Bintang syok mendengar untuk pertama kali perkataannya dipotong.
Tidak. Jangan sampai Bintang mencekik pacarnya Yogi. Bintang harus mencekiknya nanti setelah Yogi memutuskan dia karena sadar betapa cerewet dan tidak berguna perempuan ini!
"Anyway, sambil gue warnain rambut lo, nih buat lo." Azka meletakkan kotak perhiasan di tangan Bintang. "Katanya lo minta berlian? Haduh, Bintang ternyata doyan juga. Tapi gue enggak ngerti kenapa lo mintanya cokelat, Bin. Kayak, enggak cocok buat lo? Lo kan cewek mamba, bukan cewek bumi, jadi harusnya lo minta obsidian, atau apa kek yang item. Oh, tapi lo cocok juga sama merah sih. Merah kan masuk sama item, jadi kalo—"
"Huek." Bintang menutup mulutnya tiba-tiba, mendadak ingin muntah.
Tirta yang sejak tadi cuma diam mengawasi ssgera datang, menarik apa saja yang bisa dijadikan wadah muntahan Bintang.
Dia muntah-muntah parah.
"Bin?" Azka pucat pasi. "Lo hamil?"
Tirta tersentak saat Bintang menjatuhkan kepala ke bahunya, disusul rasa dingin di sana. Walau sempat terpaku, Tirta mendadak sadar.
"Azka, jangan terlalu banyak omong." Tirta memijat tengkuk Bintang. "Trika introvert akut. Lo ngoceh terlalu cepet malah bikin dia stres."
Azka yang semula mengira ini adalah adegan kehamilan Bintang ketahuan dan seluruh Narendra goncang ... seketika meringis.
"Sori." Gadis itu berlutut, mengamati wajah pucat Bintang.
Dalam hatinya diam-diam Azka berpikir bahwa Bintang dan Langit bahkan terlihat sama saat mereka gemetaran pucat. Padahal bukan kembar dan jarak umur mereka cukup jauh.
"Gue bakal pelan-pelan, Bin. Sori, sori. You're okay?"
Bintang cuma makin benci dia saja.
Tapi ia akhirnya merasa tenang karena Azka diam. Walah suaranya mendadak bergema di kepala Bintang saking cerewetnya dia tadi.
Untuk mencairkan suasana, Azka putuskan memutar musik. Tapi musik yang dia putar membuat Bintang dan Tirta sama-sama mendelik.
"Guys, please maklumin gue, oke? Gue kalo enggak cerewet tuh pas galau doang jadi pilih, gue puter lagu galau atau gue ngomong?"
Bintang menerima gelas minuman sebagai isyarat ia lebih memilih lagu galau daripada suara Azka. Hah, kalau saja bukan pacar Yogi, kepalanya sudah Bintang pecahkan.
"We let the waters rise, we drifted to survive."
Sambil mulai mengoles bleaching, Azka bernyanyi sendiri. Paling tidak suara dia tidak merusak telinga.
"I needed you to stay, but I let you drift away. My love where are you? My love where are you?"
Lalu Azka mengoceh, "Gue ngulang-ngulang nih lagu jutaan kali, Bin, soalnya Yogi kalo kerja lupa pacarnya juga pengen dikerjain."
Bintang lebih fokus pada lagunya. Ia tak suka lagu, musik apa pun secara keseluruhan namun entah kenapa ia merasa terpikat pada lagu ini.
"No one will win this time, I just want you back. I'm running to your side, flying my white flag, my white flag. My love where are you? My love where are you?"
Azka diam-diam mengamati wajah Bintang.
Ya, benar ini lagu yang Azka putar kalau lagi galau pasal Yogi tapi sebenarnya daripada putar lagu, Azka lebih suka pergi melempar Lio, bosnya Yogi, buat memberi anak buahnya itu libur sesekali.
Lagu ini jauh lebih sering diputar oleh Langit. Dan musik yang Azka putar, itu nyanyiannya sendiri. Langit yang menekan tuts piano untuknya, karena Azka ingin menyampaikan isyarat kecil saja.
"Whenever you ready, whenever you ready. Can we, can we surrender? I surrender."
Azka dan Tirta sama-sama terpaku ketika air mata jatuh ke pipi Bintang. Perempuan itu sendiri juga terpaku, menatap pantulan dirinya di cermin seolah dia tak percaya dia menangis.
"Trika—"
"Keluar." Bintang menutup wajahnya sendiri seolah dia marah. "KELUAR!"
Kini Azka tahu bahwa Bintang Kecilnya Langit tenyata masih merindukan kakaknya.
*
Azka meninggalkan ponselnya begitu saja hingga lagu itu terus berputar. Bintang terus menutup wajahnya, menolak kenyataan ia menangis tapi terus menangis.
"Lang," isak Bintang seolah ia anak kecil. "Kak Langit."
Bahunya terguncang. Bintang tak bisa menahan lemah yang memberontak keluar dari batasannya. Tubuhnya yang bahkan kuat dibanting oleh Yogi kini justru luruh, tak bisa merasakan denyut di dadanya.
Bintang tahu itu cuma lagu, tapi itu membuatnya menjadi anak remaja cengeng.
Segala kelemahan masa lalu itu datang seiring parah tangisan Bintang. Ia bahkan tak bisa berdiri tegak, meletakkan keningnya di lantai begitu saja dan menangis tanpa suara.
"Aku di sini," bisik Bintang perih. "Aku di sini, Lang. Aku di sini. Kamu di mana?"
Tangan Bintang menggigil hebat. Ia tahu ruangan ini kosong namun ia berusaha keras mencari-cari, berharap tangan kakaknya datang menjangkau Bintang.
Tujuh bulan lagi. Hanya tujuh bulan waktu yang perlu ia tunggu untuk bertemu lagi.
"Lang." Seperti saat kecil, saat ia berada dalam kamarnya sendirian dan menangis menahan sakit bekas pukulan, Bintang meraba-raba lantai.
Baik dulu maupun sekarang tangan Langit tidak pernah ada.
"Lang." Bintang merengek ketakutan. "Lang, please. Please. Kamu di mana?"
Apakah dia bersama Bulan? Apa dia bersama adiknya yang lembut dan tidak suka berbuat masalah? Apa dia melindungi Bulan jadi dia tidak bisa ada untuk Bintang?
"Langit—"
Sebuah selimut tebal datang membungkus Bintang. Badannya yang menggigil tiba-tiba ditarik dalam pelukan seseorang.
Bintang yang bersimbah air mata menoleh, mengira itu Luka, namun yang ia temukan justru wajah miris Tirta.
"Bos enggak boleh tau," kata dia, mendekap Bintang lebih erat. "Luka enggak boleh tau soal lo begini."
Luka tidak boleh sampai tahu bahwa Bintang, Trika-nya, merangkak di lantai mencari-cari tangan orang lain. Luka sekarang sedang dimabuk perasaannya pada Bintang, pada Trika-nya.
Dia tidak boleh tahu.
*
Sejak dulu, Langit sering merasa tiba-tiba mendengar suara Bintang di kepalanya. Ia tak tahu apakah itu cuma ilusi ataukah memorinya yang berusaha memutar suara Bintang, tapi itu sering tiba-tiba datang.
Sesuatu seperti, "Lang, kamu di mana?"
Karena itulah Langit selalu mengucapkannya.
"Aku di sini." Langit memejam, merasakan matanya memanas oleh perasaan rindu dan sesak itu datang tanpa alasan. "Aku di sini, Bin. Aku di sini."
Apa dia sedang menangis di sana? Apa dia meringkuk sendirian lagi, seperti yang selalu dia lakukan saat kecil, setelah pura-pura kuat di depan semua orang?
"Mas Langit?"
Langit membuka matanya meski ia tak bisa menahan tarikan napas gemstar. Rekan koass-nya mengamati ekspresi Langit yang tadinya biasa saja tiba-tiba seperti menahan sakit.
"Kenapa, Mas? Sakit kepala?"
Napas Langit justru semakin gemetar. Mendadak pria itu berdiri, pamit ke toilet untuk menyendiri.
Di wastafel toilet tersepi rumah sakit, Langit membasuh air matanya dengan air.
"Salahin aku, Dek. Salahin aku. Jangan kamu." Langit terisak-isak. "Aku yang salah. Aku yang dalah, Bin. Aku yang salah."
Badan Langit justru semakin bergetar dan tangisannya seperti seorang wanita.
"Jangan takut. Kakak di sini. Jangan takut."
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments