11.

"Udah saya bilang jangan bikin saya marah," ucap Bintang tanpa rasa bersalah.

Luka benar-benar mau mencekiknya tapi lengannya juga sakit entah terbentur atau diapakan kemarin. Ia berusaha duduk, meraih air kelapa di meja ketika Bintang tiba-tiba datang, mencegahnya minum.

"Apa lagi?" tanya Luka kesal.

Ia luar biasa kesal karena memilih membiarkan tubuhnya sakit cuma gara-gara perempuan ini menggila.

Tapi rasa kesal Luka berubah kaget saat Bintang datang, menciumnya lembut.

Jelas saja, Luka membalasnya.

"Kamu emang harus manjain saya," bisik Bintang. "Jangan biarin saya marah, jangan biarin saya kesel, jangan biarin siapa pun, termasuk kamu, bikin saya ngerasa diganggu."

Perkataannya membuat Luka nyaris tak percaya. Hah, dasar perempuan sialan. Dia pikir Luka adalah ayahnya memanjakan dia seperti kacung?

Harusnya dialah yang—

"Luk." Bintang menbelai pipinya. "Cuma kamu yang saya punya."

Luka benci mengakui kalimat itu mendorongnya mencium Bintang lagi, lebih dan lebih intens dari sebelumnya. Gelas air kelapa jatuh dari tangan Luka ke lantai samping kasur, tapi ia lebih peduli menekan Bintang, memeluknya erat.

"Urgh," erang perempuan itu.

Ternyata Luka tak sengaja memegang lebam di punggungnya, bekas amukan kemarin juga.

Tubuh mereka sama-sama terluka, sama-sama harus diobati paling tidak oleh kompres es batu agar lebamnya membaik, namun baik Luka apalagi Bintang tak peduli.

Keduanya berguling di kasur, saling menyentuh, saling menyalurkan hasrat tanpa cinta itu.

Sedari awal, sejak lama, Bintang memang bermaksud menguasai Luka. Itu akan memudahkan segalanya bagi Bintang, meraih tujuan terbesarnya memasuki neraka bernama Narendra. Tapi Bintang tak menyangka Luka benar-benar semudah ini.

Ketika Luka menciumnya penuh nafsu padahal dia baru sadar setelah Bintang menyakitinya, itu sudah menunjukkan besar kuasa Bintang atasnya.

Dia terusik atas keberadaan Bintang. Dia penasaran, ingin tahu, mulai terobsesi padanya.

Dia bahkan mendesahkan nama Bintang seolah dia putus asa.

Tak peduli lipstik Bintang belepotan di bibirnya, Luka justru berulang kali menuntut ciuman seolah dia tak bisa hidup tanpanya.

"Kamu kenapa, Luk?" gumam Bintang di bibirnya. Tersenyum kecil merasakan tubuhnya berada dalam remasan tangan Luka. "Kamu bilang saya enggak penting."

Dia menggeram kesal. Mencium Bintang semakin kasar tapi juga semakin terlihat putus asa.

Dia melucuti pakaian Bintang dan pakaiannya asal-asalan. Berdiri dengan lututnya, memperlihatkan tubuh tegap dan kulit putih pucatnya itu.

Luka secara jelas melebarkan kakinya, lalu datang untuk kembali mencium Bintang sekaligus memulai permainan sesungguhnya.

Tapi sebelum itu terjadi, Bintang mendorong dadanya mundur.

"Jangan tolak saya, Tri," geram Luka gusar. "Tugas kamu cuma nurut."

"Saya mau rumah."

Luka mau tak mau mundur, menatap Bintang aneh. "Hah?"

"Mahar, saya mau rumah."

"Mahar?"

Bintang tersenyum dingin. "Kamu sama saya emang udah lama nikah, tapi Luk, kamu enggak pernah ngasih saya mahar. Saya mau rumah."

Tatapan Luka mendadak kesal. "Kamu dorong saya cuma buat omong kosong mahar? Dan rumah? Kamu minta rumah? Kenapa enggak sekalian kamu minta batu kali, Trika?"

Rumah? Seorang istri Narendra meminta rumah? Bintang yang notabene adalah tikus mati selama tujuh tahun tinggal di bangunan Narendra berlantai empat, yang luasnya sudah cukup membuat dia malas berjalan. Lalu sekarang dia minta rumah pada Luka?

Dia menghina Luka?

Satu-satunya rumah yang Narendra punya hanya ini. Hanya rumah kecil dua lantai ini, tempat singgah sementara Lio atau Luka saat sedang di Jakarta. Tempat tinggal Narendra tidak layak disebut rumah.

"Lima lantai." Bintang bangkit dari posisi berbaring, menarik bahu Luka untuk membungkuk padanya. "Di Jayawijaya."

Luka mengerutkan kening.

Spontan dia beranjak, pergi mengambil buku skestanya beserta pensil. Diserahkan itu pada Bintang untuk menggambar 'rumah' yang dia inginkan.

Begitu selesai dia gambar, Luka langsung mendengkus.

Rumah? Dia sebut kastel megah ini rumah? Tapi setidaknya ini pantas daripada dia sungguhan meminta rumah yang bahkan tidak sudi Luka tinggali.

"Luk." Bintang kini sudah beranjak dari kasur, menyambar jubah tidur Luka di dekat ranjang. "Saya masih punya syarat."

"Kenapa kamu ngira saya butuh syarat buat tidur sama kamu? Otak kamu juga punya saya."

Bintang mengabaikan ucapan itu, datang mencium Luka.

"Kamu liat mata saya?" bisiknya. "Cari berlian yang sama persis. Inget, Luk, sama persis."

Selesai mengatakannya dia pergi, meninggalkan Luka kesal bukan main.

Perempuan sialan itu sekarang mempermainkannya. Dan jangan katakan itu juga efek samping!

*

Bintang yang keluar meninggalkan Luka tidak terkejut saat Yogi berdiri di depan pintu, nampaknya menunggu.

"Lio enggak mungkin biarin Mahardika ketemu saya kecuali ada sesuatu," gumam Bintang pada tutornya itu.

Di seluruh sudut Narendra, Yogi mungkin satu-satunya yang Bintang hormati sebagai guru setelah dia berjasa mematahkan tulang bilang puluhan kali. Sekali sebulan, kalau harus diperjelas.

"Kondisi kamu?" balas Yogi, diluar perkataan Bintang tadi.

"Seratus persen." Bintang menjawab tentang kesadarannya.

"Kenapa?" Yogi menyusul Bintang ke kamarnya. "Kamu kenapa sampe hilang kontrol? Itu jelas enggak biasa, Trika."

Bintang diam. Ia tak mau menjawab karena Yogi mungkin sudah tahu.

Kota ini adalah mimpi buruknya. Bahkan sekalipun Bintang sekarang berada di kediaman Narendra juga, bersama Luka dengan status istrinya, Bintang mengingat kehidupannya sebagai Bintang.

"Bintang Abkariza udah mati, Trika." Yogi menarik lengannya, menatap tegas pada Bintang. "Bintang Abkariza udah enggak ada di dunia. Yang ada cuma Trika Narendra. Kamu ngerti?"

"Tapi yang lain masih ada," ujar Bintang lirih nan beku. "Langit Abkariz masih ada. Bulan Abkariza masih ada."

Napas Bintang mendadak cepat. Kewarasan seratus persennya mendadak turun lagi, terhuyung memegangi kepalanya.

"Monster masih hidup," racau Bintang antara takut namun penuh benci. "Monster masih ada! Enggak ada gunanya Bintang mati! Semuanya masih ada!"

Yogi yang terbiasa pada gelaja itu langsung menyentak Bintang, memberinya sebotol racun kecil.

Hanya beberapa waktu setengah menenggaknya, Bintang berlutut, terbakar oleh rasa sakit hingga memuntahkan darah.

Napasnya tersekat-sekat, tapi setelah itu dia kembali tenang.

"Lio nyuruh saya ngasih kamu ini." Yogi menyerahkan kantong kecil berisis beberapa stok racun khusus. Itu membunuh orang normal, tapi tidak bagi Bintang yang terbiasa.

Tubuhnya hanya akan sakit. Dan rasa sakit itu memberi dia kewarasan.

"Trika, denger." Yogi memaksa gadis yang sudah seperti adiknya itu untuk mendongak. "Balas dendam enggak harus bikin kamu nyiksa diri sendiri. Saya udah bilang, jangan lampiasin ke diri kamu."

Bintang justru tertawa, meregangkan lehernya tanpa repot-repot menyeka tetesan darah di sudut bibir itu.

"Jangan ngajarin saya soal dendam, Yogi. Itu satu-satunya yang enggak perlu kamu ajarin."

Ketika Bintang beranjak pergi ke kamar mandi, Yogi hanya diam memandangi muntahan darah Bintang.

Ya, inilah efek sampingnya. Bukan efek samping karena dia dipukuli oleh Yogi tujuh tahun atau efek samping karena dia disuruh minum racun hingga terbiasa.

Ini efek samping dari dendam anak itu terhadap segalanya.

*

Terpopuler

Comments

Widhi Labonee

Widhi Labonee

yg hrs d kasihani disini siapa????

2023-07-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!