami, ibu mertua, serta adik ipar yang tengah hamil tua itu mulai berdatangan untuk menyantap sarapan.
"Selamat pagi, Bu," sapa wanita itu pada ibu mertuanya.
Mendapat sapaan dari sang menantu, si ibu mertua justru melengos seakan tidak menganggap kehadiran menantunya. Wanita itu pun hanya bisa tersenyum getir seraya mengusap dadanya.
Si suami hanya melirik istrinya, lalu dengan enteng berkata, "Jangan rusak suasana, deh, Na!"
"Memangnya aku ngapain, Mas?" tanya wanita itu heran.
"Diana, mendingan kamu mandi, deh! Dari pada bikin ribut di sini," ucap si mertua, sambil melirik sinis.
"Aku udah mandi, Bu," jawab Diana sopan.
"Udah mandi, kok, mukanya masih muka bantal gitu." Si adik ipar menyahut dengan nada mengejek.
Diana hendak menjawab, akan tetapi suaminya justru membanting sendok ke lantai. "Kamu ini paham enggak, sih. Aku bilang enggak usah rusak suasana!"
"Mas Hengki," ucap Diana lirih, dari nadanya terdengar kecewa karena sang suami justru membentaknya dengan kasar.
"Enggak usah drama, deh, Mbak." Si adik ipar kembali menyela, sebelah sudut bibirnya terangkat untuk menegaskan bahwa dia muak dengan sandiwara sang kakak ipar.
"Mbak enggak pernah bersandiwara, Karin," ucap Diana dengan tegas.
Hengki yang semakin merasa kesal pun memejamkan mata sejenak, lalu detik berikutnya menggebrak meja makan hingga ketiga wanita yang ada di tempat itu tersentak kaget.
Diana yang lebih terkejut dan berada di posisi yang disalahkan, tentu saja memejamkan mata dengan kepala tertunduk. Bukan hanya terkejut, tetapi juga hatinya seperti tercabik-cabik mendapat perlakuan kasar dari suaminya sendiri.
Sementara itu, Hengki bangkit dari kursi duduknya. Dia bahkan mendorong kursi itu hingga terjungkal ke belakang. Suara kursi yang menabrak lantai membuat Diana membuka kedua matanya serta sedikit mengangkat wajahnya.
Tanpa berkata apapun, Hengki melangkahkan kakinya meninggalkan meja makan tanpa menyentuh masakan sang istri. Melihat sang suami hendak pergi meski belum sarapan, Diana pun mengejar langkah suaminya.
"Mas, mau ke mana?" tanya Diana sambil terus berusaha menyamakan langkah dengan suaminya.
"Kerja!" Hengki menjawab dengan suara kesal. Dia bahkan enggan menatap wajah polos sang istri.
"Tapi … kamu belum sarapan, Mas," ucap Diana masih terus mengikuti sang suami yang kini telah sampai di pintu depan rumah.
Hengki memegang gagang pintu, kemudian menatap Diana yang juga ikut menghentikan langkahnya. "Aku muak dengan suasana rumah ini, Dian. Aku muak dengan semua tingkah kamu yang semakin hari semakin membuatku kesal."
"Salahku apa, Mas?" Diana meminta penjelasan yang lebih bisa diterima oleh akal sehatnya.
"Salah kamu banyak, Dian! Salah satunya adalah kamu … tidak bisa memberiku keturunan." Hengki dengan tega mengucapkan kata-kata menyakitkan itu.
Diana terdiam meski hatinya merasakan sesak yang luar biasa. Dia hanya bisa menenangkan diri dengan beristighfar dalam hati.
"Kamu tahu, Dian. Aku mulai curiga bahwa kamu benar-benar … mandul," kata Hengki tanpa memikirkan perasaan sang istri.
Laksana panah yang menghujam jantung, Diana merasa hidupnya telah hancur saat sang suami juga ikut menghinanya dengan kata-kata itu. Selama ini dia masih berusaha kuat saat keluarga sang suami selalu menghinanya dengan kata-kata mandul, tetapi saat ini sang suami lah yang mengatakan kata-kata sarkas tersebut.
Pelupuk mata Diana sudah seperti bendungan air yang hampir jebol. Kata-kata hinaan yang terucap dari bibir laki-laki yang dulu selalu mengucap kata cinta itu benar-benar berhasil melukai hatinya.
Tanpa sadar setetes cairan bening lolos dari sudut mata kanannya. Hengki sempat melihat air mata sang istri. Namun, hatinya masih sekeras batu hingga tidak menghiraukan perasaan wanita yang dulu dia perjuangkan.
"Enggak usah pura-pura nangis! Aku benci air mata palsumu itu, Dian!"
Diana menatap sang suami dengan bibir bergetar hebat, dia mati-matian berusaha menahan tangisannya. Diana pun tidak ingin terlihat lemah dengan menangis di depan orang-orang yang sudah melukai hati dan jiwanya.
"Sudahlah. Pergi dari hadapanku sebelum aku bersikap kasar padamu." Hengki sedikit mendorong tubuh Diana yang menghalangi pintu, kemudian membuka pintu rumah dan melangkahkan kakinya keluar.
"Mas," panggil Diana dengan suara tertahan.
"Apa?" tanya Hengki dengan nada membentak. Dia menatap tajam sang istri yang juga sedang menatapnya.
"Hati-hati," ucap Diana singkat. Meski sudah dilukai oleh perkataan Hengki, tetapi Diana masih saja berusaha bersikap layaknya seorang istri yang dihargai oleh suaminya.
Hengki tidak menjawab, dia justru membuang pandangan, lalu mempercepat langkahnya meninggalkan sang istri yang sedang meratap. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu terlihat begitu angkuh dan tidak berperasaan.
Usai kepergian Hengki, Diana luruh. Dia terduduk di lantai dingin dengan posisi kepala yang dia sembunyikan dengan kedua lengan.
Cukup lama Diana menangis tanpa suara. Hingga terdengar suara seseorang yang berhasil membuatnya tersentak.
Diana buru-buru menyeka air mata yang membasahi pipinya, kemudian bangun dari posisinya semula. Samar-samar masih terdengar suara sesegukan meski Diana sudah menghentikan tangisannya.
"Jadi wanita enggak usah lemah. Lagi pula yang dikatakan oleh Hengki memang benar, 'kan? Kamu ini wanita tidak berguna. Selain tidak bisa bekerja, kamu juga tidak bisa memberikan keturunan pada kami," kata wanita paruh baya dengan rambut pendek sebahu berwarna hitam legam di depan Diana.
Sesak akibat hinaan Hengki saja belum reda, kini ditambah dengan hinaan sang mertua yang juga membahas tentang keturunan. Diana hanya mampu terdiam, dia tidak memiliki keberanian untuk menjawab hinaan sang mertua yang begitu kejam padanya.
"Seharusnya kamu malu sama Karin, Na. Dia itu baru satu tahun menikah, tapi dia sudah berhasil memberikan cucu untukku. Tidak seperti kamu. Sudah sepuluh tahun menikah, tidak ada tanda-tanda akan hamil sama sekali," cibir Rohima yang kini membandingkan Diana dan Karina–sang putri bungsu.
"Ma-af, Bu. Tapi Diana juga sudah berusaha," kata Diana yang mulai memberanikan diri.
"Usaha apa? Aku tidak pernah melihat kamu berusaha untuk memperbaiki hormon kamu agar cepat hamil, kok!"
"Apa setiap Diana melakukan sesuatu, ibu harus tahu?"
"Kurang ajar, kamu, yah! Sudah berani menentangku. Awas saja, aku akan adukan sikapmu ini pada Hengki!" Rohima mengancam dengan suara yang sengaja ditinggikan.
Sejak pertengkaran itu, Hengki benar-benar mendiamkan Diana. Beberapa kali sang istri berusaha mencairkan suasana yang kini terasa lebih dingin dari pada beberapa Minggu yang lalu, tetapi Hengki sama sekali tidak tersentuh. Dia masih saja congkak dan semena-mena.
Hari ini adalah hari libur. Jika dulu Hengki selalu memberikan waktu liburnya untuk menghabiskan waktu bersama sang istri, kini sudah tidak lagi. Laki-laki itu terlalu sibuk dengan urusannya yang Diana pun tidak tahu apa yang dilakukan sang suami di luar sana.
Di kamarnya, Diana mulai khawatir saat Hengki belum pulang hingga larut malam. Sebagai seorang istri, Diana tentu cemas jika ada sesuatu yang buruk terjadi pada suaminya. Beberapa kali Diana mencoba menghubungi Hengki, tetapi satupun tidak ada panggilan yang diterima oleh Hengki.
"Mas Hengki ke mana, sih? Kenapa tidak angkat telepon dariku?" tanya Diana membatin.
"Aku coba sekali lagi, deh!" Diana kembali mencoba menghubungi Hengki, kali ini panggilannya justru ditolak.
"Ya ampun, Mas. Kamu di mana, sih?"
Diana mulai frustasi, terlebih lagi ketika dirinya membuka gorden jendela kamar dan mendapati langit sangat gelap, tidak ada cahaya dari bulan serta bintang. Kini justru ada kilatan petir yang menunjukkan kegagahannya.
"Aku harus cari Mas Hengki," gumam Diana. Dia langsung menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas nakas, lalu bergegas keluar dari kamar.
Wanita itu menghentikan langkah saat mendengar suara guntur yang saling bersahut-sahutan. Tidak ingin membuang waktu percuma, Diana kini berlari menuruni anak tangga. Dia tidak perduli dengan keselamatannya sendiri. Yang ada di pikirannya saat ini adalah secepatnya dia harus mencari Hengki.
Diana membuka pintu rumah, kemudian buru-buru keluar. Dinginnya angin malam tidak berhasil membuat si wanita mengurungkan niat. Dia berjalan cepat menuju tempat di mana mobilnya berada, lalu membuka pintu kendaraan roda empat tersebut. Ketika dia hendak masuk, terdengar suara klakson mobil dari luar pintu gerbang.
Dari suara klaksonnya saja, Diana begitu yakin bahwa yang sedang menunggu pintu gerbang dibuka oleh satpam ialah hengki– suaminya. Dia pun kembali menutup pintu mobil miliknya, kemudian berjalan hingga ke belakang kendaraan pribadinya.
"Syukurlah, Mas Hengki sudah kembali," kata Diana lega. Dia tersenyum hangat dengan tatapan tidak lepas dari mobil Hengki yang sedang melaju ke arahnya.
Mobil itu berhenti tepat di samping mobil Diana. Tidak berselang lama sejak mesin mobil itu dimatikan, pintunya pun terbuka.
Diana menyambut kedatangan sang suami dengan senyum manisnya. Namun, Hengki sama sekali tidak memperdulikan itu. Laki-laki itu justru berjalan mengitari mobil, kemudian berhenti di pintu sisi kiri mobil tersebut.
Merasa heran karena Hengki membuka pintu sisi kiri mobil, Diana memicingkan matanya. Akan tetapi, detik berikutnya mata sipit Diana membulat seketika, saat melihat ada seorang wanita asing yang keluar dari pintu sisi lain.
"Ayo, Sayang!" Meski samar, tetapi Diana masih bisa mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang suami.
Di depan mata Diana, Hengki tanpa rasa bersalah menggandeng serta merangkul pundak si wanita asing. Diana menghentikan langkah sang suami dengan mencekal pergelangan tangan suaminya.
"Apa, sih?" tanya Hengki membentak, dia juga menyentak kasar tangan Diana.
"Mas!" pekik Diana saat mendapat perlakuan kasar itu di depan wanita asing.
"Dia siapa, Sayang?" tanya si wanita asing kepada Hengki dengan nada manjanya.
"Istriku, Sayang," jawab Hengki seraya menyelipkan anak rambut si wanita yang digandengnya.
Meski Hengki mengakui dirinya sebagai istri, tetapi nyatanya hati Diana tetap terluka. Bagaimana tidak, dia mendengar sang suami memanggil wanita asing dengan sebutan 'Sayang'. Dia pun masih bergeming karena rasa sesak di hatinya.
"Oh, ini istri yang sering kamu ceritakan itu." Si wanita melirik Diana dengan sinis. "Wanita yang … tidak bisa memberikan kamu … keturunan itu," sambungnya menghina Diana.
Luka di hati Diana kina bertambah ketika mendapati kenyataan bahwa sang suami juga menceritakan tentang rumah tangganya pada orang lain. Padahal, selama ini Diana selalu menutupi apapun kekurangan suaminya.
Cairan bening sudah membanjiri pelupuk mata Diana. Namun, wanita itu sekuat tenaga menahan agar air mata itu tidak lolos. Dia tidak ingin dianggap sebagai wanita lemah dengan menangis.
"Udah. Enggak usah bahas dia, Sayang. Lebih baik kita masuk. Sepertinya malam ini akan hujan," kata Hengki mengalihkan pembicaraan.
Hengki kembali melangkahkan kakinya perlahan, sambil membantu si wanita berjalan. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta. Sedangkan Diana, dia hanya bisa diam tanpa suara. Bibirnya terkatup rapat, tidak mampu mengeluarkan satupun kata.
Ketika kedua anak manusia berbeda jenis itu sudah masuk ke rumah, barulah Diana ikut masuk ke sana. Meski hatinya sakit karena sang suami membawa seorang wanita ke rumah, tetapi Diana masih memegang teguh prinsipnya untuk tetap bertahan.
Hengki membantu si wanita untuk duduk di sofa ruang tamu. Memastikan si wanita sudah duduk dengan nyaman, lalu berkata, "Kamu tunggu di sini dulu, Sayang. Aku panggilkan Ibu sebentar."
"Oke, Sayang," balas si wanita, sambil melirik Diana yang mematung di ambang pintu masuk.
Tanpa memperdulikan sang istri, Hengki berlalu begitu saja. Laki-laki itu berjalan cepat naik ke lantai dua. Tatapan Diana kini beralih pada si wanita asing yang duduk santai di sofa ruang tamu. Dia memberikan diri untuk mendekati wanita itu.
"Kamu siapa?" tanya Diana menuntut.
Si wanita menatap Diana sekilas, sebelum tangannya mengusap-usap perutnya yang sedikit lebih besar, padahal tubuh si wanita itu masuk kategori wanita seksi. Melihat apa yang dilakukan oleh si wanita, pikiran Diana langsung menerawang jauh. Membayangkan sesuatu yang begitu buruk menimpa rumah tangganya.
"Aku bertanya, kenapa kamu tidak jawab?" tanya Diana terus memaksa si wanita, agar mau berkata jujur.
Meski sebenarnya tanpa penjelasan apapun, Diana harusnya sudah paham dari cara sang suami memperlakukan wanita itu, serta panggilan yang sangat tidak masuk akal jika dikatakan hanya berteman. Namun, Diana masih berusaha berpikir baik tentang suami yang sudah menikahinya sepuluh tahun silam.
"Tunggu saja penjelasan suamimu. Nanti kamu juga akan tahu," jawabnya santai.
Tidak berselang lama, Hengki dan ibunya turun dari lantai dua. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa seakan hendak menemui tamu penting saja.
"Mana calon istri kamu, Heng?" tanya Rohima dengan nada yang sengaja dinaikkan.
Diana mematung saat mendengar sang mertua menanyakan hal itu. Pikiran buruk itu kembali mendominasi otak Diana.
"Calon istri," gumam Diana terkejut.
"Itu, Ma. Dia calon ibu dari cucu mama," ucap Hengki seraya menunjuk si wanita yang dia bawa kerumah.
"Maksud kamu, dia sudah … hamil?" tanya Rohima dengan nada sumringah.
"Mas!" Diana memanggil Hengki dengan suara lemah, tatapannya sayu ketika melihat sang suami yang justru berjalan menghampiri si wanita asing.
"Mas Hengki. Tolong katakan padaku, bahwa ini tidak benar." Diana memohon pada Hengki. "Kamu tidak mungkin mengkhianati pernikahan kita, 'kan?"
"Na, aku tahu ini berat untuk kamu. Tapi tolong, sekali ini saja jangan membantahku. Bukankah selama ini aku tidak pernah meminta apapun padamu selain anak?"
Diana menggeleng, dia tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut suaminya. Tidak pernah sekalipun Diana membayangkan sang suami akan menghadirkan wanita lain di dalam bahtera rumah tangga mereka.
"Aku sudah sangat sabar menunggu, hingga waktuku terbuang percuma selama sepuluh tahun untuk menunggu kepastian itu. Nyatanya, kamu tidak mampu memberikan aku seorang anak, 'kan? Dengan atau tidaknya restu darimu, aku tetap akan menikahi Tsabina." Keputusan itu diambil secara sepihak oleh Hengki tanpa memperdulikan kehancuran hati istri yang selama ini menemaninya.
"Kamu terima saja takdir kamu, Diana. Jangan jadi istri yang egois! Suamimu butuh keturunan untuk menjadi penerusnya." Si mertua tidak berperasaan ikut turun tangan menekan Diana.
Pernikahan kedua Hengki pun dilaksanakan secara meriah. Laki-laki itu sama sekali tidak memikirkan perasaan istrinya yang hancur berkeping-keping dengan melihat dirinya berdiri bersama wanita lain di pelaminan.
Bagaikan jatuh, tertimpa tangga. Diana tidak hanya dihancurkan dengan melihat kebahagiaan sang suami bersama wanita lain di atas pelaminan sana. Dia juga harus mendengar gunjingan para tamu yang seakan tanpa perasaan ikut menghinanya.
"Istri baru Hengki cantik sekali, ya," puji tamu yang sengaja menyindir Diana.
"Iya, tidak heran kalau Hengki kepincut." Si tamu lain ikut menimpali.
"Kalau menurutku, cantik itu relatif. Tapi, seorang suami enggak bakal nikah lagi kalau istrinya tidak memiliki kekurangan." Tamu yang lain ikut menyuarakan penilaiannya.
Diana memejamkan matanya saat rasa sakit itu kian terasa. Hatinya telah hancur lebur akibat ulah Hengki yang tidak berperasaan. Jika laki-laki itu benar-benar hanya menginginkan anak, seharusnya mereka memaksimalkan usaha mereka bukan justru mencari wanita lain dengan dalih ingin memiliki keturunan.
"Ikhlaskan hatiku untuk menerima takdir, Ya Allah." Diana hanya bisa berdoa kepada sang maha kuasa, agar dia menjadi seorang hamba yang tabah.
*****
Sejak pernikahan Hengki dan Tsabina, hidup Diana bagaikan berada di neraka. Hinaan dari penghuni rumah sudah seperti makanan sehari-hari untuk Diana. Hingga pada suatu hari, madunya membuat keributan di rumah tersebut dan menjadikan Diana sebagai kambing hitam.
"Aduh, Mas. Perutku sakit banget!" teriak Tsabina, dia merintih kesakitan di depan seluruh penghuni rumah.
"Memangnya kamu habis ngapain, Tsab?" tanya Hengki khawatir.
"Aku enggak ngapa-ngapain, Mas. Kamu tahu sendiri, dokter menyuruhku untuk bedrest, 'kan?"
"Terus perut kamu sakit kenapa?" tanya Rohima pada menantu barunya. Dia pun tidak kalah cemas dari Hengki.
"Aku cuma makan bubur ayam buatan Mbak Diana, Mas. Tadi pagi aku minta tolong dia buatin aku bubur ayam," jawab Tsabina, dia sengaja membuat seisi rumah mencurigai Diana.
"Ini pasti ulah Diana. Dia sengaja mau mencelakai Tsabina biar calon anak kalian kenapa-kenapa, Heng." Rohima menyuarakan pendapatnya.
Hengki yang semula tidak berpikir apapun tentang Diana, kini terhasut oleh ucapan Tsabina dan Rohima yang menuduh Diana. Laki-laki itu pun beranjak untuk mencari keberadaan Diana–istri pertamanya.
"Diana!" Teriakan Hengki menggema di dalam rumah berlantai dua itu.
Hengki mencari Diana ke setiap penjuru rumah. Namun, belum juga menemukan keberadaan Diana. Amarah semakin membara di jiwa Hengki. Dia mempercepat langkahnya menuju taman belakang rumah. Biasanya Diana selalu menghabiskan waktu di sana dengan merawat tanaman hias.
"Diana!" teriak Hengki ketika melihat sang istri sedang sibuk dengan tanamannya.
Diana terkejut saat Hengki memanggil namanya dengan nada tinggi. Dia langsung berdiri ketika Hengki berjalan ke arahnya dengan langkah tegas.
"Ada apa, Mas?" tanya Diana bingung.
"Enggak usah pura-pura bodoh, Dian. Kamu sengaja mencelakai Tsabina, 'kan? Kamu iri karena dia bisa memberikan aku keturunan, sementara kamu tidak!"
"Maksud kamu apa, Mas? Aku mencelakai Tsabina? Aku enggak paham sama maksud kamu."
"Alah! Enggak usah munafik, Dian. Aku tahu kamu sakit hati sama aku dan Tsabina. Tapi enggak gini caranya!" bentak Hengki tanpa peduli dengan ekspresi kecewa Diana. "Mulai sekarang enggak usah berani mencampuri urusan Tsabina. Aku bakal cari Koki terbaik untuk calon ibu dari anakku."
Usai berkata seperti itu, Hengki langsung pergi. Dia dengan angkuh dan sombongnya menghina istri pertamanya.
Air mata Diana tumpah saat perlakuan Hengki semakin kasar padanya. Dia masih hidup, tapi rasanya jiwanya telah mati sejak Hengki memutuskan untuk melakukan poligami tanpa meminta restu darinya.
"Baik, Mas. Jika kamu dan keluarga ini sudah tidak memerlukan aku lagi, aku akan berusaha mengurus hidupku sendiri. Aku juga sudah tidak kuat, setiap hari harus melihat kemesraan kamu dengan wanita lain."
Keesokan harinya, Diana yang biasa bangun lebih pagi untuk mengurus urusan rumah, kini tidak memikirkan urusan rumah lagi. Dia sudah bertekad akan membalas perbuatan Hengki dan seluruh keluarga yang telah menghinanya terus menerus.
"Biarkan saja. Kalian urus saja hidup kalian sendiri. Aku tidak akan ikut campur urusan kalian lagi," ucap Diana saat mendengar Ibu mertuanya sedang mengomel di dapur.
Wanita paruh baya itu pasti jengkel karena dapur masih dalam keadaan berantakan. Belum ada satupun masakan yang tersedia untuk sarapan.
Diana yang sudah rapi dengan pakaian formalnya, hanya mengedikkan bahu sebelum akhirnya keluar dari rumah itu. Dia sengaja memberi pelajaran pada mertuanya agar merasakan bagaimana jika hidup tanpa dirinya.
Begitu keluar dari rumah, Diana pun berjalan menuju pintu gerbang setelah menerima pesan yang berasal dari tukang ojek online yang dia pesan. Untuk memudahkan aktivitasnya, Diana memilih untuk memesan ojek online dari pada naik kendaraan pribadi.
"Mbak Diana?" tanya si pengendara motor yang berada di depan pintu gerbang rumah tersebut.
"Iya, Bang."
Si tukang ojek pun mengangguk, kemudian menyerahkan helm berwarna putih pada Diana yang langsung diterima olehnya. Diana memakai helm itu sebelum naik ke boncengan.
Setelah memastikan si penumpang sudah siap, tukang ojek itu langsung mengendarai motornya menuju alamat yang sudah tertera di aplikasi. Diana memang sudah mencari lowongan pekerjaan sejak semalam, jadi sekarang dia sudah tahu di mana saja dia bisa melamar pekerjaan.
Alamat pertama, Diana gagal mendapatkan pekerjaan karena ternyata dia datang terlambat. Sudah ada orang yang mengisi lowongan tersebut. Begitu juga di tempat kedua yang didatangi oleh Diana.
Diana belum mau menyerah. Kini dia menuju tempat ketiga. Dengan harap-harap cemas, Diana masuk ke dalam sebuah butik terkenal di kota itu.
"Maaf, Mbak. Saya mau melamar pekerjaan," kata Diana saat menemui seorang pekerja di tempat itu.
"Oh, boleh, Mbak. Mana CVnya?" tanya balik si pekerja bername tag Sulis.
"Ini, Mbak." Diana menyerahkan data dirinya pada si pekerja yang langsung diterima oleh pekerja wanita itu.
"Oke. Mbak bisa tunggu di sana. Biar saya temui bos dulu," kata Sulis dengan ramah.
"Baik, Mbak."
Hampir setengah jam Diana menunggu. Perasaannya sudah tidak karuan. Dia merasa dia akan gagal lagi. Namun, ketika dia mulai frustasi, Sulis kembali memanggilnya.
"Mbak, mari ikut saya menemui bos!"
"Oh, baik, Mbak." Diana dengan patuh mengikuti Sulis naik ke lantai tiga.
Sulis mengetuk pintu sebuah ruangan. Tidak lama terdengar suara sahutan dari dalam. Ketika sudah mendapatkan izin untuk masuk, Sulis pun membuka pintu dan melangkah masuk. Begitu juga dengan Diana.
"Bos, ini orang yang melamar pekerjaan di butik kita," ucap Sulis sopan.
"Oke. Kamu boleh lanjutkan pekerjaan kamu, Lis," ucap seseorang, dari suaranya jelas itu adalah seorang laki-laki.
Sulis bergegas pergi meninggalkan Diana bersama sang bos di ruangan mewah dengan nuansa putih. Ruangan itu memiliki pemandangan kota yang terlihat dari kaca bening.
"Jadi kamu mau melamar sebagai desainer di butik saya?" tanya si bos tanpa basa-basi, posisinya masih membelakangi Diana.
"Ya, Pak," jawab Diana singkat, tetapi dengan nada segan.
"Saya akan terima kamu bekerja, jika kamu tidak memanggil saya dengan sebutan 'Bapak'. Saya belum setua itu," ucap si bos, sambil memutar kursi kebesarannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!