"Oh Tuhan, kemana manusia batu itu. Ini sudah tiga hari dia mengabaikan pesanku, dasar batu bucin yang baru bertemu bidadari." Gerutu Emry yang sedang pusing dengan berbagai pekerjaan menumpuk.
Mengerjakan beberapa pekerjaan, sudah biasa Emry lakukan. Tapi tidak untuk kali ini, Cakra melemparkan semua pekerjaannya kepada Emry. Bahkan sampai pada hal terkecil sampai terbesar, hal itu membuat Emry tidak bisa untuk beristirahat sejenak.
Perusahaan pusat maupun dari kantor cabang, banyak sekali yang mengirimkan berbagai berkas. Jika harus memilih, Emry lebih baik pergi menghilang saja. Dengan terpaksa ia harus menghubungi Dzacky, karena ia tahu. Sahabatnya itu tidak mempunyai banyak pekerjaan, namun sayangnya dia memiliki perusahaan yang hampir sama besarnya dengan milik Cakra. Hanya saja, dia kalah dalam jumlahnya.
"Ternyata, kepalamu sudah mulai menurun kualitasnya. Kenapa memintaku kemari?" Dzacky yang baru saja tiba diruangan Cakra dan mendapati Emry sedang bersandar memejamkan matanya.
"Bre***ek kau! Bantu aku menyelesaikan semuanya ini, bisa-bisa aku akan menjadi batu disini." Keluh Emry.
"Sama seperti tuanmu, batu." Dzacky menekankan kalimat itu agar Emry semakin emosi.
Plukh!
Lemparan pena itu melayang di udara, lalu mendarat dengan tepat pada landasannya.
"Sialan! Sini kau, akan aku pecahkan batu-batu ini." Dzacky mengejar Emry, lalu mereka saling kejar-kejaran di dalam ruangan itu.
Selesai berkejaran sepert anak kecil, kedua berhenti dengan nafas yang terputus-putus. Dengan cepat, mereka menyelesaikan semuanya yang menjadi keluhan dari Emry.
"Kau tidak ke rumah sakit?" Tanya Emry tanpa mengalihkan fokusnya dengan berkas-berkas dihadapannya.
"Untuk apa?" Dengan malas, Dzacky menjawabnya.
"Heh, biasanya kau akan selalu mengekor pada batu itu. Kali ini tumben ogah, aneh." Emry semakin suka menjahili.
Tidak ada jawaban yang Dzacky berikan, ia menghentikan aktivitasnya dan kepalan tangan itu sebagai tanda jika dia dalam keadaan tidak baik.
Menarik nafas beratnya dengan cukup panjang, Dzacky menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang ia gunakan. Kedua mata terpejam, dan itu tidak membuat Emry meneruskan kejahilannya.
"Aku terlambat." Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari mulut Dzacky.
"Maksudmu?" Heran Emry.
"Aku menyukai wanitanya, tanpa aku tahu jika dia sudah menjadi miliknya."
"Apa!!" Emry bangkit dari duduknya saat mendengar Dzacky mengucapkan kalimat tersebut.
"Kau g**la Ky! Kau tahu bukan, jika Cakra tidak suka dengan orang yang menyentuh miliknya. Aduh aduh." Emry menghempaskan kembali tubuhnya disamping Dzacky.
"Awalnya iya, setelah aku melihat semuanya dan nasihat dari bang Liam. Aku menyerah, hah." Terlihat dari sudut matanya, Dzacky mengeluarkan air mata.
Dimana pria ini sangat sulit untuk yang namanya suka pada wanita dan jatuh cinta, sekali perasaan itu hadir. Ia harus merelakan serta mengikhlaskannya untuk orang lain.
"Ah, kau ini. Hampir saja membuatku jantungan, tapi. Kau beneran suka sama Ayara?" Mengulangi pertanyaan untuk membuat keyakinan jika itu benar.
"Ish, tadi saja kau mengejekku. Sekarang, mengintrogasiku. Dasar bunglon! Sudahlah, aku mau ke rumah sakit saja. Tidak dapat orangnya, paling tidak mendapatkan perhatiannya. Bye." Dzacky beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar.
"Tuhan!! Kenapa aku mempunyai sahabat-sahabat yang aneh seperti mereka, ah! Lebih baik aku juga ikut kesana, lama-lama disini membuat kepalaku menjadi botak." Merapikan berkas-berkas yang ada, Emry pun mengikuti jejak Dzacky.
.
.
.
.
"Mom, pulanglah." Cakra meminta Yuri untuk pulang agar beristirahat.
"Kamu mengusir mommy? Dasar anak durhaka." Tatapa tajam Yuri membuat Cakra menghela nafas beratnya.
"Bukan begitu mom, mommy harus istirahat. Lagian, daddy mau diapakan. "
"Iya ya, mommy lupa. Aya, kamu cepat sembuh ya nak. Nanti akan mommu ajak jalan-jalan dan kita liburan, oke."
Ayara yang sudah sadar dari dua hari yang lali, kini kondisinya berangsur-angsur membaik. Dimana saat ia membuka matanya, pria yang sudah membuatnya kesal dan marah itu berada di sampingnya. Bahkan ibu dari pria itu juga ikut menjaganya dan bik Leha, sungguh membuat Ayara merasakan namanya keluarga.
"Iya nyonya, terima kasih." Masih begitu canggung untuk Ayara berbicara dengan orang-orang besar seperti mereka.
"Aduh, sudah berapa kali mommy bilang nak. Jangan panggil nyonya, kamu itu sudah mommy anggap sebagai anak sendiri. Apalagi nantinya kamu akan menjadi menantu mommy, jadi jangan pernah menggunakan kata itu lagi. Mommy, daddy. Oke sayang, mommy pulang dulu. Kasihan daddy kalian, banyak menganggurnya kalau sendirian." Lalu Yuri tertawa akan ucapannya sendiri.
"Mommy." Cakra menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap sang mommy yang bar-bar dihadapan Ayara.
"Kenapa? Cemburu? Dasar batu, tidak peka. Dah sayang, mommy pulang. Ingat pesan mommy, hubungi mommy jika pria ini berbuat macam-macam padamu. Dan bik Leha juga menunggumu sayang." Yuri mendaratkan kecupan kasih sayang seorang ibu pada keningn Ayara.
"Iya nyo... Mom." Kalimat itu benar-benar membuat Ayara kaku.
Dengan menghilangnya bayangan sang mommy disana, lalu Cakra mendekati Ayara dan mengusap keningnya dengan menggunakan tissue.
"Eh, tuan mau apa?" Ayara kaget dengan apa yang dilakukan oleh Cakra padanya.
"Ini, hanya aku yang boleh menciumnya. Bibir mommy penuh dengan virus, virus menyebalkan."
Keluarlah kekehan yang berasal dari Ayara, dan itu membuat Cakra meliriknya dengan tajam.
"Kamu tertawa?" Heran Cakra dan langsung berhadapan dengan Ayara dengan begitu dekat.
Kedekatan itu membuat Ayara menjadi kaku, ia tidak menyangka jika Cakra akan seberani ini padanya. Langsung saja ia memalingkan wajahnya, tanpa ia harapkan. Tangan Cakra menahan wajah itu dan tetap menatap dirinya, dan ia mendaratkan kecupan kilat pada bibir Ayara.
"Jangan pernah berpikir untuk merasa rendah diri dan tidak pantas berada disisiku, karena kamu adalah wanita yang terlalu spesial untuk selalu berada didalam kehidupanku. Katakan jika kamu sudah siap, karena mommy dan daddy sudah menyiapkan semuanya untuk kita." Penjelasan panjang itu berakhir dengan memeluk Ayara.
Dalam diamnya, Ayara seperti sedang kalut dengan pemikirannya sendiri. Berada dalam posisi seperti ini, membuat dirinya seperti tidak percaya dengan apa yang kini ia alami. Air mata itu mengalir begitu saja dari kedua mata Ayara, membuat Cakra menjadi panik.
"Hei, kenapa menanggis?"
Kepanikan itu sangatlah nyata untuk seorang Cakra, ia merenggangkan tangannya dan menatap wajah Ayara dengan cukup dekat. Memastikan hal apa yang menjadi penyebab Ayara menjadi menanggis, atau ada penyebab lainnya.
"Kenapa kalian begitu baik padaku." Dalam tanggisannya, Ayara menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Berhentilah menanggis, setelah ini. Aku pastikan kamu akan selalu bahagia, walaupun akan ada bumbu-bumbu halus yang memasukinya." Cakra menyakinkan Ayara akan ketulusan dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Bundanya Pandu Pharamadina
Cakra Ayara 👍❤❤❤❤
2024-03-21
2