7.

Tentu saja, Bintang tahu kesombongan Tirta. Kedudukan Bintang di rumah ini lebih tinggi. Ia adalah Nyonya Besar jika nanti Lio menyerahkan kursinya pada Luka. Namun pengaruh Tirta lebih besar.

Bintang cuma istri yang dianggap tikus mati tujuh tahun, sedangkan Tirta mengabdi pada Luka bertahun-tahun sampai rela keluarganya hilang demi Lio dan Luka. Bahkan kalau Bintang menggunakan statusnya sebagai Nyonya Muda, Tirta aman sebab dia di belakang Luka.

Makanya dia percaya diri. Lalu bagaimana cara meruntuhkan kepercayaan diri itu?

"Kamu ngeremehin saya." Bintang mendorong pria itu ke ranjangnya, duduk di perutnya saat dia membeku kaget. "Kamu kira saya bakal hukum kamu pake cambuk? Enggak guna. Hukuman kayak gitu cuma mempan buat orang lemah."

Dia tidak lemah, Bintang akui. Makanya cara menghukum dia adalah menghancurkan mentalnya.

Menghancurkan kesetiaannya.

"Lo ngapain, gila?!" teriak Tirta saat Bintang mengurungnya.

Namun sebelum dia memberontak, Bintang berbisik, "Kalau tulang rusuk saya sakit, berarti kamu berani nyakitin istri bos kamu."

Dia seketika membeku.

Tidak ada yang boleh menyakiti Bintang di kediaman ini, kecuali Lio dan Luka, atau orang-orang yang diizinkan oleh Luka. Alex menyakiti Bintang kemarin namun itu karena ia mau membunuh Luka. Sekarang berbeda.

Jika ada satu saja goresan di tubuh Bintang, maka itu merupakan dosa besar bagi Tirta membiarkannya.

"Anjing besarnya Luka." Bintang meraih dagu pria itu. "Harusnya dia enggak ngasih kamu ke saya."

Hanya sesaat setelah itu, Bintang menciumnya sama seperti Luka mencium Bintang.

Ekspresi Tirta seketika pucat pasi. Dia mau mendorong Bintang dan buru-buru mencuci mulutnya yang berani menyentuh milik Luka, tapi dia sadar itu akan menyakiti tulang rusuk Bintang.

Tidak ada izin. Jika tidak ada izin, apa pun alasannya tidak boleh.

"Kamu udah jadi pengkhianat," bisik Bintang, menertawakannya. "Kalau Luka tau barusan kamu nyium saya, menurut kamu dia bakal seneng?"

"LO YANG DULUAN—"

Bintang menutup mulut itu dengan tangannya. Kini tanpa ekspresi apa pun, beku layaknya patung, Bintang menatap pria menyedihkan itu.

"Kalian anjingnya Luka enggak pernah ngecewain Luka. Jadi kalau dia tau, buat pertama kali, dia bakal ngerasain rasanya dikhianatin sama orang kepercayaannya."

Bintang menekan tangannya, mencengkram sambil terus menutup mulut itu. Cengkraman Bintang kuat. Bahkan Tirta yang seorang pria kuat merasakan sakit.

Detik itu Tirta menyadari bhwa ada alasan kenapa Bintang yang dipilih menjadi istri Luka.

"Sekali lagi kamu bikin saya marah," desis Bintang, "saya bikin kamu pergi sama roh-roh kamu sekalian."

Ketika cengkraman itu lepas, bekas tangan Bintang ada di rahang Tirta. Ekspresi dia sekarang menunjukkan dia sudah cukup mengerti.

Bintang memang tidak maha kuasa hingga dia tidak perlu takut. Tapi setidaknya dia tahu bahwa Bintang itu tidak waras sama seperti Lio, sama seperti Luka.

*

"Luk."

Apa yang Luka harapkan saat transmisi terhubung adalah Tirta meraung-raung seperti biasa, bilang kalau dia malas mengurus Bintang karena dia merepotkan, menyebalkan, dan sangat tidak pantas jadi Nyonya Narendra. Dia sudah mengatakannya ribuan kali sampai Luka hafal.

Tapi apa yang disuguhkan malah ekspresi penat Tirta.

"Lo kenapa?"

"Enggak." Tirta mengalihkan pandangan. "Tri manggil lo."

Tri? Dia menyebut Bintang dengan sebutan Tri? Dia selalu memanggilnya Tikus Lo, Piaraan Lo, Bini Lo, Setan Lo, hal-hal sejenis itu yang bahkan malas Luka tegur.

Tapi Luka juga bingung bagaimana ia mempermasalahkan karena itu bukan masalah, melainkan hanya aneh saja.

"Manggil gue buat?"

"Entah. Dia enggak bilang."

Ada sesuatu yang terjadi. Tirta yang tidak cerewet itu ibarat trompet sangkakala sudah berbunyi. Entah apa yang terjadi, Luka mematikan sambungan setelah berkata, "Gue balik sekarang."

Padahal Luka berniat kabur dari keributan pembuatan danau dadakan itu. Tapi sikap Tirta membuatnya merasa harus kembali.

"Lex."

"Ayay, Kapten." Alex menyahut dengan tangan sibuk memegang konsol game.

"Balik sekarang."

"UWAAAAAT?!" Anak buah kurang ajar itu protes sangat keras. "KITA BARU SEHARI DI SINI, LUK! PLEASE DEH AH!"

Luka mendatanginya, menginjak PS itu hingga Alex menjerit histeris.

"DATA GUEEEE!!!!!!!"

Tanpa rasa bersalah Luka berlalu, masuk ke kamarnya untuk ganti baju, siap pulang. Awas saja kalau Bintang memberinya alasan konyol lagi.

*

Luka langsung melempar luaran pakaiannya pada Alex lepas helikopter mendarat. Karena tak mau mendengar keributan mesin berat yang menggali tanah di depan bangunan, Luka buru-buru melintas menuju tempat Bintang.

Alex yang melihatnya geleng-geleng. "Dasar perjaka," cibir Alex dendam gara-gara gamenya.

Sementara itu, Luka yang tidak peduli pada perasaan Alex memasuki wilayah Bintang. Pelayan terkejut akan kedatangan Luka, berlarian panik tapi Luka mengabaikan mereka.

Kakinya terus melangkah naik, menemukan Bintang sedang duduk santai di kamarnya.

"Kamu telat," ucap perempuan kurang ajar itu.

"Kasih saya alasan enggak banting kamu sekarang, Tri."

Siapa dia seenaknya memanggil-manggil Luka pulang? Setidaknya beri alasan yang cukup memuaskan atau Luka benar-benar membantingnya.

Rusuknya yang retak sudah mulai pulih jadi mungkin dia lupa rasa sakit itu apa.

"Saya kangen?" jawab Bintang tapi dengan sengaja bernada tanya. "Kamu enggak jengukin saya dari kemarin."

Luka menatap dingin perempuan menyebalkan itu. Memang dasar sialan. Dia tidak punya alasan memanggil Luka ternyata.

"Luk." Bintang malah menepuk-nepuk sisi kosong tempat tidurnya, memerintah Luka untuk duduk.

Luka benci diperintah jadi ia menolak. Namun Bintang balas menatap tatapan penolakannya seolah dia menantang siapa yang paling keras kepala.

Saat Bintang menjilat bibirnya seolah itu cuma kebetulan, Luka akhirnya duduk. Memajukan wajahnya untuk ganti menjilati bibir yang sudah menjadi fantasi lukisannya beberapa waktu terakhir.

"Kamu apain Tirta?" tanya Luka di antara kecupan pembukanya. "Kamu mesti tau, Tri, saya enggak bakal narik dia dari tugas ngawasin kamu."

Bintang membuat wajah seakan dia sudah tidak peduli. "Terserah."

Nampaknya dia melampiaskan kekesalan pada Tirta karena tahu tidak bisa melawan Luka. Tapi seharusnya tidak masalah karena Tirta memang terbiasa menjalani tugas berat. Menjaga perempuan ini seharusnya mudah walau melelahkan.

"Lio ngomongin soal gladiresik ke saya." Bintang bersandar pada bantal. "Kamu malah kabur sendirian sementara saya harus dengerin hobi aneh Lio di depan."

"Dan kenapa itu penting buat saya?" balas Luka cuek. Ia tak peduli Bintang mau kesal atau terganggu karena Lio. Bukan urusan Luka.

"Itu urusan kamu." Bintang lagi-lagi menarik kerah pakaian Luka, memaksanya menunduk dan membungkam Luka dengan ciumannya. "Saya itu urusan kamu, Luk, jadi jangan lepas tanggung jawab."

Akh, Luka benci ini.

Luka benci kenyataan bahwa Bintang tahu ia menyimpan ketertarikan. Dia bertindak seolah-olah itu menjadi kelemahan Luka. Seakan dia merasa dia sudah menang dari Luka.

"Kamu enggak tau saya bisa ngancurin kamu kayak gimana, Tri." Luka melepaskan ciuman itu sekaligus beranjak. "Kalau kamu mau ikut, saya enggak sudi bawa pelayan kamu."

"Enggak masalah."

Dia sangat menolak dilayani oleh Tirta kemarin-kemarin tapi sekarang baik-baik saja?

Luka tidak paham isi kepala perempuan ini namun ia merasa harus segera pergi karena suara penggalian di depan membuatnya ingin gila.

*

Kabar Luka akan membawa Bintang pergi jelas terdengar di telinga Lio. Itu seharusnya tidak boleh. Sangat amat tidak boleh seseorang tahu tentang Bintang sampai pernikahannya terjadi.

Tapi apa kata Luka adalah kata Lio.

"Kamu seenggaknya mesti bawa Syarla sama kamu, Luk." Lio bersedekap di dekat pintu kamar Luka, melihat adiknya tengah ganti baju. "Tri itu dulu tau ngurus diri sendiri, tapi tujuh tahun dia dikasih pelayan, kayaknya sekarang udah enggak."

"Ada Tirta," jawab Luka tak peduli.

"Kamu kenapa suka banget nyiksa Tirta sama Alex." Lio menggeleng-gelengkan seolah tak habis pikir akan kelakuan bocah adiknya. "Kamu tetep harus gladiresik jadi enggak ada alesan, oke, Luk?"

"Berisik."

Lio terkekeh. Datang mendekat untuk bantu memasangkan dasi di leher Luka. Dia memang sejak dulu payah memasang dasi sendiri.

"Inget satu hal, Luk," kata Lio pelan namun sangat serius, "dunia ini punya kamu."

Luka hanya diam.

"Narendra bakal jadi yang punya dunia. Detik Narendra ada, sampai ratusan atau bahkan ribuan tahun. Gimanapun caranya, aku bakal bikin Narendra, kamu, terus ada."

Lio tersenyum menatap adik kecilnya yang kini sudah tak bisa tersenyum lagi. Dia kehilangan senyumnya sejak Lio melempar kepala orang tua mereka ke kaki Luka.

Namun meski begitu, Lio tetap melakukan hal ini demi Luka.

Segalanya.

"Enggak ada yang boleh liat Tri," bisik Lio hanya untuknya. "Enggak boleh satupun, Luk. Kalau sampe ada, dia bakal hilang dari tangan kamu."

*

Bantu author ngembangin karya dengan dukungan kalian, yah ☺

Dan buka juga karya-karya Candradimuka lainnya, terima kasih 🙏🙏

Terpopuler

Comments

Widhi Labonee

Widhi Labonee

omegaaaatttt.....

2023-07-09

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!