Bukan Aileen namanya kalau dirinya tidak kabur dari kamar. Aileen yang tadinya menangis kini memikirkan cara untuk kabur dari rumah.
"jemput gue di samping rumah Jess, kita have fun malam ini" Aileen pun menelpon sahabatnya untuk menjemputnya di samping rumahnya.
...ΩΩΩΩ...
Di mobil Jessie, Aileen merasa lelah ia membaringkan kepalanya di kursi mobil. Pandangannya menatap lampu jalanan yang tampak indah dengan perasaan hampa.
"Tuhan sebenarnya untuk apa gue hidup?" Aileen memejamkan mata, sudut mata gadis bermata indah itu menganak sungai.
"Ay ceritain kenapa Lo sampai disini." tanya Jessie yang mengemudi mobil.
"Panjang ceritanya!"
"Gak aра ceritain aja, gue penasaran."
"Gue....," Aileen menceritakan segalanya.
"Sumpah Lo, Lo marahin ayah lo. Kenapa ayah lo tiba-tiba sok perhatian. Pasti Lo sakit banget ya kan."
"Hemm..., begitulah.Sebenarnya yang bikin nyesek kanapa harus bentak-bentak kan gue nggak budek.'
"Seperti biasa gue pasti dukung lo, Ay"
Di sepanjang ****** kedua perempuan muda itu saling bercerita ini dan itu. Hanya dengan Jessie, Aileen bisa menghibur diri.
ΩΩΩΩΩΩΩΩΩ
Aileen menenggak segelas cairan berwarna merah. Pengar langsung menyapa tenggorokannya. Menimbulkan sensasi aneh tapi menyenangkan ketika cairan itu mengalir dari mulut menuju sistem pencernaannya.
Ya Aileen dan Jessie memutuskan pergi ke cl*b. Irama musik mengentak-entak disertai heboh suara DJ yang berbaur dengan riuh suara pengunjung kelab. Aileen hanya duduk sambil menatap lantai dansa. Tidak berniat ikut melenggak-lenggok di sana. memang suka pergi ke kelab, tapi tidak suka ikut menggila di bawah lampu disco. Dia termasuk golongan orang yang suka melihat keramaian tanpa mau ikut meramaikan.
"Joget dong, Ay!" Jessie, sahabat terbaik Aileen, menghampiri perempuan itu. Menarik sebelah tangannya yang tidak memegang gelas wi*e. Mencoba membawanya ke lantai dansa.
"Gue nggak bisa joget!" Aileen menolak dengan berteriak kencang.
"Isss, Lo nggak asyik!" balas Jessie dengan berteriak juga.
Mereka memang harus bicara sambil berteriak karena suara musik yang membahana menindih suara mereka bulat-bulat. Sudah pasti cl*b bukan ajang gibah. Kalau tetap nekad menggibah di cl*b, percayalah kamu akan bangun keesokan paginya dengan suara seperti terjepit.
"Seru tahu! Lo nggak pernah ikut joget bareng sejak kita pertama kali masuk cl*b.
Aileen mengibaskan tangan di depan muka tanda dia tidak tertarik dan menyuruh Jessie menjauh.
"Suatu saat gue akan bikin lo jadi dancer tetap di sini!" Setelah itu, Jessie kembali ke lantai dansa. Kembali larut dalam suasana panas di sana.
Bagi Aileen, lantai dansa itu adalah neraka. Area senggol ba*ok yang pas untuk mengantarkan pada perkelahian. Bagaimana tidak, arena yang sangat sempit itu dipakai oleh hampir semua pengunjung cl*b. Berdesak-desakkan sambil berjoget riang. Senggol kanan senggol kiri. Main injak sana-sini. Itu yang Aileen benci dari tempat ini.
Biasanya, mereka akan pulang setelah jam satu malam. Tapi, khusus malam ini Aileen meminta Jessie bertahan di sini sampai kelab tutup. Bukannya apa, dia hanya enggan pulang ke rumah. Anggap saja ini sebagai bentuk pembangkangannya terhadap ucapan ayahnya tadi dan juga neneknya pagi tadi.
Dengan mata yang setengah sayu karena dilanda mabuk, Aileen mengedarkan pandangannya ke sekeliling cl*b. Walaupun tidak banyak yang bisa dilihat karena kondisi kelab yang gelap, anehnya, dia bisa melihat seorang laki-laki yang duduk di meja di sebelahnya.
Laki-laki berkemeja putih dengan dasi yang masih melingkari kerah kemejanya dengan rapi. Tidak ada tanda-tanda mabuk di wajah laki-laki dengan rambut bergelombang itu. Dia juga tampak tertekan berada di antara temannya yang masing-masing sedang memangku seorang wanita dengan gelas wi*e di tangannya.
"Oooh." Aileen menyeringai ketika sebuah tangan berjari lentik ditepis kuat oleh laki-laki itu. Dia semakin tertarik ketika melihat laki-laki itu menolak segelas minuman keras dari wanita yang paling seksi di sana.
Takjub, heran, sekaligus merasa aneh.
Biasanya, orang-orang pergi ke cl*b dengan tujuan bersenang-senang. Berbeda denga laki-laki itu yang tampak tidak senang berada di sini.
Setelah cukup lama memandangi orang itu, Aileen jadi teringat ucapan Manda. Kalau dia tidak mau menikah dengan Haykal, maka dia harus membawa laki-laki yang mau menikah dengannya ke hadapan Manda seminggu lagi.
Tidak tahukah Manda kalau masalahnya bukan hanya pada Haykal tapi pada kata menikah itu sendiri. Entah dengan Haykal atau bukan, Aileen hanya tidak mau menikah. Kata itu yang seharusnya Manda garis bawahi. Tapi nyatanya apa? Neneknya malah memberikan Aileen penawaran lain yang sama sulitnya.
Lalu ... secara tiba-tiba, ide gila muncul di kepala Aileen. Dia ingin memanfaatkan laki-laki salah tempat ini. Siapa tahu laki-laki itu mau bekerja sama Berpura-pura mau menikah dengan Aileen. Setidaknya, orang itu jauh lebih baik daripada Haykal dari segi wajah dan tubuhnya. Wajah ganteng dan tubuh atletis tidak dimiliki oleh Haykal.
Tidak ada salahnya mencoba bernegoisasi dengan laki-laki itu. Aileen yakin laki-laki itu berada di kalangan ekonomi menengah ke bawah jika dilihat dari gerak tubuhnya yang tidak bisa berbaur dengan kondisi cl*b. Uang ratusan juta harusnya bisa membuat laki-laki itu setuju dengan tawarannya tanpa pikir panjang.
"Ay! Kok bengong?!" Jessie datang lagi. Dengan napas ngos-ngosan dia menenggak minuman keras langsung dari botolnya.
Aileen terperanjat sejenak. Sebelum kembali menatap meja sebelah.
"Lo lagi melihat apa sih?! Cowok ganteng?! Mana?!" Jessie buru-buru duduk di samping Aileen. Menyipitkan mata demi bisa melihat keadaan meja sebelah." Cowoknya kegatelan semua!" umpat perempuan berambut bob itu setelah melihat tangan nakal para laki-laki yang bertengger di tubuh wanita di pangkuan mereka.
"Ada satu yang nggak!" balas Aileen sambil menunjuk ke ujung meja, tempat laki-laki kalem itu berada.
Jessie turut melihat ke arah tunjukan temannya. Seketika dia bersiul gembira.* Di suasana remang-remang kayak gini dia kelihatan tampan banget, njir! Wajahnya bersinar di tengah kegelapan! Gue yakin aslinya memang tampan. Dia cocokkan sama gue, Ay?"
"Enak aja!" solot Aileen. "Dia incaran gue!"
"Eh?!" Jessie terperanjat. "Bukannya Lo nggak mau pacaran? Sekarang sudah dapat hidayah, toh?!" Perempuan itu melihat Aileen dengan tatapan takjub sekaligus lega. Pasalnya, sejak enam tahun pertemanan mereka Aileen tidak pernah terlihat menaruh rasa pada cowok mana pun. Tidak pada kakak tingkat, adik tingkat, pun dosen di kampus.
"Ay? Lo sehat? Atau sakit, sih?! Aneh aja tiba-tiba mendengar Lo mengincar cowok!"
Aileen memutar bola matanya sambil menghela napas. "Lo lupa kalau gue disuruh nenek buat nyari cowok sendiri? Kalau nggak dapat, gue bakal dinikahkan sama om Haykal!"
Sebelum pergi ke cl*b, Aileen menyempatkan diri menceritakan juga perdebatannya dengan sang nenek pagi tadi Jessie.
"Terus?!" Kepala Jessie terteleng
"Ya, gue mau negoisasi sama tuh cowok!"
"Yakin dia mau?" Jessie sangsi.
"Zaman sekarang mana ada yang bisa menolak uang, Jess? Gue yakin dia hidup pas-pasan dan sangat uang. Dia nggak mungkin menolak tawaran gue."
"Emang dia masih single, Ay? Siapa tahu sudah punya kekasih. Bahkan punya anak istri di rumah. Ngeri banget sih lo! Kenapa nggak sama mahasiswa di kampus kita aja, coba?"
"Bah!" Aileen mengibas tangan depan wajah. "Basi kalau sama mahasiswa."
Aileen sedikit tersentak ketika laki-laki yang dia perhatikan beranjak dari kursinya. Ikut berdesakan demi bisa mencapai pintu keluar. Aileen langsung heboh. Dia segera berdiri dan bermaksud menyusul laki-laki itu.
"Gue tinggal dulu, ya!" pamitnya pada Jessie.
"Eh?! Eh?!" Jessie berteriak kalap. Mencoba menahan lengan Aileen, tapi, perempuan itu lebih dulu pergi.
Aileen sampai di teras kelab. Sangat bersyukur laki-laki incarannya masih ada di sana. Berdiri sambil melarikan jarinya di layar ponsel yang menyala. Perempuan dengan rambut sepunggung itu berdeham beberapa kali. Melemaskan pita suaranya yang tegang akibat berteriak-teriak di tengah kelab bising tadi. Dia menyempatkan diri merapikan pakaiannya sebelum menghampiri laki-laki itu.
"Halo, hai, permisi, Mas," sapa Aileen agak canggung.
Laki-laki yang sejak tadi memunggungi Aileen kini berbalik. Mereka jadi berhadapan. Aileen memang tinggi tapi dia tetap harus mendongak demi bisa melihat wajah lawan bicaranya.
"Ada perlu apa, Mbak?" laki-laki itu bernada bas yang dalam. Menggelitik telinga Aileen.
Aileen mengulurkan tangannya ke hadapan si laki-laki. "Kenalin aku Aileen."
" Saya Jovanka"
Laki-laki yang bernama Jovanka bersikap formal dan membalas uluran tangan Aileen. "Ada yang bisa saya bantu?" Senyum menghiasi wajahnya yang lelah.
Jelaslah! ujar Aileen dalam hati. Jika dia tidak perlu bantuan Jonathan, tidak mungkin mau menghampiri laki-laki ini. "Mas Jovan, kamu harus menikah denganku." Aileen mengatakannya dengan mantap. Tanpa ragu tanpa bimbang bahkan tanpa Nada-nadanya mirip seperti orang mengajak berkelahi. Berani dan menantang.
Sedetik, sepuluh detik, bahkan semenit terlewati dalam keheningan. Jovanka berdiri terpaku di tempatnya dengan mala terbuka lebar. Menatap Aileen dengan tatapan tidak percaya.
"Apa, Mbak?" Nada suaranya naik beberapa oktaf.
"Menikah denganku."
"Hah?!" Laki-laki bermata tajam itu terlonjak. "Tungguh, tunggu!" Jovanka mengangkat tangannya tepat di hadapan wajah Aileen. Seolah meminta waktu untuk mengartikan ucapan mendadak dari perempuan cantik barusan.
"Kamu mabuk?" Jovanka mendekatkan wajahnya ke wajah Aileen untuk menguatkan argumennya. Benar saja, aroma alkohol menguar cukup kuat dari bibir tipis Aileen menyapa hidung mancungnya. "Benar, kamu mabuk rupanya." Dia tertawa lega.
"Aku memang minum alkohol, tapi, maaf, aku sadar seratus persen. Aku-" Aileen menepuk dadanya bangga dan kembali berkata, "Aileen Nathania Erlangga anak tunggal dari Arash Erlangga, pebisnis sukses dan termasuk lima besar orang terkaya senusantara mengajak kamu menikah. Tenang aja. Nggak nikah benaran kok. Cuma kontrak. Nggak lama juga, seenggaknya sampai nenekku yang kolot itu meninggal dunia. Palingan dua sampai tiga bulan lagi. Kalau lebih dari itu, biar nanti aku minta dokter menyuntik mati."
"Tu-"
"Mas Jonathan jangan cemas. Pernikahan ini sifatnya simbiosis mutualisme. Kamu menolongku lepas dari perjodohan yang diatur nenekku, dan aku memberi kamu uang untuk menyambung hidupmu."
"Ap-"
"Oh? Kamu pasti penasaran berapa nominal uang yang kutawarkan. Gimana kalau setengah miliar. Kurang, ya? Gampang nanti aku tambah. Sekarang, tugas kamu adalah ikut aku ke rumah. Dan kita sama-sama berlutut ke hadapan nenekku dan bilang kalau kita akan menikah minggu ini." Aileen menarik tangan Jovanka menuju tempat parkir mobilnya.
"Kamu ini perempuan gila rupanya!" Jovanka menghempas keras tangan Aileen.
Matanya menyipit, menatap Aileen penuh intimidasi. "Jangan berpikir dengan uang sebegitu banyak kamu bisa membeli segalanya, ya. Lebih baik gunakan uang kamu untuk kebaikan. Pasti ada nilainya di mata Tuhan daripada kamu mengerjari orang-orang dengan mengiming-imingi mereka uang." Jovanka berlalu karena tepat saat itu ojek pesanannya sudah datang. Ketika dia akan menyenyakkan pantat di jok motor, Aileen kembali menahannya.
"Aku serius! Kalau nggak membawa kamu ke hadapan nenekku, aku akan dinikahkan dengan om-om hidung belang super mesum."
"Bukan urusan saya!" Memang bukan urusan Jovanka, kan?
Jovanka menepuk punggung tukang ojek sambil berkata, "Jalan, Pak."
"Tujuh ratus juta! Kutambah bonus berapa pun yang kamu minta!" Aileen berteriak lantang seiring dengan menjauhnya motor yang ditumpangi Jovanka. "Kalau kamu berubah pikiran, datangi aku di kampus terkemuka di kota ini! Jurusan Teknologi Informasi Komunikasi!"
Tidak ada jawaban apa-apa dari Jovanka. Hanya jari tengahnya saja yang teracung ke arah Aileen.
Bersambung.....
***Mohon tinggalkan jejak ya☺️☺️
Happy reading ♥️***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Nur Aini
seru juga ceritanya si alin,,
2023-06-30
1
Ara Julyana
Aileen frustasi dengan hidupnya juga kluarganya jadi larinya ke club minum dan mabuk,kasihan Aileen
2023-06-30
0