19. jaga Felicia

Mr, Hans pun lebih mendekati Kavin, lalu ia menepuk pundak Kavin dan menundukkan kepalanya. "Pada siapa? Apakah dia masih siswa di sekolah ini?" bisik Mr Hans.

"Em," Jawab Kavin, seraya menganggukkan kepalanya.

"Selamat pagi pak?" sapa Felicia, sontak saja Mr Hans terkejut, ia langsung mengalihkan pandangannya kepada Felicia. Ia merasa bersalah pada gadis itu, setelah melihat ekspresi wajah Felicia ia merasa tebakannya tidak mungkin salah.

"Ah ... Vanila?" ujar Mr Hans.

'Eh, siapa dia?' batin Kavin yang saat ini masih menghadap ke arah Mr Hans.

"Pagi," jawab Mr Hans

Gruuukkk ...

Mendengar suara yang di keluarkan oleh perut Felicia, Kavin pun menoleh ke arahnya. "Dia yang makan?" bisik Mr Hans dengan keringat yang bercucuran.

"Iya Pak," jawab Kavin.

"Baiklah nak, jaga dia baik-baik ya ... Aku akan mempersiapkan pelajaran, kamu jaga dia saja dengan baik, aku titipkan dia ya Kevin," ujar Mr Hans seraya lari meninggal mereka berdua, dengan wajahnya yang panik dan merasa bersalah.

"Eh, tunggu!" Kavin hanya bisa terdiam di tempat, melihat kelakuan gurunya itu, ia juga sedikit curiga. Bahkan ia bilang titip dan agar dia menjaga Felicia dengan baik.

Kavin pun kini melihat ke arah Felicia, terlihat tubuhnya bergetar dan wajahnya pucat, bibirnya pun putih, perutnya terus mengeluarkan suara yang tak asing bagi-Nya.

"Itu, apakah barusan aku sudah membantu kamu?" ucap Felicia.

"Eh,"

"Aku kira tadi guru itu mau mengangkat rambut kamu, " sambungnya lagi dengan senyuman yang terpaksa karena menahan sakit.

"Hahaha, sepertinya aku sudah salah paham ya?" sambung Felicia dengan napasnya yang berat, wajahnya terlihat begitu memerah.

'Dia sudah pucat begitu, tapi masih ada niat membantu aku,' Batin Kavin.

"Pasti karena aku terlalu banyak makan kemarin, aku sampai rumah langsung muntah-muntah, begitu sampai," tutur Felicia, dengan tersenyum canggung.

'Melihat gerak gerik Mr, Hans tadi ...apakah kue yang dia berikan padaku bermasalah?' batin Kavin seraya menatap ke arah kelasnya.

"Kalau begitu aku duluan ya? Masuk ke dalam kelas dulu," Pamit Felicia.

'Gawat aku sama sekali tidak memiliki tenaga!' batin Felicia.

"Ah," teriak Felicia, namun saat ia hendak melangkahkan kakinya, ia hendak terjatuh karena lemas dan tak bertenaga. Namun Kavin segera menarik lengan Felicia. Ia menyadari bahwa Felicia sedang tidak baik-baik saja.

Kavin pun menarik Felicia hingga Felicia tubuhnya berputar, hingga akhirnya tubuh Felicia pun terjatuh kedalam pelukan Kavin.

'Kavin, lagi lagi kamu menolong aku,' batin Felicia.

Kini Felicia menyenderkan kepalanya di dada Kavin, ia mencium aroma tubuhnya, ia pun sudah merasa tenang setelah mencium aroma yang menempel di baju Kavin. 'Aroma nya membuat aku merasa rileks, baunya seperti anak kecil.' Gumam Felicia dengan meresapinya hingga ia memejamkan matanya.

"Em, itu, anu.." ucap Kavin sebelum akhirnya menyadari bahwa napas yang di keluar kan oleh Felicia begitu panas sampai menembus bajunya dan mengenai dadanya.

'Ya ampun panas banget,' Gumam Kavin sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk menyentuh Felicia.

"Hei, bangun dulu," ujar Kavin, namun terlihat Felicia sudah mulai tak sadarkan diri, napasnya terengah-engah suhu badannya begitu panas, bahkan seluruh wajahnya memerah, bibirnya yang putih pucat.

'Dia harus segera di bawa ke rumah sakit sekarang! Kalau tidak bahaya,' batin Kavin.

Kavin pun hendak melepaskan pelukannya, namun ia menyadari di sebrang ada seorang pria yang ia kenal, ia terlihat sedang bingung dan khawatir.

Dia adalah Ansel, Kavin pun membiarkan posisinya dalam keadaan seperti semula, bahkan menyembunyikan wajah Felicia di dekapannya.

'Felicia, anak itu! Belum menjawab pesanku dari kemarin,' batin Ansel dengan menengok kanan kiri, hingga akhirnya ia melihat ke arah sudut.

'Vulgar sekali murid jaman sekarang! Berpelukan di Koridor sekolah, pagi-pagi begini lagi!' batin Ansel seraya menunjukkan wajah jijik.

Namun ia melihat ke arah tas yang tak asing bagi-Nya, 'tunggu! Tas itu kok kaya sering lihat ya?' batin Ansel.

Ia pun baru sadar dan mengingat bahwa tas itu milik sahabatnya, lalu Ansel pun menghampiri mereka secara perlahan. "Fei!" panggil Ansel, seraya mengulurkan tangannya.

Kavin memutar kepalanya dan melihat ke arah Ansel, ia pun memutar tubuhnya. Menghalangi Ansel yang hendak menyentuh Felicia.

'Sepertinya aku mendengar suara dia,' batin Felicia dengan matanya yang merasa berat untuk ia buka.

"Fei! Apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu nggak memberi tahu aku?" ujar Ansel seraya mencoba menggapai Felicia yang berada di dekapan Kavin, ia merasa panik dan bingung dengan Felicia yang merasa telah menghindari dirinya.

"Siapa kamu? Maaf jangan sembarangan menyentuh dia," ucap Kavin dengan menepis tangan Ansel yang hendak menyentuh rambut Felicia.

"Aku ..." jawab Ansel terpotong tak kala Felicia dengan cepat memanggil Kavin.

"Kavin," panggil Felicia dengan nada lemah.

"Hmm," jawab Kavin dengan lembut.

"Tolong bawa aku ke klinik," pinta Felicia dengan lemas.

"Baik," jawab Kavin.

"Fei, biar aku yang membawa kamu ke sana!" usul Ansel dengan wajah panik.

"Ansel," lirih Felicia dengan wajahnya yang mulai muram.

"Tidak apa-apa, kelas kita juga tidak sama. Akan sulit minta izin ke guru nanti, lagian kelas juga sudah mau mulai. Kamu sebaiknya segera masuk saja ke dalam kelasmu," ujar Felicia dengan menunjukkan senyum ramah.

"Tolong Kavin," pinta Felicia dengan kembali menyenderkan kepalanya pada Kavin.

"Kamu apakah baik-baik saja? Apakah masih bisa berjalan?" tanya Kavin khawatir.

"Iya," jawab Felicia, lalu Kavin pun memapah tubuh Felicia, mereka berjalan melewati Ansel begitu saja. Ansel merasa sedikit sakit dan tertegun dengan apa yang baru saja Felicia dan Kavin lakukan.

Ansel masih mematung di tempat tanpa memutar tubuhnya melihat kepergian Felicia dan Kavin, saat Felicia hendak pergi meninggalkan Ansel, ia menengok ke kiri di mana Ansel yang saat ini masih mematung.

'Hanya senyuman itu yang mampu aku berikan padamu, hampir mengeluarkan seluruh tenagaku, Ansel maaf!' batin Felicia sebelum akhirnya melanjutkan langkah kakinya dan belok ke arah pintu keluar.

'Maaf Ansel, hanya dengan begini aku menghindar dari kamu. Aku bisa dengan perlahan-lahan berhenti bersandar kepadamu,' batin Felicia dengan tanpa sadar ia mulai mengeluarkan air matanya.

Kavin melirik ke arah Felicia, ia melihat air mata Felicia telah mengalir begitu deras. Ia hanya bisa diam dengan menggigit bibirnya, entah apa yang saat ini ia rasakan. Ia merasa sakit di saat melihat gadis yang ada di sampingnya menangis dan terluka.

"Maaf, lagi-lagi kamu melihat kondisi ku yang seperti ini, sungguh memalukan sekali ..." ujar Felicia dengan menundukkan kepalanya.

"Tidak apa-apa, kalau kamu mau menangis. Menangis lah di pundakku, berapa kali pun kamu mau, aku akan pinjamkan bahuku untukmu." ujar Kavin, seraya merangkul Felicia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!