8. pingsan

Felicia pun hanya meringis, "hehehe, maaf kan Felicia mah, pah ... sudah Papa jangan menangis lagi, lihat ingus Papa kemana-mana. Mama saja tidak menangis, Felicia sudah baik-baik saja, Felicia sudah tak apa-apa, makasih banyak ya mah," ujar Felicia, seraya bangkit dari tidurnya.

"Aduh," keluh Felicia, ia meringis kesakitan seraya memegang kepalanya yang masih begitu nyeri.

"Hati-hati nak, kamu tadi pas jatuh terbentur kayaknya, lihat keningmu itu, sampai berdarah. Di tambah kamu tadi tertimpa tumpukan sabun dan sampo," jelas mama Felicia.

"Gegar otak tidak yah?" ucap Papa Felicia panik, ia masih saja meneteskan air matanya.

"Aku pasti akan baik-baik saja pah, bukannya aku dari kecil selalu sehat walafiat? Aku dari kecil kuat pah," jawab Felicia seraya tersenyum manis.

"Coba ku periksa, demam atau tidak? Bisa jadi gegar otak," sambung seseorang, yang tiba-tiba saja menyentuh kening Felicia.

"Mana mungkin!" seru Felicia seraya membuka matanya, dan betapa terkejutnya ternyata Ansel yang menyentuhnya.

"Ayok pah, bantu mama membuat teh!" ajak mama Felicia seraya menyeret tangan suaminya.

"Tapi mah, huhu maa ..." tolak sang Papa, namun mama Felicia menarik tangan sang suami dengan begitu kencang, hingga kini hanya ada Ansel dan Felicia di ruangan tersebut.

Ansel pun duduk di tepi ranjang, sedangkan mama dan papa Felicia keluar dari kamar putrinya, Felicia membulat kan kedua matanya tak percaya, Ansel mendekat kan wajahnya seraya berkata. "Tidak demam kok, harusnya kamu benar baik-baik saja," Seraya tersenyum manis.

Felicia langsung merasa seluruh tubuhnya merinding, ia di buat terkejut oleh kedatangan Ansel yang tiba-tiba, dan serangan Ansel yang tiba-tiba.

"An-Ansel?" ucap Felicia dengan tubuhnya yang merasa kaku.

"Sungguh membuat kaget aku saja, Mamaku masak daging panggang, dan menyuruhku untuk mengantarkannya ke sini. Aku kira kamu mati pas aku masuk," ucap Ansel dengan tersenyum dan nada santai.

Tanpa aba-aba, tiba-tiba satu kepalan tangan mendarat di wajah tampan Ansel, hingga mengeluarkan banyak darah dari hidungnya yang mancung, Ansel pun terkejut di buatnya, ia segera menutup hidungnya yang mengalir darah segar tersebut.

"Siapa yang mati!" gerutu Felicia dengan penuh amarah, ia berdiri dengan kepalan tangannya yang siap mendarat lagi. Sontak saja membuat Ansel bergidik ngeri, melihat sosok bidadari berubah menjadi sosok iblis yang amat menakutkan.

"Aku! Aku! Aku yang mati! Aku yang salah! Semua salah aku!" jawab Ansel dengan cepat, dan tubuhnya yang bergetar.

Sedangkan di luar sang Papa masih menghawatirkan sang putri semata wayangnya, ia pun menuju kamar putrinya dengan mengikis kan lengan kemejanya, sang istri pun tak mau kalah, ia buru-buru mengikuti langkah kaki suaminya itu. Namun setelah sampai di depan pintu kamar putrinya betapa terkejut mereka berdua, melihat seorang anak laki-laki yang amat mereka kenal, sahabat sekaligus calon menantu idaman mereka yang bercucuran darah saat ini. Sekaligus tampang Felicia yang penuh amarah dengan mengepal kan tangannya yang siap untuk menghancurkan wajah tampan tersebut.

Mama Felicia pun buru-buru masuk menghampiri Ansel dan putrinya, ia duduk di samping Ansel dan langsung merangkul pundak Ansel, "nak kamu mimisan?" tanyanya pura-pura tak tahu apapun.

"Hehehe, tak apa Bibi. Ini sudah terbiasa kok Bi," jawab Ansel dengan tangannya yang masih menutup hidungnya.

"Oalah, sini biar Bibi bantu lapin pakai tisu."

"Terimakasih banyak ya Bi," jawab Ansel.

"Aku pergi mandi!" seru Felicia, ia berjalan ke dalam kamar mandi dengan wajah penuh amarah.

Sang mama pun hanya bisa menatap putrinya dengan heran, ia benar-benar khawatir akan sikap putrinya yang benar-benar brutal. Hanya Ansel yang sanggup selama ini tetap setia mau menerima dan menemani putrinya yang nakal itu.

 

Gemercik air shower yang terjatuh ke lantai serta membasahi tubuh Felicia, Felicia menggosok tubuhnya dengan sabun, seraya memikirkan pria yang super misterius.

'Tapi ... aku masih belum bisa melihat alis Kavin seperti apa, aku makin penasaran dengannya, ahh sial! Aku benar-benar menjadi teringat dan penasaran di buatnya, padahal hampir saja . ..' batinnya.

Ia pun membasuh sabun yang ada di tubuhnya, ia masih saja memikirkan bagaimana bentuk alis Kavin, sekaligus wajahnya atau keningnya.

'Atau jangan-jangan ... Itu semua hanya wig untuk menutupi kebotakan dini, atau dahinya yang terlalu jenong? 'Aku terlalu buruk rupa' ' batin Felicia, ia menahan tawanya agar tak keluar.

Sampai selsai mandi pun Felicia masih saja memikirkan masalah Kavin yang tak memiliki alis, ia kini menggunakan handuknya, ia pun membuka pintu kamar mandi dengan melamun.

'Ya ampun, apakah aku telah keterlaluan? Aku bertanya begitu dengan Kavin, apakah Kavin akan tersinggung? Itu pasti, pertanyaan seperti itu baginya terlalu sensitif. Seharusnya mulutku mampu menjaganya, ya ampun aku benar-benar keterlaluan,' batinnya.

"Sudah selesai?" tanya seorang pria yang kini berdiri kokoh di depan Felicia saat ini.

'Astaga! Dia masih di sini!' batinnya, ia terkejut di buatnya.

"Wah ... Feifei susah besar yah? Dari berbagai sisi," sambungnya lagi, dengan menunjukkan senyuman manisnya.

Mendengar pujian tersebut Felicia bukannya terharu atau merasa senang, ia justru semakin marah di buatnya. Felicia semakin tak terkendali saat Ansel melihat buah dadanya yang besar nan montok, hanya terbungkus kain handuk saja.

"Dasar! Lelaki mesum! Jangan sembarangan melihat wanita yang baru mandi!" serunya seraya melayangkan satu kakinya ke wajah tampan Ansel.

Bruk ...

Ansel tersungkur ke lantai dengan wajahnya yang bercucuran darah lagi, dan hidung Ansel pun berarah lagi lebih banyak. "Sa-sakit ... " keluh Ansel, dengan tangannya yang penuh darah yang terus keluar dari hidungnya.

"Maaf, ya sudah cepat pakai bajumu! Ayo temani aku pergi ke supermarket!" ucap Ansel seraya mengelap darahnya yang ada di tangan, lalu menyumpal hidungnya dengan tisu yang ada di meja rias Felicia.

'Oh astaga! Apakah benar-benar orang yang aku suka sejak kecil ini ada di depanku saat ini?' Batin Felicia dengan wajah datar.

Ansel pun pergi dari kamar Felicia, lalu Felicia buru-buru menutup pintu kamarnya. Ia pun menuju meja riasnya dan bercermin, menatap wajahnya dengan tampang yang saat ini wajah datarnya.

"Yah dia adalah pria idamanku, pria yang aku sukai sejak kecil. Ansel Arian Rendra namanya, kami selalu bersama semenjak masih di TK, SD, SMP dan kini SMA pun sama. " gumamnya seraya menyisir rambutnya, Felicia membayangkan saat-saat bersama pria idamannya dulu.

"Saat masih SMP kelas dua, dia masih sepundak ku benar-benar masih kecil. Tapi semenjak SMP kelas tiga, dia terus tumbuh tanpa henti. Aku masih ingat saat itu, hehe..." gumamnya seraya mengeringkan rambutnya.

"Dulu aku sering mengejek dia, sampai dia marah dan malu, karena waktu itu ... dia benar-benar pendek seperti kurcaci. Aku mengatai dia seperti kurcaci di depan umum, dan pura-pura tak mengenal dia hahaha sungguh tak terasa," gumamnya.

"Aku sejak kapan aku jatuh hati padanya? Entah sejak kapan, yang jelas pada saat itu ...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!