"Gila... gila!" Jessie membanting rokoknya ke lantai loteng kampus. "Nenek lo memang sudah gila, Ay!"
Aileen menghela napas panjang. Perasaan jengkelnya terhadap Manda sedikit terangkat berkat keberadaan Jessie. Dengan gadis bergigi kelinci itu, Aileen menumpahkan segala keluh-kesahnya. Bersama-sama Jessie, dia menyumpahi Manda dan ayahnya.
Gadis berambut cokelat itu sangat sadar menyumpahi orang tua bukan perbuatan terpuji. Tapi mau bagaimana lagi? Dia terlanjur sakit hati. Salah satu cara meredakan perih hatinya adalah dengan cara menyumpahi mereka. Sampai puas.
"Terus, Lo mau ke mana setelah ini?" Jessie kembali menyalakan sebatang rokok yang baru. Perempuan itu kembali menyandarkan punggungnya di tembok loteng. Menunggu jawaban Aileen yang sedang melamun.
"Pulang."jawab Aileen setelah beberapa saat terdiam.
"Hah?!" Jessie terlonjak. "Lo mau pulang? Setelah apa yang nenek lo katakan pagi tadi, tetap mau pulang?!" Dia tidak habis pikir. "Kalau gue jadi Lo, gue nggak akan pulang, Ay! Gue bakalan pergi jauh. Nggak ada penyesalan meninggalkan keluarga seperti itu. Ditambah lagi, Lo punya black card di tangan. Apa aja bisa lo dapatkan dengan benda itu."
Aileen tersenyum tipis. "Memakai black card ini hanya akan membuat nenek gue merasa di atas angin, Jess. Seolah gue menunjukkan ke dia kalau gue memang nggak bisa hidup tanpa uang Erlangga. Dan sialnya, gue memang bergantung dengan uang itu."
"Kalau gitu, Lo tinggal aja di rumah gue!" Jessie berseru antusias. "Gue nggak keberatan menampung Lo."
"Gue pasti akan diseret paksa oleh anak buah nenek atau ayah."
Jessie tersentak karena baru sadar fakta itu. "Kalau Lo pulang, artinya Lo setuju menikah dengan om Haykal?"
Aileen mengusap wajahnya yang kusut sambil mengerang tertahan. Hidupnya baik-baik saja sebelum kata "menikah" terucap dari bibir Manda. Mengusiknya sejak beberapa hari terakhir, sampai sekarang.
Entah dengan cara bagaimana dia meyakinkan Manda kalau dia tidak mau menikah. Belum siap adalah alasan pertamanya, mungkin, selamanya dia memang tidak akan siap menikah. Kalau memang tujuan Manda menikahkannya hanyalah untuk membuatnya menjadi gadis "normal", sepertinya tidak perlu repot-repot begitu. Dia yakin bisa berubah dengan caranya sendiri. Lagipula, apa yang harus diubah dari dirinya? Dia tidak merasa terlalu nakal sampai harus kembali menjadi gadis normal.
"Btw, Ay." Tepukan Jessie di bahu membuat Aileen sedikit tersentak. "Ceritain tentang kejadian waktu di kelab malam itu dong. Yang Lo ngejar cowok kalem itu."
Sejenak, Aileen berpikir. Mencoba mengingat-ingat kejadian yang dimaksud Jessie. Untung saja kenangan malam itu cepat melintas di kepalanya.
"Gue langsung ngajakin dia nikah," ujar Aileen tanpa tedeng aling-aling. Dia lalu menceritakan kronologi kejadian di teras kelab tanpa ada yang terlupa.
Jessie mendengarkan dengan telinga dibuka lebar dan sesekali mulutnya mengeluarkan umpatan. "Lo memang gila, Ay!" ucap Jessie ketika Aileen menutup kisahnya. Perempuan itu menatap Aileen sambil nyengir sebelum menepuk pundak teman dekatnya itu dengan kencang. "Nggak ada otaknya, tahu nggak!"
Aileen balas dengan tersenyum getir.
Dia mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskannya dengan cepat. Asapnya langsung hilang ditiup angin sepoi-sepoi. "Gue nggak punya pilihan lain, Jess," akui Aileen lirih.
"Kalau gue jadi Jovanka, gue sudah menelepon rumah sakit jiwa, Ay! Kegilaan Lo nggak ada obat!" sungut Jessie. Dia menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kelakuan Aileen di kelab, beberapa hari yang lalu.
"Dari semua cowok di kelab, kenapa harus dia, sih?" Jessie menatap Aileen penuh rasa curiga. "Jangan-jangan Lo jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia?" tuduhnya.
Perempuan tinggi semampai di hadapan Jessie itu langsung tersedak.
"Jangan sembarangan Lo!" Aileen menoyor pelan kepala temannya sebelum berkata, " Cewek kayak gue mana tahu apa itu cinta, Jess."
Jujur, Aileen tidak tahu apa arti cinta. Dia pernah merasakan cinta oleh kedua orang tuanya. Namun, semua berubah ketika sang mama meninggal saat kecelakaan. Bahkan sampai sekarang sang ayah masih membencinya.
Mereka berkumpul hanya saat di meja makan. Tapi, tidak pernah terlibat percakapan hangat.
Yang ada hanya gerutuan keluar dari mulut nenek Aileen. Mengeluhkan sikap cucu semata wayangnya yang sering dipanggil guru BK saat sekolah dulu. Nilai ulangan maupun raportnya tidak pernah membuat bangga. Prestasinya juga tidak ada bagus-bagusnya.
Pernah suatu ketika Arash berkata menyesal punya anak seperti Aileen. Sumpah, Aileen ingin bunuh diri saat itu. Sejak awal ibunya meninggal keberadaannya di keluarga memang tidak diinginkan. Tidak dianggap ada.
Wajarkan kalau Aileen tidak tahu apa itu cinta karena dia tidak pernah lagi merasakannya dari ayahnya sendiri.
Aileen sudah lama ingin pergi dari keluarga itu. Pernah satu kali mencobanya, saat dia kelas dua SMA. Kala itu dia mengambil black card sang nenek. Bermaksud hidup sendiri dengan uang yang ada di dalamnya. Sayang, baru sampai di sebuah hotel bintang lima Aileen sudah diseret pulang oleh dua laki-laki garang. Saat sampai di rumah, Manda memarahinya habis-habisan. Dia bahkan dikurung di kamar selama dua hari.
"Susah banget ya jadi orang kaya seperti Lo."
Aileen menunduk dalam. Ada kesedihan yang pekat di pelupuk matanya. Tapi kesedihan itu hanya menjadi endapan tebal tanpa bisa diubah menjadi air mata.
Dia memang tidak pernah menangis lagi sejak belasan tahun terakhir. Trauma.
masa kecil menghantuinya sampai sekarang, Bayangan Arash memukulnya supaya dia tidak menangis walaupun sudah dibujuk untuk berhenti.
"Gue iri sama Lo, Jess. Lo punya orang tua yang selalu ada buat Lo. Mereka mau mendengarkan keluh kesah Lo. Mereka peduli sama Lo. Nggak kayak gue." Aileen tertawa miris. "Anak yang nggak dianggap."
Aileen berdiri. Meregangkan sendi-sendi yang terasa kaku. Terlalu lama duduk di bangku tua di loteng kampus membuat pinggangnya ngilu. Dia menggeliat. Rasanya nyaman sekali saat tulang-tulangnya berbunyi. Seolah kembali ke tempatnya semula.
Sembari membenarkan letak rambutnya yang berantakan karena ditiup angin, dia mengedarkan pandangannya ke lapangan voli. Lapangan itu terletak di samping bangunan tempat mereka berada.. Tampak lengang di sana. Tidak ada yang spesial sampai sebuah besar dengan kecepatan berbelok tajam. Debu jalan beterbangan karena bergesekan dengan bannya.
Mobil itu berhenti tepat di samping lapangan voli. Empat laki-laki bertubuh besar dan berambut klimis turun dari sana. Mereka langsung menengadah. Bertemu tatap dengan Aileen. Menyadari siapa empat laki-laki itu membuat Aileen menyumpah pelan.
Jika Manda sudah mengirim anak buah untuk menjemputnya, itu artinya dia harus pulang detik itu juga. Setelah mengisap dalam-dalam rokoknya lalu membuang puntungnya ke lantai, Aileen pamit pada Jessie.
"Gue pulang, ya. Sudah dijemput tuh." Dia menunjuk ke bawah. Tempat di mana keempat orang suruhan neneknya berdiri.
"Astaga...," lirih Jessie ketika tahu apa maksud "Susah memang jadi cucu tunggal keluarga Erlangga." Dia tertawa setelahnya. Ucapannya tadi hanya untuk menghibur Aileen. Kasihan melihat hidup gadis satu itu.
"Gue pengin banget membantu Lo, Ay." Jessie menahan lengan Aileen ketika perempuan itu meraih tasnya.
"Bantu doa aja, Jess."
"Amiin. Apa perlu gue cariin cowok lo?"
Ide bagus. Tapi sayangnya Aileen tidak tertarik dengan tawaran Jessie. Entah kenapa dia masih berharap Jovanka menerima tawarannya. Di antara laki-laki yang mencoba mendekatinya, Aileen malah memilih laki-laki lain. Yang bahkan tidak mengenal Aileen sama sekali.
"Gue carikan, ya?" tawar Jessie sekali lagi.
"Nggak usah. Hati gue stuck sama si Jovanka itu. Nggak mau yang lain."
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Rama Shandiva
arash ... arash...
17 thn menantikan ank dr karmila tapi g kunjung tb.. setelah dpt ank dr hilda koq malah g di anggap...
situ waras kah rash...???🤔🤧
2023-07-03
1
Yhanni Shakeil
kasian si ailen yaa🥹
2023-07-02
1