17

"Otak yang mungkin enggak seharusnya di kasih ke anak rusak kayak dia," kata Tama kemudian. "Bakat itu anugrah tapi juga tanggung jawab. Bintang enggak pernah ketemu orang yang lebih baik daripada dia, bikin dia diperlakuin spesial, terlalu spesial."

"...."

"Pertanyaan saya, Luka, bertahun-tahun dari kecil kamu dijadiin seakan anak dewa, kamu jadi bijak atau jadi rendah hati?"

Tidak. Seseorang yang terlalu diangkat ke langit sangat amat berisiko untuk jadi sombong dan berpikir dia sungguhan harus di atas langit.

"Lalu satu waktu, orang tuanya sadar kalau Bintang terlalu besar kepala karena dipuja-puja." Tama kembali menatap Luka. "Antara nunggu dia jadi Lio yang ngabisin Yasa karena dia pikir Yasa enggak ada apa-apanya dibanding dia, atau ngubah dia sebelum terlambat, menurut kamu mana yang bijak?"

Mengubah dia sebelum terlambat, kan?

Maka ya, orang tua Bintang menghentikan pemujaan itu dan menggantinya jadi tekanan. Sadar dirilah, tahu dirilah, jangan sombong, harus rendah hati. Mereka menekankan itu pada anak yang telah berpikir dia anak dewa.

Tapi faktanya itu sudah terlalu terlambat. Sangat terlambat.

Atau mungkin caranya yang salah.

"Ayah yang dulu meluk dia, muji dia, senyum dengerin dia, berubah jadi monster yang mukulin dia."

Tama tersenyum kecut. "Anak setan, anak rusak, anak enggak waras, itu yang dibisikin ke telinganya biar dia tau rasanya merendah. Merendah, Luka. Tolong inget kamu bukan Tuhan, jadi tolong jangan terlalu sombong."

Kepala kecilnya dibenturkan ke tembok. Berulang kali di usianya yang masih tujuh tahun, delapan tahun, sembilan tahun, sepuluh tahun.

"Satu waktu, Bintang marah sama kakak perempuannya, Bulan. Itu umur Bintang menjelang ke dua belas tahun. Dia marah dan ngambil balok kayu buat mukulin Bulan yang fisiknya lemah. Dia mukulin kakaknya di depan rumah, di depan banyak orang, persis sama kayak dia sering dipukulin sama ayahnya di dalem rumah. Bulan dilariin ke rumah sakit, enggak lama kemudian Bintang juga masuk rumah sakit karena ayahnya hampir matahin tangan sama kakinya."

Tama menutup matanya yang mendadak merah, kesal sekaligus marah tapi juga pedih mengingat itu.

"Otaknya dirusak sama hal yang kamu atau saya enggak mungkin bisa ngerti. Jadi kalau kamu tanya kenapa dia pergi ke neraka, itu jawabannya cuma satu. Karena dia benci."

"...."

"Bintang pasti pulang buat bales dendam, Narendra. Bintang Abkariza enggak mungkin pernah mati kecuali monster yang ngancurin dia mati di tangan dia sendiri. Sekarang terserah kamu mau ngapain sama jawaban saya ini."

*

*

*

Luka tak bicara sepatah katapun setelah keluar dari kediaman Tama. Pria itu langsung naik ke mobil Alex, tidak mengatakan tempat lain jadi berarti pulang.

Walau Alex cerewet dia mengenal Luka sejak hari dia lahir. Maka tentu saja Alex tahu harus diam.

Sesampainya di rumah, pria itu naik ke lantai atas, masuk ke kamarnya di mana Bintang ternyata sedang tidur.

"Keluar." Luka cuma berucao singkat pada Tirta, menunggu sampai pintunya tertutup sebelum ia datang ke kasur, naik memeluk gadis itu.

Cerita Tama sudah cukup membuat Luka paham segalanya. Walau ia tak tahu cerita A, B, C, D menuju Z-nya, namun ia tahu titik terpentingnya.

Lio ingin menghancurkan Bintang karena dia menjadi Trika demi dirinya sendiri, bukan Luka. Dia tidak setia, tidak juga hormat, tidak pula peduli. Maka dendam itu, Lio biarkan memuncak di hatinya dan suatu saat akan Lio hancurkan sebagai bentuk penyempurnaan.

Setelah itu Bintang akan sepenuhnya jadi milik Luka. Pasti begitu rencana Lio.

Namun ....

"Tri." Luka mendekap tubuh itu untuk kesekian kalinya. "Kamu cuma punya saya."

Dia milik Luka, kan? Jadi seharusnya Lio berhenti ikut campur bahkan kalau semuanya demi Luka.

"Yang boleh nyakitin kamu cuma saya." Luka berbisik di telinganya. "Yang boleh bikin kamu gila itu cuma saya, Tri."

"Kamu pergi empat jam cuma buat pulang ngomong kayak gitu?" Ternyata Bintang terbangun. "Kamu negasin itu ke saya atau ke diri kamu, Luka?"

Mungkin keduanya.

Tapi Luka tak perlu memberitahunya karena yang lebih mau ia lakukan adalah menciumnya.

"Berlian yang kamu minta lusa nanti dateng," bisik Luka di antara cumbuannya. "Sekarang berenti cari alesan karena saya enggak mau tau."

Bintang tertawa kecil. Dia terlihat menertawakan Luka yang tergesa-gesa, namun meski begitu Luka tahu ia menyukai tawanya lebih dari wajah ketusnya.

"Kalo gitu terakhir, Luk," Bintang memeluk tubuhnya yang kini sama-sama tak berpakaian, "nama rumah saya: Kastel Bintang."

Bibir Luka merangkai senyum kecil sebelum ia menjawabnya dengan ciuman intens.

*

*

*

Tama memberitahu Langit dan Genta akan kedatangan Luka Narendra ke kediaman mereka. Juga tentang bagaimana dugaan Tama terhadap perasaan Luka pada Bintang.

Tak heran Langit mendadak murka.

"Jadi lo percaya adek gue sekarang baik-baik aja sama Narendra ... gitu, Ma?"

"Lang, gue cuma bilang kalo itu fakta Luka Narendra penasaran sama Bintang, bukan sebagai tuan sombong ke budaknya. Maksud gue—"

"Lo yang bilang siapa Narendra. Lo yang ngasih tau gue." Langit mengerjap kecewa. "Lio Narendra ngebunuh orang tuanya sendiri, Nara Pratama, orang tua yang besarin dia sendiri cuma karena dia ngerasa dia lebih superior."

"Dia ngabisin Yasa, keluarganya yang udah enam generasi, dia ganti jadi Narendra, cuma karena dia mau dia yang pertama. Lo yang bilang sama gue kalo Narendra punya peternakan manusia, seakan-akan mereka itu kambing, dibesarin, dikasih makan dikasih minum buat dipotong! Terus lo bilang adek gue bahagia di sana?!"

Oke, Tama tidak bilang sejauh itu karena jelas ia tidak menganggap mereka normal. Maksudnya bukan begitu.

"Dan kamu tau," ucap Langit pada perempuan cantik yang duduk di sebelahnya. "Kamu tau Bintang di mana, Azka, tapi kamu enggak ngomong sama sekali?"

"Kak."

"Kamu dengerin semuanya, kamu ngeliat semuanya, aku rela gali lubang cacing buat nemuin Bintang tapi kamu milih pura-pura enggak tau!"

Azka menatap Langit penuh rasa bersalah. "Kak, gue minta maaf. Gue tau itu salah cuma—"

"Jadi Tama bener? Bintang hidup bahagia karena Luka Narendra cinta mati sama dia? Bintang enggak menderita di sana? Bintang jadi manusia normal di sana?"

Azka langsung menggigit lidahnya. Dari bagaimana gadis itu tertunduk, terlihat sangat amat kecewa pada dirinya sendiri, itu sudah cukup menjelaskan kondisi Bintang.

Adiknya tidak baik-baik saja.

Langit tiba-tiba beranjak pergi, meninggalkan mereka semua untuk masuk ke kamarnya.

Melihat itu, Azka menghela napas frustfasi.

"Lo temenan sama kita karena Lio?" tanya Tama.

"Ya." Azka mengangguk mengakuinya. "Tapi lo tau gue enggak ngabisin waktu sama kalian karena Lio. Gue sayang kalian, guys, come on. Satu-satunya yang enggak gue kasih tau ke kalian itu cuma soal Bintang. Besides kalo gue bilang, Kak Langit bisa apa?"

Genta mengerucutkan bibir. Sisi lain Azka itu mengejutkan, tapi dari awal mereka semua sudah tahu bahwa Azka dan Narendra punya hubungan. Walau mereka mengira itu hanya hubungan antar bisnis kakeknya dan Lio.

"Jadi lo tau Bintang kayak gimana di sana?" Genta memilih menanyakan hal penting saja. "Kondisi dia gimana, lo tau?"

*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!