Seperti biasa Aurora akan selalu semangat menjalani harinya walau ada kekosongan di sana.
Aurora berharap waktu berjalan dengan cepat hingga ia bisa bebas dengan semua ini.
Hari-hari yang ia jalani tak seperti dulu, Aurora akan ceria hanya dengan sang bunda dan Aksara saja sedang dengan Sanga papa Aurora terlihat banyak diam.
Aurora masih marah dengan semua yang sang papa lakukan namun apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur Aurora tak bisa membantah itu.
Aurora termenung kosong di dalam kamarnya menatap rembulan di atas sana. Sangat tenang seperti air mengalir tapi bukan hati Aurora.
"Ini sudah tujuh tahu pa!"
Lilir Aurora bergetar menggigit bibir bawahnya sakit.
Hari-hari yang Aurora jalani nampak berat Aurora tak bisa menjalankan perusahaan sendiri.
Menunggu Mentari mencapai usia yang di tentukan sangat lama. Butuh sepuluh tahun lagi Aurora bertahan.
Lalu bagaimana dengan cita-cita itu, apa Aurora harus menelan kepahitan lagi.
Bahkan hal asmara pun Aurora tak sedikit pun terlintas dari otak cerdasnya. Dunianya terlalu sibuk dengan bisnis yang sendari awal Aurora benci namun demi keponakan cantiknya Aurora mengorbankan semuanya.
Ini sudah tujuh namun masih saja sang papa menyiksanya dengan pekerjaan bahkan besok Aurora harus terbang ke Jerman.
Hati Aurora sudah lelah dengan semua ini namun Aurora bisa apa. Hanya rembulan di atas sana yang selalu setia menemani kekosongan jiwanya.
Dulu Aurora sangat benci pada rembulan yang selalu berbohong di balik ketenangan cahaya nya. Namun semenjak Aurora bergabung di perusahaan Aurora mulai menyukainya.
Sekarang Aurora paham kenapa banyak orang yang menyukai rembulan.
Cahaya nya yang menenangkan dengan suasana sunyi mampu membuat hati tenang.
Semilir angin menerpa kulit mulus Aurora yang tak peduli dengan kesehatannya.
Berbagai pesan dan email dari profesor tak kunjung Aurora balas sampai detik ini. Aurora takut mengecewakan beliau. Anggap saja Aurora murid tak tahu diri yang dulu begitu semangat mengejar ketika sudah di genggam Aurora melepaskan begitu saja.
"Tuhan kapan ini usai, kenapa kau memberiku takdir semacam ini!"
Monolog Aurora menyeka lelehan bening yang keluar dari kelopak matanya.
"Bahkan kau juga mengurungku dari rasa cinta!"
Aurora meremas dadanya kuat mengenang satu nama yang pernah singgah di hatinya. Namun Aurora selalu menepisnya karena semua itu percuma.
Tak ada yang peduli dengan kisah dirinya seolah semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing.
Aurora sama dengan gadis lainnya yang ingin menghabiskan waktunya dengan pacaran, mimpi, shoping ataupun nongkrong ala-ala zaman now.
Aurora mengeratkan pelukan tangannya kerena merasa dingin. Seperti hari sudah semakin larut membuat Aurora memutuskan menutup jendela.
Rembulan di atas sana nampak sendu melihat kerapuhan Aurora yang tak ada yang mengerti satu orang pun.
Aurora menatap sendu berkas-berkas dan koper berukuran enam belas inchi yang akan ia bawa ke Jerman.
Semuanya sudah Aurora persiapkan karena di sana ia hanya satu Minggu saja bahkan Dom juga tidak ikut.
"Tak boleh mengeluh Rora!"
Aurora hanya bisa menyemangati dirinya sendiri. Setidaknya Aurora bisa bertemu dengan Shofi di sana.
Entah bagaimana kabar sang kakak di Jerman Aurora belum tahu karena sang kakak jarang berkunjung semenjak Shofi di pertanyakan kenapa belum hamil juga.
Aurora memutuskan tidur karena besok ia harus bersiap. Jadwal keberangkatan tepat jam sepuluh siang. Aurora tak mau kesiangan akibat ia bergadang.
Aurora memejamkan kedua matanya berharap esok hari baik untuknya.
Sungguh malang bukan, harus menjadi batu loncatan.
.
Pagi yang cerah membangunkan para manusia yang masih bersembunyi di balik selimut tebal.
Seperti nya orang-orang yang malas yang seperti itu. Mereka memilih tidur kembali merasa pekerjaan mereka berbeda.
Padahal pagi waktu yang bagus untuk mencari nafkah, kesuksesan dan semangat.
Begitupun dengan apa yang Aurora lakukan, ia sudah bangun sendari tadi dengan wajah cerahnya seolah ini adalah hari semangat bagi dirinya.
Para bodyguard sudah siap mengantar kepergian Aurora ke bandara.
Padahal Aurora tak menginginkan itu namun titah sang papa begitu mutlak tak bisa di bantah.
Aurora pasrah saja mengikuti alurnya karena malas berdebat yang ujungnya ia akan kalah karena tak mau membuat sang bunda sedih melihat pertengkaran nya.
"Jangan lupa sudah sampai kasih tahu bunda!"
"Siap Bun, itu pasti!"
Queen mengecup puncak kepala sang putri penuh kasih sayang membuat Aurora sedikit aneh dengan tingkah sang bunda namun Aurora dengan cepat menepisnya.
Aurora segera masuk kedalam mobil yang sudah di siapkan.
Awal kepergian Aurora tanpa di dampingi oleh Dom. Biasanya kemanapun Aurora pergi Dom pasti selalu ikut tapi kali ini Dom tidak ikut.
Entahlah ada sesuatu yang mengganjal di hati Aurora namun apa.
Aurora akan mengikuti alur yang sang papa buat sampai di mana sang papa berhenti bertindak.
Aurora berharap ia bisa mendapatkan tender besar ini membuat perusahaan nya akan melejit ke daratan eropa sampai sang papa puas akan kinerjanya.
Ya, selama tujuh tahun terakhir ini segala pencapaian Aurora tak pernah sekalipun mendapat pujian dari sang papa. Berbeda dengan Aksara yang selalu di banggakan membuat Aurora terus berusaha bekerja keras agar mendapat kepercayaan sang papa.
Menjalani hari harus di banding-bandingkan itu sangat menyakitkan ingin sekali Aurora berteriak jika ini bukan kemampuannya, bukan pula profesinya.
"Mau sampai kapan pah!"
Lilir Aurora gemetar mengigit bibir bawahnya dengan pandangan lulus keluar jendela pesawat yang sendari tadi memang sudah lepas landas.
Aurora mengepalkan kedua tangannya ketika mengingat tiga bulan lalu ia kalah tender dan sekarang ia di tuntut harus mendapatkannya.
Sungguh pekerjaan yang tak mudah apalagi tak ada Dom di sampingnya. Ingin meminta bantuan pada sang kakak namun Aurora malu.
Aurora yakin Fatih juga sangat sibuk mengurus perusahaan nya sendiri dan juga istrinya. Aurora tak mau membebani Fatih dengan peliknya urusan rumah tangga Fatih karena sampai sekarang Shofi tak kunjung hamil.
Padahal hanya Fatih satu-satunya harapan Aurora yang bisa membantunya tapi lagi-lagi Aurora mengurungkan niat.
Aurora yakin ia bisa ia kuat, ia bisa memenangkan tender besar itu.
Perjalanan Indonesia-Jerman memakan waktu kurang lebih empat belas jam waktu yang sangat melelahkan namun tak sedikitpun membuat Aurora mengantuk.
Mata Aurora tetap terjaga walau rasa letih menyapa tapi tak Aurora gubris. Aurora hanya fokus pada berkas-berkas di tangannya saja.
Berkali-kali Aurora mempelajari berkas di tangannya dengan hati-hati dan penuh ketelitian.
Bahkan sampai di mana pesawat akan landing Aurora baru menutup berkasnya.
Semilir angin membelai wajah Aurora yang keluar dari pesawat.
Tujuh tahun Aurora baru menginjakan kakinya lagi di sini.
Nampaknya sudah ada beberapa orang berpakaian serba hitam dengan kaca mata hitam menghiasi hidung mancung mereka.
Aurora menatap ke sekeliling merasa ada yang aneh namun lagi-lagi Aurora menepisnya.
Aurora hanya berpikir jika para bodyguard sekedar melindungi nya bukan ada hal yang lain.
Aurora berusaha bersikap santai seolah-olah tak terjadi apa-apa namun mata teduhnya menyembunyikan tatapan tajam penuh kewaspadaan.
Dari auranya saja Aurora sudah faham betul jika di sini ada yang tidak beres seolah kemanapun kakinya langkah ada pasang mata yang mengawasinya.
Bukan Aurora namanya jika tak masa bodo dengan urusan orang lain.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen, dan Vote Terimakasih ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments