Tangan Langit langsung berhenti. Dia menggigil menahan ringisan sakit. Tama sangat mengerti orang yang biasanya sangat tenang ini menjadi gelisah. Tujuh tahun bukan waktu sebentar dia bermimpi buruk siang malam karena adiknya.
Dia mau Bintang kembali sekarang juga sebab dia sudah lelah.
"Sori." Langit menghapus kembali ketikan kalapnya, menarik napas sebelum dia sepenuhnya mengendalikan diri. "Sori, Ma."
Tama menarik kembali keyboardnya karena yang tepat menghadapi badjingan Sena cuma dirinya.
Nara Pratama :
Gue baru boker mendadak pengen lagi
gara-gara liat notifikasi lo, njir.
Sena Sadawira :
Loh, loh, Junior harusnya lebih sopan ke Senior 😙
Tapi okelah karena otak lo cuma sebesar biji delima😏
Gue ada hadiah buat Langit😘
Foto demi foto masuk ke komputer Tama, terpajang di layar raksasa itu. Langit kembali dibuat sesak napas saat foto Bintang di usia dua belas tahun, di usia dia menghilang, kini datang beruntung.
Baju abu-abu lusuh yang Bintang pakai itu, Langit ingat adalah baju di hari terakhir dirinya melihat Bintang. Di hari adiknya secara misterius pergi entah ke mana dan polisi menyerah mencarinya setelah bertahun-tahun.
Sena Sadawira :
Bocah lusuh korban kekerasan bokapnya yang fanatik🙄
Kalo gue liat lagi, dia dulu kayak pengemis yah🤔
Lalu foto baru datang, sosok Bintang yang duduk di meja makan mewah, memakai pakaian mewah, menatap tajam ke arah seseorang, sementara Yogi, tangan kanan Lio Narendra berdiri di belakang kursinya seolah dia adalah pengawalnya.
Sena Sadawira :
Sekarang udah kayak gini😌
Duit emang ngubah segalanya🙉
Tama melirik Langit yang pucat tanpa henti memandangi adiknya. Lalu Tama membalas Sena.
Nara Pratama :
Kalian ternyata punya hobi nyulik anak orang.
Gue enggak ngarep setan jadi suci,
tapi bisa-bisanya lo ngambil anak di bawah umur
buat jadi budak.
Lo kira ini jaman baheula?
Sena Sadawira :
Bilang itu ke Lio, bukan gue🙄
Oalah, baru inget 😯
Enggak berani yah
Genta mengepal tangannya kuat-kuat. "Lo kira bocah SMP pake stiker mulu, njir?!"
Tama menghela napas. "Ini setan emang sengaja. Kalo lo ladenin malah makin enggak ada abisnya."
Langit tiba-tiba menoleh. Ekspresinya yang tadi begitu emosional kini hanya tersisa ketenangan. Tapi itu bukan pertanda dia benar-benar tenang.
"Sena pasti punya tujuan ngirim ini," gumam Langit.
Benar. Walau setengahnya dia mau meledek, setengahnya lagi pasti punya maksud.
Nara Pratama :
What's the deal?
Sena Sadawira :
Anak kecil suka enggak sabar yah🥴
Tapi okelah soalnya gue orang dewasa 😮💨
Tujuh bulan dari sekarang Bintang Abkariza bakal resmi mati✌
Semua orang cuma bakal tau soal Trika Narendra, istri Luka Narendra, ahli waris satu-satunya Narendra 👰👸
Langit Abkariz
Are you ready? 👋
Ah, enggak 👻
Keluarga lo, semuanya, udah siap? 👍
Ratu Iblis udah hampir turun dari neraka buat kalian 😈
Langit menggeleng. Terus dan terus menggeleng sekalipun Sena mengirimi mereka stiker hantu tertawa terbahak-bahak.
Tidak akan ia biarkan. Tidak akan. Tujuh tahun sudah lebih dari cukup. Adiknya pasti akan Langit bawa kembali. Bukan pada keluarga yang menghancurkan dia dan membuatnya pergi, bukan juga pada sesuatu yang Bintang benci.
Aku udah bilang bakal bikin dunia buat kamu, Bin. Langit mengulurkan tangan, membelai layar di mana foto Bintang seperti tengah menatapnya tajam.
Aku di sini, bisik Langit, berharap dia mendengarnya di sana.
Aku di sini buat kamu. Enggak ada lagi yang bakal nyakitin kamu. Aku ada, aku bawa kamu pergi dari semua orang yang bikin kamu gila.
Aku di sini.
*
Luka dan Bintang akhirnya siap menjalani gladi resik mereka setelah berulang kali tertunda. Walau mereka hanya bisa menggunakan lantai bawah tanah rumah kecil itu, Rina secara langsung datang untuk mengawasi prosesi.
Sepanjang waktu, Luka dan Bintang sama-sama memasang wajah malas.
"Untuk ukuran orang yang tidur satu kamar tanpa dipaksa," Rina mengamati wajah mereka berdua, "kalian tahu ekspresi kalian seperti menikah karena terpaksa?"
Bintang mendengkus terang-terangan. "Kamu sama Lio enggak pake ritual buat nikah, terus kenapa saya sama Luka harus pake?"
"Ini bukan ritual pernikahan, Trika, ini ritual peresmian."
"Apa pun namanya, intinya enggak penting."
Rina menghela napas. "Saya dan Tuan Besar sekarang itu tidak terhitung generasi Narendra. Kami pembentuk, kalian generasi pembuka, anak kalian generasi pertama. Tugas saya dan Lio itu membuat peraturan, kalian yang eksekusi. Mengerti, Adik Ipar?"
Walau sudah menjelaskan, Bintang pada akhirnya berpaling malas. "Saya haus," katanya berlalu pergi menuju meja di sudut ruangan berisi air dan camilan segar.
Rina geleng-geleng melihat kelakuan istri Luka itu. Matanya kemudian menatap Luka, justru menemukan pria itu tengah memerhatikan langkah Bintang.
"Kalian sudah berhubungan?" tanya Rina terang-terangan.
Luka langsung berpaling. "Penting?"
"Bisa dibilang. Jauh lebih baik Trika tidak hamil sebelum peresmian. Gaunnya tidak cocok untuk perempuan hamil enam tujuh bulan."
Luka mendengkus persis sama seperti Bintang tadi.
"Kamu selalu protes pada keputusan kakakmu, Luk, tapi pada akhirnya sadar Lio mengambil keputusan terbaik."
"Kenapa?" Luka balik bertanya. "Buat apa Lio masih main-main sama Tri? Biarin Mahesa dateng ngoceh soal masa lalunya. Emang kenapa?"
"Masa lalu Trika tidak penting untuk kamu, sama sekali." Rina tersenyum. "Tapi itu mungkin akan membuat kamu marah atau ... sakit hati, jadi kusarankan tidak perlu mencari tahu."
"Tri mainan gue, Rin. Terserah gue mau tau soal apa tentang dia."
"Mainan? Dia?" Rina menatap lekat mata Luka dan sekali lagi tersenyum. "Aku yang mainan untuk kakakmu, Luk, jadi aku tahu matamu bukan mata seseorang melihat mainan."
Padahal seharusnya Luka tidak perlu terkejut, namun nyatanya Luka terkejut. Seolah-olah ia mendengar hal tidak masuk akal, Luka terguncang dan tak bisa menerimanya.
Jelas dia cuma mainan. Wajar kalau Luka suka memeluk mainannya kan? Apa Rina berpendapat tidak masuk akal cuma karena Luka mencium dia lembut? Itu karena ciuman kasar tidak selalu enak dinikmati.
Sisanya tidak ada. Luka bahkan masih bisa membanting dia sekarang, membuat dia patah tulang, atau bahkan mencabut salah satu matanya kalau ia mau.
"Kamu yang mainan, Luk."
Luka mematung.
Hah? Apa yang baru saja dikatakan istri kakaknya ini? Apa dia baru saja menghina Luka karena dia merasa dia kakak ipar?
"Lo mau mati, Rin?" Tatapan Luka mendadak sangat tajam.
Tapi Rina justru tersenyum, mengulurkan tangan ke wajahnya. "Lio menyiksa Trika karena dia menganggap kamu mainan. Lio mau Trika tahu siapa yang harus bertingkah jadi mainan. Bukankah dari awal begitu? Lio hanya melakukan sesuatu untuk satu-satunya orang yang dia cintai di dunia, kamu. Adik kecilnya."
Luka kembali mematung saat Rina melangkah pergi ke tempat Bintang beristirahat.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments