4

Bintang tentu saja tidak bisa menolak perintah Luka mau dirinya sedang sekarat sekalipun. Maka Bintang tetap mandi, tetap berdandan, tetap memakai sepatu hak tinggi sambil berjalan menahan sesak luar biasa di dadanya akibat luka.

Tulang rusuknya tidak patah, tapi retak. Itu berita baik juga buruk. Bintang sekarang merasa sangat sakit karena harus berjalan.

Walau Bintang benci memperlihatkannya.

"Nyonya, butuh bantuan?" tawar Tirta yang menyadari rasa sakit Bintang.

Tapi senyum itu bukan senyum ramah. Itu senyum main-main. Tentu saja jika Luka benci pada tikusnya maka anjing-anjing dia juga akan menggogong menggertak tikus itu.

Seperti yang Alex lakukan pada Bintang tadi.

"Saya bisa sendiri." Bintang berucap dingin. "Mending kamu balik ke kandang kamu."

Dia cuma anjing jadi Bintang tidak perlu peduli.

"Nyonya benar-benar wanita pemberani." Dia menyeringai. Tapi sesaat setelahnya dia berbalik, menarik kasar lengan Bintang.

Perbuatannya menyentak luka di dada Bintang, menciptakan sakit yang membunuh ratusan kali.

"Denger, Sampah," bisik anjing itu. "Sekali lagi lo nyakitin Bos, gue cabut jantung lo pelan-pelan sambil terus mastiin lo teriak. Ngerti?"

Bintang telah dipukuli oleh adik ipar Lio, Yogi, selama bertahun-tahun sejak ia datang ke kediaman ini. Menurut dia Bintang takut? Jika iya, maka bagaimana Bintang berani melawan Luka tadi?

"Kamu juga harus ngerti," desis Bintang, "saya enggak tau kapan nyawa kamu yang hilang."

Menahan sakit lebih banyak, Bintang menarik paksa tubuhnya dari Tirta, berjalan lebih cepat meninggalkannya. Meskipun ini pertama kali Bintang keluar dari bangunannya, ia tahu letak gazebo dari jendela kamarnya.

Setiap langkah Bintang mengirim rasa sakit, tapi ia terus berjalan percaya diri agar tidak terlihat lemah.

Tidak ada di dunia ini yang boleh melihatnya sebagai orang lemah.

Sementara di sana, Luka duduk menunggu. Menatap kedatangan Bintang yang memakai dress hitam berpola mawar milik Narendra.

Lio yang menentukannya. Berkata bahwa mulai sekarang semua Narendra harus terbiasa pada mawar, terutama mawar hitam, merah, dan emas.

"Anak buah kamu kayaknya terlalu manja," kata Bintang saat duduk tanpa izin. "Orang kayak dia itu biasanya enggak berguna."

Luka memicing. Luka tahu Bintang kesakitan. Mustahil tidak padahal tadi batuk darah, namun itu benar-benar luar biasa dia menahannya.

"Tirta jauh lebih ada gunanya daripada Alex," jawab Luka. "Seenggaknya dia enggak bakal bunuh kamu tanpa izin."

Kalau Alex, sekali dia mendeteksi Bintang sebagai musuh, dia akan membunuhnya bahkan tanpa izin. Tirta sedikit lebih sabar dan waras.

"Saya anggep itu izin buat saya bunuh mereka." Bintang membalas santai.

"Kamu terlalu berani ngomong sama saya, Tri. Kamu kira saya temen kamu?"

"Enggak. Saya bahkan enggak nganggep kamu penting."

Gelas di genggaman Luka pecah dan belingnya melayang pada Bintang. Menghindar akan sulit jadi Bintang cuma mengangkat satu lengannya, membiarkan ia tergores asal bukan pada wajah.

Wajah ini milik Luka, begitu kontraknya. Bintang harus menjaganya untuk menjaga kontraknya.

Sisanya mau dimutilasi oleh Luka pun Bintang tidak boleh menghindar.

"Kasih tau saya, Tri." Luka berucap seolah dia tidak peduli darah yang menetes di lengan Bintang. "Kenapa kamu terlalu percaya diri? Kamu seakan-akan ngerasa saya enggak bakal bunuh kamu."

"Kamu yang harusnya ngasih tau saya," balas Bintang, juga tidak peduli pada tangannya yang berdarah. Ia bahkan menenggak racun demi Luka, lalu apa pentingnya goresan remeh ini?

Daripada ini Bintang harus bersiap untuk serangan baru.

"Luka Rajendra Yasa." Bintang menyebut nama Luka sebelum dia menjadi Narendra. "Apa yang bikin kamu bisa bunuh saya?"

Kening Luka berketut seolah dia tak mengerti dengan pertanyaan Bintang. Tangannya meraih pisau daging di meja, dekat piring steak yang tak tersentuh. Pisau iu berpitar di tangannya, sebelum Luka pegang mengarah langsung pada Bintang.

"Ini bisa nusuk kamu yang lagi enggak bisa apa-apa. Kamu masih penasaran apa yang bikin saya enggak bisa bunuh kamu?"

Dia milik Luka, secara keseluruhan. Jika Luka minta dia menjilat tanah dari gerbang ke puncak bangunan, dia harus melakukannya atau Luka bebas menyiksanya. Luka bisa mencabut kukunta satu per satu, atau mencabuti kulit-kulit lukanya sedikir demi sedikit sampai dia berharap mati.

Lalu dia bertanya seakan Luka sebenarnya tak bisa?

Dia bahkan bukan manusia di hadapan Luka. Dia cuma tikus.

Setidaknya itu yang Luka pikirkan saat mata Bintang menatapnya rajam.

"Saya bilang Luka Rajendra Yasa," tekan Bintang baik-baik. "Kamu bisa apa?"

"Jangan ajak saya main kata, Tri, karena kamu enggak mau tau rasanya lidah kamu saya cabut."

Bintang justru memejam, tertawa kecil. "Kamu kira saya enggak tau kamu beda dari Lio?"

"Beda?"

"Kamu enggak pernah pengen Yasa hancur."

Luka tersentak.

"Lio ngancurin Yasa buat kamu, Luk, bunuh orang tua kamu buat kamu. Karena mereka enggak sayang sama kamu, selalu banding-bandingin kamu sama Lio yang justru terlalu sayang sama kamu. Yasa ilang, Narendra ada, semuanya buat kamu. Cuma kamu."

Bintang tersenyum sinis. "Sementara kamu enggak pernah minta."

Lucu, kan? Keluarga yang berdiri buat Luka ini, setitikpun tidak pernah Luka inginkan. Bintang tahu itu setelah sekian lama mengumpulkan informasi dari Yogi dan Dirga yang melatihnya selama masa pembelajaran.

Luka tidak mau jadi perawaris, tapi Lio mau Luka jadi pewaris karena itulah posisi yang paling aman bagi Luka. Luka tidak mau menikah dengan siapa pun, namun Lio memaksa Luka menikah sebab posisi Luka nanti membutuhkan Bintang sebagai pendukungnya.

Dan sekalipun Luka tidak mau, Luka melakukannya. Karena Lio berkata demikian.

"Kamu ujung-ujungnya selalu ngikutin omongan Lio. Kamu enggak pernah mau ngelawan keputusan Lio."

Bintang menunjuk dirinya sendiri, tepat di jantungnya.

"Lio nyuruh Yogi mukulin saya bertahun-tahun biar saya lebih kuat, tapi Lio selalu jaga jantung saya tetap di sini, buat kamu. Kamu pikir, kamu, yang enggak punya keputusan apa-apa bisa ngambil jantung yang Lio jagain? Semuanya buat kamu, even kamu enggak suka."

Luka hanya mampu terdiam.

Karena semuanya benar. Dan Luka membencinya karena semua itu sama sekali benar.

"Kamu ngelewatin batas, Tri."

Luka beranjak, berputar menuju tempat Bintang. Pria itu menunduk, meraih rahang Bintang mendongak padanya. "Kamu kayaknya ngerasa kamu aman karena Lio selalu jagain jantung enggak berguna kamu."

Tidak. Bintang tidak merasa aman. Sebenarnya itu tidak seratus persen pasti. Memang semuanya benar, tapi tidak ada jaminan Luka tidak membunuhnya.

Lio juga tidak akan marah. Lio terlalu menyayangi adiknya untuk peduli pada kesalahan Luka. Bahkan kalau Luka selingkuh dengan istri Lio, percayalah Lio akan tertawa memberikannya.

Jadi Bintang tidaklah sepenting itu.

Namun Bintang sudah bilang ia benci bersikap lemah.

"Kamu belum ngeliat semuanya. Terlalu cepet ngomong keterlaluan." Bintang meraih kerah pakaian Luka, menariknya tunduk untuk mempertemukan bibir mereka.

Tidak terasa Luka terkejut. Dia justru langsung balas mencium Bintang, berpegang pada pinggiran gazebo saat kursi Bintang jatuh bersandarnya pula.

Itu ciuman pertama dalam hidup mereka masing-masing, namun keduanya bukan manusia polos yang peragu ataupun pemalu.

Tangan Luka kini berpindang memegang pipi Bintang, menariknya agar semakin dalam ciuman mereka.

Namun detik itulah Luka sadar betapa panas tubuh Bintang. Dilepaskan ciumannya mau tak mau, melihat Bintang bernapas terputus-putus akibat rasa sakit.

"Keluar."

Tirta yang bersembunyi sejak tadi langsung keluar atas perintah Luka.

"Hampir gue ngira nonton live action, Bos."

Tubuh Bintang yang sekarat seketika berpindah ke gendongan Tirta.

"Kasih dia obat."

Tirta tersentak. "Bos, lo tau istri lo dilarang minum obat, kan? Mesti sembuh sendiri. Itu peraturan."

Balasan Luka hanya tatapan nata.

"Oke, oke. Lo enggak sabar mau unboxing jadi harus cepet sembuh. Fine." Tirta berbalik, membawa perempuan itu pergi menuju bangunannya sendiri.

Luka kembali duduk. Meraih gelas wine milik Bintang yang tidak tersentuh.

Saat Luka menyesap cairan merah menggoda itu, kepalanya tak bisa melepaskan rasa nyaman bibir Bintang.

*

Bantu author ngembangin karya dengan dukungan kalian, yah ☺

Bantu author ngembangin karya dengan dukungan kalian, yah ☺

Terpopuler

Comments

Widhi Labonee

Widhi Labonee

wooww... ngeri ngeri sedep yah hidup dg org" narendra nih...

2023-07-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!