"Bos?"
Luka berdecak kesal mendengar suara langkah kaki Bintang naik. Mereka berdua memiliki sifat keras kepala yang sama dan Luka tahu perempuan itu tidak akan mencabut ucapannya jika sudah diucapkan.
"Alex mana?"
"Belum ada kabar tapi kayaknya lagi ngamuk."
"Suruh dia pulang."
Mulut ceriwis Alex itu cocok menghadapi pembual macam Mahesa jadi setidaknya dia akan membuat Mahesa tidak betah—mungkin.
"Bos, lo yakin mau bukain pintu buat Mahesa?"
Luka selalu benci tugasnya sebagai Tuan Muda. Makanya Bintang tidak salah, bahwa Luka tidak ingin jadi apa-apa. Luka tidak memegang pekerjaan apa pun dan menyuruh Tirta juga Alex mengerjakannya sebagai ganti. Luka bahkan pernah membiarkan perusahaan di tangan mereka bangkrut dan dia justru lebih asik menggores pensil di buku sketsa, tidak peduli.
"Bos, lo enggak perlu dengerin omongan Trika soal lo. Semuanya terserah lo."
"Lio sengaja." Luka mengambil peralatan makannya lagi, lanjut mengiris daging sekalipun Bintang sudah naik. "Cari tau kenapa Lio pengen Tri ketemu Mahesa."
*
Setelah meminta semua anak buah dalam asuhannya bergerak mengumpulkan informasi, Tirta mendatangi kamar Bintang. Perkataan dia pada Luka tadi, kalau mengikuti hukum Narendra, tidak heran bahkan kalau lidahnya dipotong.
Dia tidak pantas mengkritik Luka. Bahkan kalau Luka salah, Luka seenaknya, Luka tidak melakukan apa-apa, semuanya terserah Luka dan tikus harusnya diam saja. Tapi Bintang malah bersikap seakan dia berhak.
"Gue enggak terima lo ngomong gitu ke Luka."
Bintang melirik. "Orang yang kli-maks di mulut saya enggak pantes ngomong."
Tangan Tirta bergetar oleh amarah dan rasa penghinaan. Ia tahu sekarang tidak berdaya di hadapan perempuan ini tapi Tirta tidak bisa diam jika tuannya dihina!
"Trika Narendra, lo mesti sadar siapa lo, siapa Luka, siapa Narendra! Lo kira bisa seenaknya cuma karena—"
"Bau orang bodoh." Bintang menoleh, menatap Tirta dengan ekspresinya yang terlampau beku. "Kenapa sebenernya dunia biarin orang tolol kayak kalian lahir?"
Urat-urat di wajah Tirta bahkan menonjol mendengar hinaan itu. Dialah yang bodoh karena tidak mengerti sama sekali posisinya! Dialah yang seharusnya sadar bahwa segala yang dia pegang sekarang itu cuma pemberian Luka!
Dia ada karena Luka!
"Kalau Luka mau bunuh saya, biarin dia." Bintang mencengkram rahang Tirta. "Kalau Luka mau banting saya, biarin dia. Terserah dia. Jadi kalau Luka juga diem ngeliat saya kurang ajar, itu harusnya kamu biarin dia!"
Tirta tersentak bukan karena Bintang tiba-tiba membentak, namun karena perasaan aneh di sekitar Bintang.
Haus darah. Perasaan pekat ini sering Tirta rasakan dari dirinya atau orang lain. Tapi seharusnya Bintang tak perlu semarah ini untuk alasan tidak jelas.
"Kamu cerewet." Bintang tiba-tiba mencekik Tirta, mendorongnya ke tembok. "Kamu itu terlalu cerewet. Padahal udah saya bilang, padahal berkali-kali saya bilang, tapi selalu, selalu, selalu, selalu, selalu, selalu kamu enggak denger!"
"Tri." Tirta bisa melawan namun ia tak boleh melawan istri Luka. "Urgh!"
"Orang kayak kamu, orang enggak berguna kayak kamu, orang yang harusnya enggak ada kayak kamu, kenapa malah selalu ngelawan saya?!"
Sebuah tangan tiba-tiba meraih pergelangan Bintang, disusul tubuh perempuan itu terbang hingga ke jendela.
Tirta terkejut melihat kemunculan Yogi, tangan kanan Lio sekaligus adik iparnya, dan seseorang yang memukuli Bintang tujuh tahun demi latihan.
"Yogi—"
"Ssshhh." Tubuh besar itu memunggungi Tirta, seperti menghalanginya. "Keluar pelan-pelan. Dia sensitif sama suara."
Tirta sekali lagi terkejut. Sudah ia duga. Reaksi tadi berlebihan. Itu bukan hal wajar dan dibuktikan dari Yogi bersikap waspada, seakan-akan Bintang bukan lagi manusia melainkan hewan liar.
Saat Tirta keluar, ia melihat Luka berdiri di pintu, mendengarkan suara barang-barang pecah dari kamar Bintang dan Yogi berada.
Mereka berdua diam karena sama-sama sadar. Perempuan itu, istri Luka yang dibesarkan Lio, ada bagian dari kepalanya yang dibuat tidak waras.
Sangat amat tidak waras sampai dia bahkan kehilangan jati dirinya.
"Bilang sama Mahesa kalo dia mau dateng, dateng besok." Luka berjalan mendekati pintu kamar Bintang. "Lo juga pergi. Coba cari semuanya soal Bintang yang disembunyiin sama Lio."
Tirta langsung pergi. Namun ia ragu bisa menemukan sesuatu jika Lio sudah benar-benar niat mempermainkan segalanya.
Pertanyaannya kenapa? Untuk apa Lio masih menyiksa istri Luka padahal masa pelatihannya sudah selesai?
*
Sementara Tirta pergi, Luka mendorong pintu kamar Bintang, melihat Yogi kini menahan gadis itu di lantai.
"Dia kenapa?" tanya Luka langsung, meski ia dengar Yogi memberi peringatan jangan ribut.
Suara pelan dari Luka sudah cukup membuat Bintang memberontak. Tapi yang menakutkan, ekspresi dia sepenuhnya datar. Dia seperti robot yang bahkan tidak berkerut marah. Cuma tangannya yang berusaha keras mendorong Yogi dan keinginan membunuh di sekitarnya.
"Yogi."
"Efek samping," jawab dia susah payah karena Bintang memberontak terlalu kuat. "Dia anak kecil dua belas tahun waktu Lio nyuruh dia minum racun, Luk. Kamu ngarep apa?"
Jadi maksudnya dia seperti ini karena Luka? Karena Lio membesarkan dia jadi istri Luka, memberi dia racun secara rutin hingga muntah darah berulang kali, dipukuli oleh orang yang bahkan ditakuti Alex dan Tirta tujuh tahun, dan menjalani sesi pembelajaran neraka yang Luka bahkan sangat membencinya—demi menjadi istri Luka, dia harus menjadi seperti ini?
"Rina enggak kayak gini." Luka memerhatikan wajah Bintang yang memerah karena terlalu kuat melawan kurungan tangan Yogi. "Rina harusnya juga sama kalo efek samping."
Yogi diam.
"Lo nyembunyiin sesuatu soal Tri. Ngomong, Yogi, ini perintah."
Yogi melirik. "Lio selalu ngelakuin sesuatu buat kamu, Luk," gumamnya, "termasuk yang kamu enggak setuju."
Artinya Lio melarang dia bicara, bahkan kalau Luka yang memerintah.
Tapi tak sempat Luka protes, Yogi tiba-tiba melepaskan Bintang dan mundur. Hal yang membuat Luka terkejut karena seketika sebuah tendangan mendarat di perutnya, berasal dari Bintang yang terbebas.
"Dia bakal begini sampe dia pingsan sendiri atau dibius." Yogi berucap. "Kamu mau liat hasil latihan dia tujuh tahun, Luk?"
Hanya sesaat setelah itu Bintang menerjang Luka, membuatnya mau tak mau harus melawan.
*
Luka merasa sangat sial karena justru terbatuk dalam tidurnya. Rasa sakit tajam di perut Luka dulu sering ia rasakan ketika berlatih dengan Yogi juga. Itu pertanda bahwa lukanya parah.
Pria itu mengerang. Hendak memanggil Alex atau Tirta, terserah siapa untuk mengambilkannya air ketika justru melihat Bintang.
"Sshh." Luka mendesis. "Fvck you, Tri."
Dia benar-benar perempuan gila. Luka menahan diri tidak melukainya karena dia tidak sadar, tapi dia justru melukai setiap sudut tubuh Luka dengan pukulan.
Dia harusnya bersyukur Luka memanjakan dia sangat banyak.
*
Bantu author ngembangin karya dengan dukungan kalian, yah ☺
Dan buka juga karya-karya Candradimuka lainnya, terima kasih 🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Widhi Labonee
hwaduh... kok bs ya mereka ky gitu
2023-07-13
1