Bintang yang tadi marah mendadak tertunduk gelap. Luka mengamati pelan-pelan wajah Bintang menjadi sangat dingin, nyaris seperti kemarin.
Sempat Luka pikir dia kembali mengalami efek samping, tapi Bintang ternyata masih cukup sadar. Dia justru berkata, "Saya capek. Ayo naik."
Luka berpikir beberapa saat. Ia ingin tahu segala omong kosong tadi. Lalu siapa Langit dan kenapa saat mendengar nama itu, Bintang terlihat sangat rapuh?
Namun setelah berpikir, Luka sadar itu percuma bertanya. Mau tak mau ia harus bersabar memahami segalanya.
Maka Luka beranjak, setuju untuk naik. Baru saja ia mau berjalan, Bintang memegang tangannya tanpa beranjak.
Luka mengerutkan kening bingung sebelum akhirnya paham. Tangannya terulur, mengangkat Bintang ke gendongannya dan berlalu naik.
"Lo berdua balik kerja," kata Luka tanpa menoleh pada anak buahnya. "Kamu juga boleh pulang," lanjutnya pada Yogi.
Pergi dan tinggalkan rumah ini sebentar, setidaknya agar mereka bisa beristirahat tenang.
Luka mendorong pintu kamarnya alih-alih kamar Bintang, meletakkan perempuan itu di kasur. Dia langsung terpejam dan Luka menyusul terpejam memeluknya.
Entah kenapa Luka suka memeluk gadis ini sekarang.
*
Walau Bintang terpejam, Luka tahu dia tak tertidur. Jemari tangan gadis itu gemetar secara samar. Luka sentuh dan genggam hingga sadar bahwa dia menelan racun setidaknya satu jam yang lalu.
"Siapa yang ngasih kamu izin minum racun?" Luka bergumam di bahunya.
Namun Bintang tak menjawab, justru balas menggenggam tangan Luka. Reaksi racun di tubuh Bintang sudah akrab bagi Luka, karena ia dan Lio juga melakukan hal sama dulu. Secara bertahap mereka mengonsumsi racun untuk pelan-pelan menaikkan resistensi.
Dan Bintang sekarang menunjukkan reaksi kalau dia minum racun agak terlalu kuat dari dosis biasanya.
"Kenapa kamu dateng, Tri?" Luka akhirnya memuntahkan pertanyaan itu. "Kenapa kamu dateng ke Narendra?"
Kenapa dia mau menjadi Trika dan berhenti menjadi Bintang? Kenapa dia rela melakukan hal konyol ini demi menjadi istri Luka?
"Kamu butuh uang?" Luka tak tahu kenapa lengannya semakin mendekap Bintang, menarik punggungnya menempel pada dada Luka. "Kamu tertarik jadi Narendra karena Narendra kaya? Itu tujuan kamu?"
"...."
"Kalo saya kasih kamu uang yang cukup buat kamu hidup enak sampai tua, kamu mau berenti jadi Trika?"
"...." Bintang menoleh. "Kamu terlalu terang-terangan peduli sama saya sekarang, Tuan Muda."
"Saya serius." Luka menuntun dia berbalik agar sepenuhnya menatap Luka. Ditatap baik-baik wajah ketus perempuan itu, wajah yang sangat ingin ia hancurkan tapi bukan karena kebencian lagi.
Luka tak tahu perasaan apa sebenarnya yang bersarang di hatinya sekarang.
"Kalo cuma soal uang, kamu enggak perlu jadi Trika."
Bintang justru mendekatkan wajahnya pada rahang Luka, memeluk bahunya seolah-olah dia perlu bernapas di sana.
Luka balas memeluknya.
"Lio pernah bilang saya sama kamu terikat benang merah," kata Bintang. "Sebenernya dari mana dia tau?"
Entahlah. Luka bahkan tidak pernah tahu apa yang Lio pikirkan sebenarnya. Lio sudah mempersiapkan pemberontakannya pada Yasa di usia dia yang ke sepuluh tahun. Di usia itu, sebenarnya siapa yang percaya bahwa Lio bisa melawan keluarga sebesar Yasa? Walau itu cuma keluarga dengan uang segunung tapi berotak kosong, tetap saja itu keluarga besar.
Tapi nyatanya di usia tujuh belas tahun dia berhasil. Dia membunuh semuanya dan lepas dari hukum, menguasai seluruh kekayaan Yasa bahkan pengikut Yasa. Lio mungkin terlihat konyol dan suka bicara omong kosong, tapi dia tidak pernah melenceng dari keinginannya.
Termasuk soal Luka dan Bintang.
Dua orang yang saling memeluk itu masing-masing telah sadar bahwa mereka memang terikat benang merah. Bukan karena mereka telah saling mencintai, tapi mereka sadar tidak akan pernah sempurna tanpa satu sama lain.
"Luk."
Panggilan lemah itu Luka respons. Datang mencium bibirnya.
"Kamu siapa?" Luka menekan Bintang padanya hingga kening mereka bersentuhan. "Kamu siapa, Tri? Kamu mau apa?"
Bintang tak menjawab Luka tapi kembali terpejam dan tidak lagi membuka matanya untuk beberapa jam kedepan.
*
"Enggak ada tanda-tanda Bintang keluar Narendra." Tama akhirnya bicara setelah beberapa hari mereka memantau CCTV terdekat dari Rumah Hitam Narendra. "Terakhir cuma Mahesa Mahardika yang dateng, keluar sendiri, dan sekarang sibuk ngurusin bisnis kafenya."
Dengan kata lain tidak ada petunjuk mengenai Bintang kecuali dia mungkin, mungkin saja, bertemu Mahesa Mahardika.
"Kenapa Mahardika dateng ketemu Luka?" celetuk Genta yang nampak seperti zombie lantaran ikut mengawasi juga. "Bukannya Luka enggak pernah ikut campur sama bisnis keluarganya? Orang kayak Mahardika ngapain ketemu anak manja?"
"I had no idea," desah Tama penat.
Mereka begadang, berpikir, berpikir dan terus berpikir sampai otaknya berasap. "Tapi intinya Mahesa Mahardika enggak mungkin dateng ke sana tanpa alasan. Entah apa, tapinya."
"Kalo gitu kita enggak bisa minta informasi ke organisasinya Mahesa? Nanyain kasus yang enggak selesai sama polisi ke organisasi belakang layar harusnya masih wajar, kan?"
"Itu ngumumin kalo lo tau Bintang ada di Narendra," tolak Tama seketika. "Lio Narendra bahkan ngabisin keluarga orang-orang yang ngikutin dia sekarang. Kalo dia sampe keganggu karena kita kepo soal ceweknya Luka, menurut lo kita semua bisa idup?"
"Itu Bintang." Langit menatap tajam pada Tama. "Itu Bintang, Ma, bukan ceweknya Luka."
Nampaknya kewarasan Langit juga sudah mulai hilang. Dia yang biasanya sangat tenang, kalem dan penuh senyum kini terlihat seperti siap mati karena lelah.
Atau mungkin rasa bersalah.
"Bin." Langit berpaling pada tablet yang sekian hari dia pandangi, pada wajah adiknya yang telah lama menghilang. "Aku di sini," bisiknya seolah Bintang bisa dengar. "Aku di sini. Pulang, Dek."
Genta dam Tama sama-sama berpandangan sebelum menghela napas pasrah.
Pada titik keputusasaan itu, mendadak notifikasi masuk ke komputer utama Tama. Pria itu spontan mengumpat, "Anjing!"
Genta dan Langit jelas langsung berpaling. Melihat tangan Tama menari lincah di atas keyboard, lalu mendadak layar raksasa di belakang semua komputer langsung menyala.
Langit dan Genta ikut melihatnya. Itu adalah pesan dari Sena Sadawira, informan seperti Tama namun dari kelas yang sepenuhnya berbeda. Dia disebut-sebut sebagai salah satu informan terbaik negara ini.
Pria itu mengirim pesan aneh.
Sena Sadawira :
Olla, 👻👻👻
Tama berdecak. "Dia tau kita ngawasin," ucapnya memperjelas walau mungkin Langit dan Genta sudah paham.
Satu-satunya alasan kenapa si Setan ini menghubungi ya karena dia tahu bahwa Tama dan Langit sedang memantau Narendra, memantau Bintang.
"Tapi itu juga mastiin kalo Bintang beneran di sana." Langit menarik keyboard Tama, kalap membalas pesan Sena.
Sebelum dia mengirim, Tama buru-buru memperingati.
"Lo tau lawan lo Narendra sama Mahesa kan, Lang? Gimana kalau bukan lo yang kena tapi Bintang?"
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments