Arash yang tengah menatap laptopnya melihat grafik pemasaran produknya terus meningkat membuatnya sangat puas. "Bagus tidak sia-sia aku bekerja dari Pagi Pulang Pagi. Hasilnya sangat memuaskan' ujar Arash menatap grafik itu dengan senyuman ia lega ternyata lelahnya terbayar tunai.
Ia menutup laptopnya dan menyeduh kopi di sampingnya. Kini pikirannya melayang akan putrinya yang sempat ia benci.
"Sepertinya aku butuh waktu untuk bersama keluargaku. Setidaknya aku harus mulai memberi waktu luang untuk Aileen. Apalagi sebentar lagi Aileen akan menikah, seharusnya sebagai ayah aku lebih memperhatikan gadis kecilku itu."
Arash menelpon bawahannya untuk datang menghadapnya. Tak lama seorang pria berjas masuk ke ruangannya.
"Ada apa tuan, ada yang bisa saya bantu?" tanya Haris sebagai asisten pribadinya.
"Haris tolong pesankan tiket ke Jakarta malam ini. Aku ingin libur berapa hari untuk mengurus pernikahan putriku"
"Baik tuan, segera dilaksanakan. Permisi tuan."Haris melangkah pergi untuk melaksanakan tugasnya untuknya.
Kini pandangan Arash teralih pada foto istrinya yang senantiasa berada di atas mejanya, ia tersenyum dan mengambilnya.
"Hilda, Putri kita sudah besar, dan saya sempat membencinya. Hilda, saya ingin minta maaf padanya. Namun, saya takut kalau Aileen kita tidak menerima maaf dari saya Hilda" menatap foto itu penuh kerinduan. Sungguh Arash sampai detik ini pun belum bisa melupakan istrinya.
"Hilda Andai kamu masih disini, pasti saya sangat bahagia. Sayang aku selalu merindukanmu, Andai kita bisa bertemu kembali..." Mengusap gambar istrinya Arash sangat kehilangan. Meski bertahun-tahun menghilang tak ada satu wanita pun yang mampu menggeser posisi Hilda di hatinya.
"Aileen, tunggu ayah pulang ya nak. Ayah ingin minta maaf padamu, maafkan ayah nak" gumam Arash.
ΩΩΩΩ
Sesaat setelah Manda menampar Aileen di rumah sakit di Singapura, wanita renta itu langsung menyeret sang cucu ke taksi dan membawanya ke hotel. Memasukkan baju dan beberapa barang lain secara asal-asalan ke dalam koper sambil terus mengomel.
"Malu-maluin! Bikin malu keluarga aja! Aib!"
"Aku nggak-"
"Diam! Kamu nggak ada hak untuk bicara."
Aileen yang berdiri mematung di sudu kamar mencoba menghampiri sang nenek untuk membantu memasukkan barang-barangnya. Ketika dia menggapai sebuah gaun, Manda langsur menepis tangannya kuat-kuat.
"Jangan sentuh apa pun!"
Aileen mendengkus pelan. Dia kembali!! berdiri di tempatnya semula sambil memasang wajah datar. Manda lalu dudu di sisi ranjang. Mengambil ponsel yang ad di nakas lalu menelepon seseorang.
"Arash!" teriaknya ketika telepon tersambung. "kamu pulang sekarang juga! Aileen bikin ulah sama Haykal! Pulang dan kasih dia pelajaran. Mama udah nggak sanggup! Ambil penerbangan sekarang jug kita ketemu di rumah."
ΩΩΩΩ
Aileen duduk menyilangkan kaki di depan ayah dan neneknya. Wajahnya datar dan cenderung tenang. Berbeda dengan dua orang di hadapannya. Wajah Arash dan Manda merah padam.
"Kamu merasa kelakuan kamu selama ini belum cukup untuk membuat kami malu, Aileen?" Manda mencoba menahan amarah lewat tangan yang terkepal kuat. Bisa nggak sekaliii aja kamu bikin bangga nenek? Sekali aja jangan mengecewakan kami."
Sinar mata Aileen langsung redup. Dia menatap Arash dan Manda secara bergantian sebelum menggeleng pelan.
"Kalian ingat nggak aku dulu selalu berusaha bikin kalian bangga. Aku selalu berusaha nggak mengecewakan kalian. Sampai insiden itu terjadi, Kalian menyalahkan aku!!"
"Jangan bawa-bawa masa lalu hanya untuk mengelak dan melempar kesalahan," tegur Arash. "Kamu sudah dewasa, Aileen. Nggak ada gunanya bawa-bawa masa lalu, kamu harus berhenti hidup di dalamnya. Dan sekarang, kamu harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah kamu lakukan."
"Cih!" Aileen membuang muka. Lucu ketika mendengar kata bertanggung jawab keluar dari mulut Arash. "Kata orang tua yang tidak tahu tanggung jawabnya sendiri ," sindirnya.
"Aileen... jangan memperkeruh suasana dengan mulut kamu yang nggak tahu tata krama." Wajah Arash semakin menggelap tapi tidak menyulutkan nyali pemberontak milik Aileen. "Jangan mengada-ada."
"Aku berkata sesuai dengan kenyataan yah. Jawab jujur, apa ayah pernah memerhatikanku? Pernah peduli denganku? Pernah nggak kita terlibat percakapan sehat selain dari masalah mempertahankan nama baik keluarga? Pernah nggak kalian bertanya apa yang sedang kurasakan hari ini? Bahkan perhatian yang kecil sekali pun, kalian nggak bisa memberikan. Aku nggak mau harta yah, nek. Aku cuma perlu tangan-tangan hangat kalian yang merengkuhku saat sedang lelah."
"Kami sibuk, Ay. Harusnya kamu sejak dulu memahami itu."
"Aku coba, Yah! Dan aku berhasil! Sejak insiden itu sampai sekarang aku nggak pernah mengganggu waktu kalian lagi, kan? Kalian nggak pernah mendengar rengekan atau kekehanku lagi sejak saat itu sampai sekarang."
Adam menunduk dalam. Memainkan jari jemarinya yang kekar. Ketika Aileen menoleh ke arah Arash, pria itu terlihat sedang menyusut matanya.
"Ayah menangis?" Tidak mungkin Arash tersentuh dengan apa yang dia katakan barusan, pikir Aileen. Arash memiliki hati yang kuat, cuma disentil dengan kata-kata tadi tidak akan membuatnya bisa menitikkan air mata.
"Kami bukannya menjauhimu, Sayang. Kami hanya terlalu sibuk. Itu aja. Semua itu demi kamu juga kok."
Alasan klise. Dari dulu alasan mereka tetap sama. Sibuk. Entah hari minggu atau tanggal merah. Tidak ada semenit pun mereka habiskan bersama Aileen.
"Oke," ujar Aileen setelah terdiam lama. "Sekarang, aku bisa kan kembali ke kehidupanku yang biasa? Kembali ke kehidupan sebelum kata pernikahan menyerang," Dia menatap Manda menantikan tanggapannya.
Manda mendongak. Mata tuanya berserobok dengan mata cokelat Aileen." Kamu nggak merasa bersalah karena bikin malu keluarga?"
"Lalu aku harus apa, Nek? Kalau aku minta maaf, Nenek pasti akan bilang kalau permintaan maafku nggak akan membalikkan keadaan."
"Masalahnya bukan cuma antara kita sama om Haykal aja, Aileen." Manda berdiri Menggenggam tangan Aileen sambil sesekali meremasnya, lalu duduk di samping cucu perempuannya.
"Nenek sudah bicara dengan teman-teman nenek kalau sebentar lagi kamu akan menikah. Mereka sudah membantu memesankan kue pernikahan, undangan, gedung, katering, pokoknya semuanya. nenek nggak mau kebaikan mereka jadi sia-sia."
"Jadi?" Aileen tersenyum getir. "Pada akhirnya aku memang harus menikah dengan om Haykal? Aku harus menikah. dengan laki-laki yang nggak pernah aku sukai? Aku harus menikah dengan laki-laki! yang pernah menyelingkuhi istrinya saat hamil tua. Terus, kalau nanti aku diselingkuhi lagi, apa kalian nggak malu?"
"Haykal sudah berubah, Aileen," timpal Manda.
"Kata siapa? Mana buktinya."
Manda terdiam. Aileent tahu Manda tidak punya bukti apa-apa. Dia pun sebenarnya tidak punya bukti yang mengatakan kalau Haykal masih lelaki yang sama dengan laki-laki beberapa tahun silam.
"Kalian cuma mau membuat uang mengalir semakin deras ke kantong kalian Kalian bahkan nggak peduli gimana nasibku setelah menikah dengan om Haykal nanti, kan?"
Setelah menghela napas panjang. Aileen berdiri. Berjalan menuju kamarnya dengan langkah gontai. Ketika akan memutar gagang pintu, dia berbalik.
"Kalau kalian mau aku angkat kaki dari rumah ini, akan kulakukan. Beri aku waktu dua jam untuk berkemas."
Aileen menutup pintu tanpa suara. Meninggalkan nenek dan ayahnya yang diliput sunyi. Arash menatap Manda dengan tatapan menyalahkan.
"Apa?!" Manda mengangkat dagu dan memasang wajah datar. "kamu menatapku seolah hanya aku yang salah di sini."
"Mama terlalu keras pada Aileen."
Arash lalu melangkah menuju kamar anaknya. Mengetuk pintu beberapa kali sebelum memutar gagangnya.
"Aileen?" Arash terbelalak melihat perempuan manis itu sedang memasukkan pakaiannya ke dalam koper besar." Kembalikan baju-baju kamu ke tempat semula!"
Laki-laki itu menghampiri Aileen. Menghentikan kegiatan anaknya dari mengemas pakaian dengan cara meremas kedua tangan kurus Aileen. "Nggak ada yang mempersilakan kamu pergi dari rumah ini."
"Kesepakatan awal sama Nenek kayak gitu, kan?" Aileen menghempaskan tangan Arash kuat-kuat. "Aku harus angkat kaki kalau nggak mau menikah dengan om Haykal
"Tapi ayah nggak pernah menyetujui itu. Dengar." Arash membawa Aileen duduk di tepi ranjang. Meremas kedua bahu Aileen dan berkata, "tempat kamu di sini. Nggak ada yang bisa mengusir kamu pergi atas alasan apa pun."
"Aku bukan keluarga Erlangga la-"
"Kamu tetap bagian dari keluarga ini, Aileen. Kamu tetap anak perempuan Ayah. Maafkan ayah selama ini ya nak"
Cih! Aileen membuang muka.
Menyembunyikan setetes air mata sialan yang harusnya tidak usah keluar. Kalau Arash melihat air mata ini, dia akan tersenyum kemenangan dan menyangka Aileen mudah dibujuk dengan kata-kata.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments