Kau harus membalas budi

Wajah Alin terlihat pucat karena menahan malu. Dia benar-benar tak menyangka akan terbangun di tempat tidur Kenzi. Tapi ... berarti...

“Kau ... Kau yang menyelamatkan aku?” tanya Alin pada pria itu.

Wajah Kenzi juga tak begitu baik karena semalaman dia menahan hasrat untuk menyentuh tubuh Alin. Dia tak benar-benar tega membiarkan Alin tertidur dengan pakaian kotor. Akhirnya, dia mengganti baju Alin dengan piyama miliknya.

Alin merasa kesal ketika melihat Kenzi yang tak menjawab pertanyaannya. Kenzi malah terbengong aneh di depannya.

“Jawab pertanyaan aku!” seru Alin, seketika membuat Kenzi tersadar dari lamunannya.

Pria itu tersenyum tipis lalu mengangguk. “Ya, aku selalu menolongmu di saat kamu kesulitan. Ini sudah yang kesekian kalinya. Sepertinya kamu harus membalas kebaikan aku ini,” ujar Kenzi dengan wajah seriusnya.

“Katakan apa maksudnya?” Pikiran Alin melayang. Dia memeluk tubuhnya sendiri dengan erat.

“Ha ha ha, wanita otak mesum. Kenapa? Kau pikir aku akan minta tubuhmu sebagai imbalan? Aku tak seberengsek itu,” ucap Kenzi lugas.

Alin menghela napas lega setelah mendengar ucapan Kenzi. Namun, detik berikutnya dia tersadar. “Lalu, siapa yang mengganti bajuku?” tanya Alin. Suaranya naik satu oktaf.

Wajah Kenzi menegang, dia kembali teringat bentuk tubuh Alin yang membuat dirinya berfantasi semalaman. Kenzi menelan ludah dengan susah payah.

“Aku, kenapa memangnya? Aku tak ingin kasurku ini kotor gara-gara bajumu!” seru Kenzi berdusta.

Seketika itu juga Alin melempar bantal ke arah wajah Kenzi dengan marah. “Dasar mesum! Kembalikan bajuku sekarang!” teriak Alin frustasi.

Kenzi yang dilempari bantal hanya tertawa kecil lalu menjawab, “bajumu kotor. Ada di dalam mesin cuci, sana cuci sendiri!”

Alin benar-benar sangat sebal, ‘Tuhan, kenapa harus dia lagi yang menolongku.’ Batin Alin.

Kenzi pun keluar dari kamar itu, disusul oleh Alin di belakangnya. Alin tampak sangat lucu menggunakan piyama Kenzi. Tinggi Kenzi 189cm, sedangkan Alin 157cm saja. Dia memakai baju Kenzi, terlihat seperti badut.

“Itu mesin cucinya. Setelah selesai mencuci baju, kau buatkan sarapan untukku,” ucap Kenzi tanpa menoleh ke arah Alin. Dia berjalan lurus ke arah ruang kerjanya.

Alin tidak berlama-lama tinggal di apartemen Kenzi. Dia segera mencuci bajunya. Matanya melihat – lihat ke berbagai penjuru ruangan.

“Dia tinggal sendirian?” gumam Alin. Wanita itu sudah selesai mengeringkan pakaian, sekarang dia hendak memasak bahan yang tersedia di dalam kulkas. Namun, di kulkas hanya ada beberapa telur dan sayuran yang hampir basi.

“Sepertinya dia jarang tinggal di sini,” ucap Alin.

Akhirnya, Alin memilih masak nasi goreng saja. Dalam waktu tiga puluh menit, nasi goreng telur pun tersedia di meja makan Kenzi.

Kenzi keluar dari ruang belajar, kini dia sudah memakai pakaian kerjanya. Dia pun berjalan ke arah Alin, lalu duduk di depan meja makan.

“Kenapa kau hanya membuat satu porsi?” tanya Kenzi.

Alin mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Saya akan sarapan di luar. Silakan Tuan Kenzi menyantap sarapannya. Saya permisi dulu,” ucap Alin. Wanita itu hendak keluar dari apartemen Kenzi namun Kenzi segera menahannya.

“Tunggu! Kau harus membalas budi karena aku telah menolongmu,” ucap Kenzi buru-buru. Sebenarnya dia ingin mengajak Alin untuk sarapan bersama tapi dia enggan melakukannya.

Alin menoleh cepat, lalu menatap tajam wajah pria itu.

“Kau, bernyanyi lah di acara pembukaan perusahaan baruku. Aku sudah menghubungi rekan band-mu kemarin, tapi kau tak mengangkat telepon.”

Alin baru ingat, kemarin HP-nya beberapa kali berdering. Dia kira adalah telepon dari Santi, ternyata malah dari teman-teman bandnya.

“Baiklah, aku bersedia menyanyi di acaramu. Kapan dan di mana?” tanya Alin.

“Hotel Z. Lusa. Kau punya waktu dua hari untuk persiapan. Jangan memberikan penampilan yang buruk,” ujar Kenzi. Alin mengangguk lalu segera pergi dari tempat itu. Sedangkan Kenzi segera memakan nasi gorengnya. Sudut bibirnya pun perlahan – lahan melengkung, menampilkan sebuah senyuman yang mempesona.

***

Hari ini Alin izin tak masuk kerja, beruntung sekali bosnya itu mau memberikan izin tanpa harus repot-repot menanyainya.

Jadi, hari ini dia bisa menjemput Naufal ke sekolah lalu memasak makanan kesukaan anaknya itu. Alin saat ini sudah sampai di depan sekolah Naufal. Dia melihat beberapa anak laki-laki tengah tertawa-tawa di samping Naufal. Namun anehnya, Naufal malah terlihat murung dan sedih.

Alin mempercepat langkahnya. Dia segera mendekati Naufal.

“Benar, kan, Nau? Kau tak punya ayah. Itu artinya kau anak haram,” ucap salah satu anak laki-laki itu.

Naufal menunduk, dia malu dan juga sedih. Dia teringat kata-kata Kenzi kemarin, dia adalah anak haram. Kenapa semua orang mengatainya anak haram? Kenapa?

Teman-teman Naufal kembali mengejek Naufal.

“Hei! Hentikan, kalian tak boleh membuli teman,” ucap Alin.

Alin datang di saat yang tepat. Naufal segera berlari ke arah sang ibu lau memeluknya. Melihat Naufal yang sudah dilindungi oleh ibunya, teman-teman Rafa pun bubar.

Ternyata Naufal terisak di pelukan Alin. Pipinya dipenuhi lelehan air mata.

“Mami, apa benar Nau ini anak haram?”

Pertanyaan Naufal benar-benar menggores hati Alin.. Alin segera menggelengkan kepalanya.

“Nak, kamu bukan anak haram. Kamu punya papa, kamu bukan anak haram,” ucap Alin dengan disertai tangisan yang pilu.

Alin benar-benar sedih, dia juga tak mampu membujuk Naufal yang masih menangis. Setelah beberapa menit berlalu, barulah Naufal kembali tersenyum.

Mereka pun pulang ke rumah. Selama di perjalanan, Naufal selalu bengong dan melamun. Membuat Alin sangat khawatir.

“Nau, Mami mohon Nau jangan dengarkan ucapan anak-anak itu, ya.” Alin memandang mata Naufal yang masih berkaca-kaca.

“Nau malu, Mami. Nau sudah bilang sama mereka, kalau ayah Nau sudah meninggal. Tapi mereka gak percaya karena Nau nggak kasih lihat foto ayah Nau,” ujar anak malang itu.

Sungguh, Alin sebenarnya tak ingin melihat Nau bersedih. Tapi, dia juga tak bisa mengatakan yang sebenarnya.

Pertama, dia takut Kenzi tak mengakui Naufal sebagai anaknya gara-gara kesalahpahaman mereka lima tahun yang lalu.

Kedua, dia takut Naufal akan dijahati atau dicelakai oleh orang yang dulu mencelakainya. Dia benar-benar dilema saat ini.

Naufal pada dasarnya adalah anak yang baik dan pengertian. Dia juga peka terhadap ekspresi wajah Alin. Melihat Alin yang tampak sedih dan frustasi, Naufal pun merasa bersalah.

“Mami, nggak apa-apa aku nggak punya ayah. Yang penting aku punya Mami. Aku nggak akan sedih lagi.”

Naufal memeluk tubuh Alin. Keduanya menangis dalam diam.

“Mami janji, meskipun kamu nggak ada ayah, kamu akan tetap hidup dengan baik.”

“Naufal juga janji, Mami. Naufal akan membahagiakan Mami. Nau akan jadi anak yang baik,” ujar Naufal.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!