Kemeja putih yang dilapis jas navy malam menghiasi tubuh kekar Jovanka. Dasi berwarna senada dengan jasnya turut membuat laki-laki itu makin gagah. Jangan lupa sepatu pentofel hitam mengilat di kakinya semakin menambah kadar ketampanan laki-laki itu. Hari ini Jovanka kelihatan jauh lebih keren daripada laki-laki pada umumnya. Pesonanya sudah menyaingi para CEO muda sekalipun dia bukan salah satunya.
"Wooow!" Aileen yang sejak tadi duduk di sofa mal menunggu Jovanka fitting, seketika terkesima. Mulutnya menganga. Matanya menatap tanpa kedip ke arah Jovanka yang sibuk berkaca.
Sadar sudah menunjukkan ekspresi yang tidak seharusnya keluar, Aileen buru-buru memasang wajah datar. Tidak mau Jovanka merasa bangga dengan ketampanan dan kegagahan yang dia miliki. Namun, Jovanka pasti sadar setampan dan segagah apa dirinya sedari dulu.
"Aku ganteng banget, ya?" Tanya laki-laki itu pada Aileen. Seringai kecil muncul dari bibirnya. Aileen terperanjat. Membuang muka demi menyembunyikan rona merah wajahnya. Setomboy-tomboy-nya Aileen, dia tetaplah seorang wanita biasa. Tidak bisa berpaling ketika melihat cowok tampan di hadapannya. Meskipun dia berusaha mati-matian untuk tidak tertarik pada cowok itu.
Selama ini Aileen memang tidak terlalu tertarik sampai akhirnya Jovanka dengan segala pesonanya membuat perasaannya jadi aneh. Hatinya jadi sulit ditebak. Aileen bahkan tidak mengenali siapa dirinya sendiri.
"Biasa aja tuh! Kamu sama kayak cowok kebanyakan," kilahnya. Tidak ingin Jovanka semakin merasa di atas angin karena ketakjubannya.
Gara-gara terpergok berduaan dengan pewaris tunggal perusahaan Erlangga, Jovanka harus menanggung risikonya. Dia diminta datang menghadap nenek dan ayah Aileen pada keesokan harinya. Walaupun sudah berkata tidak siap, Aileen tetap memaksa. Jovanka bahkan belum menyiapkan skenario jika berhadapan dengan para orang kaya itu.
"So? Kita langsung ke rumah kamu?" Jovanka duduk di samping Aileen dengan bertopang kaki. "Aku beneran nggak siap, Aileen."
"Katanya kamu sudah sering menghadapi banyak orang."jawab Aileen sambil lalu. Saat itu dia sibuk menggulir layar ponselnya.
"Dengan klien, memang." Jovanka mendesah. "Tapi ini keluarga kamu."
"Anggap aja mereka klien. Apa susahnya."
"Ya jelas susahlah." Jovanka frustrasi. "Dengan klien, yang kubahas adalah seputaran pekerjaan. Tapi dengan keluarga kamu? Jelas yang dibahas nanti adalah topik yang bukan bidangku. Yang akan dibahas nanti adalah kamu."
"Anggap aja aku barang.
"Nggak akan."
"Haduuh." Mau tidak mau Aileen juga turut dibuat gusar.
Malam tadi dia diinterogasi habis-habisan oleh Manda. Bertanya tentang sejauh mana hubungannya dengan Jovanka. Sudah berapa kali tidur bersama laki-laki itu. Kapan pertama kali Aileen menyerahkan keperawanannya pada Jovanka. Apakah dia pernah hamil dan menggugurkannya.
Oh Tuhaaan... Aileen rasanya mau gila mendapati pertanyaan Manda. Dengan apa dia membuktikan kalau dirinya masih perawan ting-ting. Sebebas-bebasnya Aileen, dia tidak pernah berpikir untuk melakukan hubungan badan dengan siapa pun. Never! Bahkan berpegangan tangan dengan laki-laki lain saja tidak pernah.
Kecuali Jovanka. Laki-laki itu mencium pipinya tanpa permisi. Sialan! Itu membuat Manda menaruh curiga yang besar padanya.
Malam tadi dia dicerca habis-habisan. Sekali lagi, dikatakan mengecewakan keluarga. Bikin malu. Lalu ditinggalkan di kamar seorang diri. Seolah disuruh untuk menyesali kesalahannya. Sampai saat itu, Aileen belum menemukan alasannya untuk tidak segera mati.
"Soal ciuman di pipi kamu malam tadi, aku minta maaf. Aku nggak sengaja. Sumpah," ujar Jovanka dengan nada menyesal yang kental.
Namun bukannya marah wajah Aileen malah bersemu. Sialan! Kecupan singkat itu berhasil membuatnya salah tingkah.
"Lupain aja! Kenapa dibikin ribet sih!" Dengan gusar dia memasukkan ponselnya ke dalam tas punggung hitam belelnya. Banyak coretan dari spidol warna-warni di permukaan tas itu. Rata-rata mengandung umpatan kasar dalam bahasa inggris. Jovanka mengernyitkan alis ketika membaca salah satunya. Dia menggelengkan kepala setelahnya.
"Kamu punya jiwa barbar yang nggak main-main rupanya," ujar Jovanka seraya tersenyum tipis.
Aileen mendengkus. "Terus? Kenapa? Nggak suka? Suka atau nggak, kamu nggak berhak untuk mengomentari penampilanku apalagi sampai melarangku."
Senyum Jovanka semakin lebar, hampir berubah menjadi kekehan. "Aku nggak bilang apa-apa selain mengomentari, gaya kamu aja. Kok pikiran kamu ke mana-mana sih?"
"Ck! Bodolah!" Aileen berdiri.
Sambil mengentakkan kaki dia menujes kumpulan celana riped jeans-celana jeans! yang robek di beberapa bagian- yang terdapat di sudut toko. Cukup lama memilih dan menimbang-nimbang. pilihannya jatuh pada dua buah riped jeans! berwarna hitam dan abu-abu muda.
"Ini ukurannya M, Mbak. Pasti kekecilan buat pacar Mbak. Kalau mau ambil yang ukuran XL atau XXL." Pramuniaga menegur Aileen setelah melihat label ukuran riped jeans di tangannya.
Dengan acuhnya Aileen berlalu dari hadapan pramuniaga perempuan itu. Sekarang dia berdiri di kumpulan baju kausi hitam. Melihat-lihat beberapa potong. sebelum mengambil baju kaus bergambar tengkorak dan kepala naga.
"Ini ukurannya juga M, Mbak. Saya yakin nggak muat di badan pacar Mbak."
Pramuniaga itu memperingatkan Aileen lagi.
Setelah berdecak, Aileen berkata, "Ini bukan buat dia, Mbak! Ini buat saya," ketusnya. Dia kembali duduk di samping Jovanka sementara menunggu sang pramuniaga membungkuskan baju serta celana belanjaannya.
Selama melihat Aileen mengambil beberapa potong baju dan celana tadi, selama itu juga Jovanka mengernyitkan alis. Aileen yang menyadari itu akhirnya bertanya. "Ada yang mau kamu katakan tentang style pakaianku?"ujarnya dengan nada marah. "Mau nyinyir kayak nenek sama orang tuaku?”
Laki-laki jangkung itu terperanjat sejenak sebelum berdeham beberapa kali." Aku bahkan nggak ngomong apa-apa. Kenapa kamu malah menyimpulkan seenaknya?"
"Dari mata kamu itu kelihatan semuanya!" Aileen menunjuk mata Jovanka dengan dua jarinya. "Kamu pasti lagi nyinyirin gaya busanaku, kan?! Ngaku, kamu!"
"Dasar overthinking." Jovanka mengangkat bahu. "Ngapain aku melakukan itu? Buang-buang tenaga. Jujur, ya, aku cuma takjub aja."
"Apa yang membuat kamu takjub?!" Aileen membuang muka. "Bilang aja kalau kamu menghinaku dalam hati. Nggak pa-pa juga kok."
Pramuniaga datang dengan sebuah paper bag besar di tangan. Dia menyerahkan benda itu pada Jovanka. Ketika laki-laki itu ingin menerimanya, Aileen lebih dulu merebutnya.
"Aku bisa bawa sendiri, Mbak!" Sembari melemparkan tatapan tidak terima ke arah pramuniaga. "Mbak kerja yang benar dong! Masa kerja kayak gini aja nggak bisa?"
Wajah pramuniaga itu langsung pucat. Dia menunduk kecil di hadapan Aileen dan Jovanka sambil meminta maaf. Aileen tidak menggubris. Dia berlalu dari sana sambil mendesah panjang.
"Sikap kamu tadi bukannya terlalu berlebihan?" Jovanka menyamai langkah kaki perempuan cantik ini. "Kasihan pramuniaganya kamu bentak begitu."
"Salah siapa, coba?" tantang Aileen.
"Ya, salah kamulah!" pekik laki-laki berbadan tegap itu. "Dia sudah baik hati memberikan tas itu ke aku. Artinya dia mau meringankan beban bawaan kamu. Masa gitu aja kamu marah?"
"Meringankan beban?" Mata bulat Aileen semakin membulat. “Apa mukaku ini kelihatan sedang banyak beban, gitu?! Aku nggak butuh rasa kasihan itu, btw!"
"Astagaaa...."
Jovanka mengerang panjang. Baru kali ini dia bertemu dengan perempuan yang sensitifnya setinggi langit. Entah mood Aileen sedang tidak bagus atau sifat aslinya memang seperti ini, Jontahan tidak tahu. Tapi, melihat kelakuan Aileen tadi cukup membuatnya merasa ngeri.
Mungkinkah menerima tawaran kawin kontrak dengan Aileen adalah pilihan terburuk dalam hidupnya.
Aileen berbelok menuju toilet tanpa berkata apa-apa. Jovanka hanya menghela napas. Enggan meninggalkannya dan memilih menunggu Aileen di luar. Tidak ingin terjadi hal-hal seperti tadi. Dia jadi merenung. Seharusnya, sebelum memutuskan bertempur dengan nenek dan ayah Aileen, dia harus mengetahui seperti apa cucu tunggal keluarga Erlangga ini dulu.
Setelah dipikir-pikir, banyak hal negatif di diri perempuan itu. Ceplas-ceplos, emosian, mudah tersinggung, bermulut pedas, dan berpenampilan barbar. Bahkan, selama beberapa minggu kenal Aileen, Jovanka belum melihat sisi baik dari perempuan ini. Kecuali saat membelikannya setelan kantor hari ini. Itupun karena kepentingan untuk menemui keluarganya saja.
Bisakah mereka berdua hidup di satu atap meskipun hanya sebatas kontrak saja?
Lamunan Jovanka buyar ketika mendengar pintu toilet terbuka kasar. Aileen keluar dari sana dengan pakaian yang tadi dibelinya. Kiped jeans berwarna hitam. dan baju hitam bergambar tengkorak. Serta topi berwarna serupa dengan baju dan jeansnya. Rambut cokelat sepunggung di biarkan tergerai. Warna cokelatnya terlihat kontras di antara warna setelannya yang serba hitam itu.
Aileen adalah perempuan yang unik - kalau tidak mau dibilang tomboy. Kulitnya yang putih bersih terlihat bersinar di anlara warna gelap pakaiannya. Satu kalimat saja untuk menunjukkan pendapat Jovanka tentang gaya busana Aileen: wow!
"Sudah puas menghujatku dalam hati kamu?"
"Aku nggak menghujat kamu, asal kamu tahu." Jovanka melempar senyum geli. Baru ingat kalau sifat Aileen segarang penampilannya.
"Apa pun itu, buruan kita pergi dari sini. Menemui nenek dan ayahku. Kamu sudah tahu apa yang harus kamu katakan, kan?"
Mereka berdua berjalan beriringan menuju mobil Aileen. Ketika perempuan itu membuka pintu mobil dan hampir duduk di belakang kemudi, Jovanka menarik lengannya.
"Biar aku aja yang menyetir."
"Nggak usah. Kamu duduk manis aja di jok penumpang."
Jovanka berdesis tidak terima. Dia menarik Aileen sedikit lebih kasar dan membawanya ke sisi mobil yang lain. Membukakan pintu mobil dengan sikap gentle, membujuk Aileen agar duduk di jok penumpang saja. Mengalah, Aileen akhirnya duduk manis di sana.
"Kamu bisa bawa mobil?" tanyanya setelah laki-laki berhidung bangir itu mengenyakkan pantat di jok.
"Nggak punya mobil belum tentu nggak bisa nyetir"
"Oke, fine." Aileen mengangkat tangan tanda menyerah.
Jovanka mulai melajukan mobil Aileen dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan cukup lengang siang ini sehingga mereka tidak perlu repot mengumpat karena terjebak macet.
"So?" Aileen memecah keheningan yang tercipta beberapa menit setelah meninggalkan mal. "Kamu sudah bikin skenario untuk menghadapi nenekku, kan?"
"Belum," jawab Jovanka jujur.
Aileen mengubah posisi duduknya menjadi menghadap Jovanka. "Hah? Terus gimana?"
"Improvisasi aja lah."
Alis perempuan itu bertautan. “ Gimana, gimana?"
"Alasannya sama kayak kebanyakan orang," ujar Jovanka sekenanya. "Saya mau menikahi Aileen Erlangga. Mohon restunya, Tuan dan Nyonya."
"Oke, terus?" Aileen semakin tertarik. " Kalau nenekku bertanya apa alasan kamu menikahiku?"
"Loh?" Jovanka melirik Aileen sejenak. "Bukannya sudah jelas karena cinta?"
Tatapan mata Aileen kosong. Dia mengerjap beberapa kali sebelum memukul bahu laki-laki di sampingnya dengan keras. "Gitu aja nggak cukup, Bambang!"
"Kamu aja deh yang bilang ke mereka, ya," bujuk Jovanka.
"Loh? Kenapa jadi aku? Kok kesannya kayak aku yang bucin?!"
Jovanka menyeringai penuh kemenangan. "Kan, ceritanya memang kamu yang bucin."
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments