Bab 16 Akan berbagi kebahagiaan

Manda dan Arash duduk di sofa dengan wajah datar. Di hadapan mereka Aileen dan Jovanka juga turut duduk.

Wajah Jovanka tertunduk.

Berhadapan dengan salah satu orang terkaya membuatnya kikuk. Memang benar ucapannya dulu, menghadapi keluarga Erlangga tidak semudah menghadapi kliennya yang banyak tingkah. Darah Erlangga memang berbeda. Bahkan diam mereka sanggup membuat tubuhnya menggigil seperti berada di kutub utara.

Di samping Jovanka yang gugup, Aileen malah santai. Menyilangkan kaki dan tangan. Mencoba menahan seringai penuh kemenangan. Padahal seyakin Jovanka, mereka sudah pasti kalah dalam perang ini.

"Jovanka Derendra?" Arash dengan suara yang dalam berhasil menggelitik telinga Jovanka.

Jovanka menegapkan badan.

Merilekskan bahu yang terus tegang selama beberapa saat belakangan. "Ya, Pak?"

Arash tidak menjawab. Tatapannya beralih pada sang anak. Mengernyit hebal ketika menyadari pakaian yang dipakai Aileen. Setelah menghela napas panjang, dia pun berkata, "Ganti baju kamu, Aileen. Pakai baju yang lebih pantas. Kita kedatangan tamu." Dia kembali melirik Jovanka sekilas.

Jovanka sedikit bersemu. Berterima kasih dalam hati karena Arash bersedia menganggapnya tamu ketimbang pengganggu. "Nggak pa-pa, Pak. Saya sudah biasa melihat Aileen yang seperti ini."

"Dan kamu nggak risi?" Manda menimpali.

Jovanka meringis sambil tersenyum lembut. Risi? Jelas tidak, atau belum.

Sejauh ini dia bisa berdamai dengan pakaian Aileen. Lagipula apa pun modelnya tidak menjadi masalah untuk Jovanka. Setiap orang punya style dalam berpakaian. Tentu tidak baik mengomentari gaya berpakaian orang lain, kan. Apalagi sampai melarangnya memakai apa yang dia suka.

"Oke, kembali ke permasalahan utama." Arash mencondongkan badan. Kedua tangannya saling bertautan. Matanya yang tajam dan sadis berkilat di bawah alis yang tebal. "Jadi benar kalau kalian saling mencintai?"

Jovanka dan Aileen mengangguk bersamaan. Tidak terlalu sulit berakting menjadi dua sejoli yang sedang dimabuk cinta. Yang sulit adalah meyakinkan duw orang dewasa di hadapan mereka kalau saat ini mereka tidak sedang melakukan pementasan drama.

"Iya, Pa. Dan aku ingin menikah dengannya," akui Aileen tanpa ragu.

Manda berdeham nyaring, membuat Aileen dan Jovanka tersentak. Jika tatapannya berganti menjadi pisau, dua muda-mudi di hadapannya ini sudah berhasil dikuliti sampai bersih.

"Jangan main-main dengan pernikahan, Aileen." Suara Manda terdengar penuh ancaman.

"Aku nggak akan main-main, Nek."

Tapi nenek sendirilah yang main-main, sambung Aileen dalam hati.

"Kamu...." Manda menggantung kalimatnya. Mengernyitkan alis sebelum menggeleng pelan, seolah kehilangan kata-kata. "Kamu terlalu mendadak," ujarnya setelah lama terdiam. "Terkesan dibuat-buat."

"Apa yang dibuat-buat, Nek? Lagian, apanya yang mendadak? Sama seperti Nenek yang mengatakan aku harus menikah dengan om Haykal kala itu. Itu lebih mendadak." Walaupun menunduk, Aileen masih terlihat tegar di hadapan dua orang tua itu.

"Jangan bilang kalau laki-laki ini hanya orang bayaran agar kamu nggak menikah dengan Haykal," tebak Manda yang seratus persen benar.

Sialnya, wanita tua itu berhadapan dengan cucu yang tangguh. Aileen bukan gadis yang akan mengaku secepat itu. Dia penuh tipu muslihat. Pandai menyembunyikan apa pun di balik wajah datar dan tatapan mata angkuh itu.

"Kami saling mencintai, Nek. Bagian mananya yang Nenek nggak mengerti?"

"Tahu apa kamu tentang cinta?"

"Terus, Nenek sendiri tahu apa itu cinta?"

"Aileen." Manda mempelototi cucu tunggalnya. Menyuruh Aileen untuk tidak memperkeruh keadaan.

"Kita buat singkat aja, ya." Aileen menegapkan badannya. "Mas Jovanka habis ini mau kerja lagi. Dia sibuk di perusahaannya. Untungnya dia mau meluangkan waktu untuk bertemu kalian. Jadi, nggak usah banyak basa-basi.. Langsung intinya aja. Aku mau menikah dengan mas Jovanka. Udah itu aja."

Perempuan itu menatap Manda dan Arash bergantian. Dan dia tersenyum penuh kemenangan ke arah Manda. Sebelah alisnya naik begitu juga dengan satu sudut bibirnya.

"ayah dan nenek nggak bisa semudah itu mengiyakan keinginan kamu, Aileen." Arash bicara dengan penuh wibawa. Aileen jijik mendengarnya. Tidak terbiasa. Karena yang sering kali dia dengar saat mereka berkumpul adalah suara gelak tawa Arash di tengah acara mengutak-atik ponsel pintarnya.

"Perlu digaris bawahi di sini. Aku nggak minta restu kalian. Aku cuma bilang kalau aku dan mas Jovanka akan menikah. Lagipula, kenapa sulit memberikan restu pada kami?" tantang perempuan cantik itu. "ayah bahkan suka-suka aja ketika nenek mau menikahkanku dengan om Haykal."

"Om Hayjal itu lain lagi ceritanya, Sayang," ujar Arash lembut.

Tubuh Aileen bergidik. Panggilan sayang dari Arash bagai nyamuk yang memasuki telinganya. Berdenging dan membuat tidak nyaman.

Aileen rindu sekali panggilan itu. Rasanya Arash tidak pernah mengucapkan kata "sayang" padanya.

Omong kosong dengan itu semua!

Aileen mengutuk dalam hati. Dia baru sadar kalau keluarga Erlangga pandai memakai topeng, Membuatnya semakin muak.

"Ceritanya akan sama aja, ayahku sayang." Perempuan cantik itu menekankan kata sayang, mengejek ayahnya. "Toh, intinya aku tetap menikah. Meskipun bukan dengan om Haykal."

"Tapi Ay-"

"Bukannya ini yang kalian inginkan?!" Aileen memotong ucapan Arash dengan intonasi tinggi. "Kalian mau aku diurus oleh suamiku karena kalian sudah nggak sanggup menghadapi sikapku!"

"Aileen! Jaga mulut kamu!" Manda angkat bicara. Merasa tidak nyaman dengan penuturan cucunya di tengah-tengah keberadaan orang asing." Jangan malu-maluin keluarga Erlangga!"

Aileen tersenyum getir. "Oh? Kapan aku pernah tidak membuat malu keluarga Erlangga? Semua yang kulakukan selalu saja membuat kalian kecewa, kan?"

"Kalian nggak sadar apa kalau yang bikin malu itu adalah kalian sendiri?" Dia menghela napas panjang beberapa kali sebelum kembali berkata, "Pokoknya, aku nggak mau tahu. Kalau kalian nggak mengizinkan kami menikah, aku nggak akan menikah selamanya. Titik!" Manda dan Arash serentak menghempaskan punggung ke sandaran sofa. Menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan gusar.

"Kamu barbar banget sih." Jovanka berbisik super lirih tepat di telinga Aileen.“ Nggak boleh kayak gitu sama orang tua. Menghadapi orang tua itu harus sabar."

"Sabar?" Aileen hampir tergelak. “Kamu nggak lihat gimana sikap mereka? Gimana aku bisa sabar, coba?"

Jovanka mengedik. Sikap temperamen Aileen dengan sikap keras kepala nenek dan ayahnya adalah perpaduan sempurna untuk membuat rumah porak-poranda, pikir Jovanka.

Dulu, dia sering iri dengan teman-temannya yang kaya. Hidup mereka pasti mudah dan menyenangkan. Apa yang diinginkan akan terpampang di depan mata tanpa harus berusaha untuk mendapatkannya.

Tapi, ketika dewasa dia baru menyadari kalau kehidupannya yang sederhana jauh lebih indah dari kehidupan teman-temannya yang kaya.

Dan melihat Aileen semakin membuatnya bersyukur dengan keadaannya. Setidaknya, dia masih bisa tersenyum tanpa beban. Masih mendapat perhatian dan kasih sayang dari keluarganya secara tulus.

Jovanka tersentak ketika mendengar Manda mendengkus. Dia menatap dua orang dewasa di seberangnya. Mereka masih diam sambil menundukkan kepala. Seolah sedang berpikir keras dan Jovanka sangat penasaran tentang apa.

"Mereka memang kayak gitu," ujar Aileen masih berbisik. "Mereka akan diam beberapa puluh menit untuk memikirkan keuntungan dan kerugian atas keputusan yang akan mereka ambil."

"Haruskah aku memberi waktu berpikir?" usul Jovanka yang dijawab gelengan kepala oleh Aileen.

"Bodo amatlah! Kamu jangan ikut campur! Tugas kamu cuma duduk diam. Kalau ditanya baru kamu jawab!" Aileen turut berbisik selirih mungkin.

"Atmosfernya nggak enak." Laki-laki itu mengusap lengannnya tanda tak nyaman.

"Memang begini setiap hari."

Alis Jovanka berkerut. Salut pada Aileen yang sanggup hidup di bawah atmosfer tidak bersahabat selama ini. Tidak heran memang kalau Aileen terlihat seperti tidak punya kasih sayang di wajahnya. Sepersekian detik Jovanka merasa iba. Terbesit di pikirannya ingin berbagi sedikit kebahagiaan pada perempuan ini.

Tanpa sadar tangannya terulur. Merapikan helaian rambut cokelat Aileen yang kusut. Aileen tersentak. Memundurkan badan, tapi Jovanka menahan lengannya dan tetap melalukan kegiatannya, menyisir rambut Aileen dengan jari.

"Aku janji akan membagi kebahagiaanku ke kamu, Aileen."

Bersambung.....

Terpopuler

Comments

Rahma Putri

Rahma Putri

lanjut thorr

2024-03-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!