Crossroads in Your Heart
Desiran dewi malam membelai pelan si surai hitam legam yang lurus. Sebuah daun yang berasal dari ranting rindang jatuh tepat di atasnya. Luruh dengan sendirinya sampai sebuah tangan menangkapnya. Bau petrichor mulai tercium, pasti sang awan akan kembali menangis malam ini. Bulan dan bintang, kedua benda itu juga tak terlihat sama sekali. Bersembunyi di balik awan dan membiarkan makhluk bumi mendesis pelan saat titik-titik air mulai jatuh secara perlahan. Semua orang mulai berhambur seperti gerombolan semut yang takut akan air. Memilih untuk melarikan diri dan mencari tempat berteduh, sekalipun mereka harus berhimpitan.
Meski hanya air, terkadang dampak dari luruhnya tetesan bening itu memang mengerikan. Seorang anak kecil merangsek masuk ke gerombolan orang di sudut halte bus dengan beringas. Sepertinya dia kedinginan mengingat dia hanya mengenakan pakaian yang tipis tanpa mantel tebal.
"Kakak, boleh aku memelukmu?"
Yang disapa hanya diam seribu bahasa. Enggan mengiyakan mungkin, namun rupanya si anak kecil merasa tidak puas akan respon yang dia dapat. Dengan keberanian penuh si anak kecil menarik ujung pakaian seseorang yang di panggilnya kakak tadi. Dan perbuatannya berhasil menarik perhatian seseorang yang sedari tadi menatap kosong ke arah jalanan. Namun penyesalan selalu datang terlambat, si anak terlihat ketakutan saat kepalanya mendongak ke atas. Tatapan mata yang tajam langsung menyapa atensinya. Si kecil yang sudah terlanjur menyapa hanya bisa meremat pakaiannya sendiri dengan susah payah, merasa terintimidasi.
"Dimana orang tuamu?" Dingin, singkat, dan jelas.
Tidak ada keramahan sedikitpun dari ucapannya. Terkesan begitu arogan dan kasar. Si kecil mulai sedikit terisak saat menyadari dirinya tak akan lagi dalam keadaan aman.
"Ramahlah sedikit pada anak kecil, tuan. Kau itu manusia bukan sih?"
Seorang gadis dengan perawakan mungil datang. Dirinya sudah seperti pahlawan kesiangan. Menatap sinis ke arah pemuda yang tengah menatap tajam ke arah anak kecil tadi. Si gadis membungkuk, mencoba untuk mensejajarkan diri pada anak kecil yang sudah membentuk anak sungai di kedua pipinya. Bertanya dengan kelembutan luar biasa seakan-akan dia itu adalah ibunya. Pemuda tadi hanya berdecih tak suka, kelihatan sekali dari raut wajahnya yang sudah ditekuk sempurna.
Mengabaikan dua insan yang berhasil mengusik ketenangannya, si pemuda langsung berpindah tempat dan mencari tempat yang lebih aman dari gangguan apapun. Sungguh, dirinya jengkel luar biasa saat seluruh perhatian mata tertuju kepadanya. Seakan dirinya baru saja menculik seorang anak kecil.
Cih, dasar manusia.
Mereka pasti sudah menduga-duga dan saling melempar opini atas apa yang dilihatnya. Menghakimi seolah dirinya adalah terdakwa yang harus dihukum mati.
Orang-orang berotak udang ini benar-benar menyebalkan. Dan lagi, apa-apaan tadi gadis kerdil bertingkah menjadi tameng dan mencoba cari perhatian. Menjijikkan sekali. Dasar pendek.
Si pemuda semakin mencebik kesal saat hujan semakin lama malah semakin deras dan mengotori sepatunya. Dia terlihat menghentakkan sepatu lalu mencoba menyingkirkan tetesan air hujan dari sepatu miliknya. Gerutuan kecil ternyata berhasil membuat sepasang mata yang sedari tadi tengah sibuk menenangkan adik kecil di depannya melirik. Mengerutkan keningnya tidak mengerti, lalu mengangkat kepalanya dan memandang langit.
Awan terlihat memutih, ini pertanda tidak bagus. Biasanya jika hujan turun dengan deras disertai awan berwarna putih kelabu maka hujan akan semakin mengguyur dengan waktu yang cukup lama. Tapi kenapa pemuda itu terlihat marah-marah dan menghentakkan sepatunya dengan kesal?
Bukankah dirinya juga sudah berhasil berteduh tanpa basah sedikitpun? Sendirinya juga sudah berhasil membuat anak orang menangis.
Tersinggung?
Si gadis hanya mengerdikkan bahu tak acuh lalu kembali terlihat perbincangan kecil dengan anak di depannya.
Lima belas menit berlalu tak ada perubahan yang berarti, hujan masih tetap mengguyur. Hanya saja beberapa orang lebih memilih menerjang lebatnya hujan karena kedatangan bus yang terlambat.
Menyisakan gadis tadi dan pemuda yang sibuk dengan sepatunya. Sedangkan si anak kecil sudah pergi bersama orang tuanya.
Jung Yerin, gadis dengan surai hitam legam itu mengusap lengannya pelan karena suhu udara yang mulai dingin. Ingin sih dirinya menerjang saja, tapi dia lebih sayang pada kesehatan badannya. Mungkin dia bisa saja pulang lebih cepat namun jika langsung sakit di keesokan harinya. Niat untuk menerjang hujan harus dia pikirkan berkali-kali.
"Cepat jemput, bodoh!”
Yerin langsung menoleh ke sumber suara dan di detik itu juga atensinya bertabrakan langsung dengan manik milik si pemuda. Pemuda itu terlihat menelepon seseorang. Yerin langsung membuang muka dan mengalihkan pandangannya pada langit yang masih setia menurunkan hujan. Detak jantungnya berdetak tak karuan, hingga rona merah sepertinya mulai menjalar ke area wajahnya.
Sial.
Yerin memang tidak bisa jika dirinya harus bertatap mata secara langsung seperti tadi. Tidak hanya pada seorang pria, wanita juga sama saja. Dirinya memang tidak suka dengan hal yang demikian. Banyak dari teman Yerin yang mengeluh karena gadis itu hampir tak pernah menatap satu per satu wajah teman-temannya ketika mereka terlibat pembicaraan. Alhasil, dirinya sering salah mengenali temannya sendiri.
Lima menit kemudian bus datang dengan membawa penumpang yang terlihat berdesakkan di dalam sana. Yerin menghela napas lelah, dirinya harus kembali berdiri selama perjalanan pulang, setidaknya dia harus bersyukur karena masih bisa mendapatkan bus di situasi seperti ini. Sekali lagi, melirik si pemuda tadi yang terlihat masih bergelut dengan benda persegi panjang bernama ponsel.
Yerin memutuskan untuk segera naik ke dalam bus saat melihat langit yang kembali berhiaskan awan hitam. Bersiap mengguyur dan menumpahkan muatannya. Yerin harus berdiri untuk beberapa saat, pandangan matanya dia jatuhkan pada deretan pohon di pinggir jalan yang bergoyang pelan tertiup angin. Lalu memori di otaknya kembali mengingat kejadian yang baru saja dia alami di halte tadi. Tanpa sadar Yerin mengulas senyum tipis dan lagi jantungnya kembali berdegup aneh.
"Jantungku sepertinya memang sedang tidak sehat."
Yerin menepuk-nepuk tubuh bagian depannya itu dengan gerakan teratur. Karena setiap kali jantungnya berdegup dengan kencang maka wajahnya akan terasa panas.
Butuh waktu lima belas menit untuk sampai rumah. Yerin berjalan pelan saat memasuki pekarangan rumahnya. Rumah gaya tradisional dengan pelataran yang luas serta berbagai tanaman hias berkumpul dan membentuk sebuah taman kecil di sebelah kiri pelataran.
Terlihat begitu cantik jika dipandang pada pagi hari. Disana, di balai bambu yang lumayan besar seorang wanita yang usianya menginjak hampir 85 tahun terlihat tengah menunggu seseorang. Siapa lagi jika bukan Yerin, karena memang dirinya hanya tinggal bersama nenek, sedangkan orang tua Yerin tinggal di luar kota untuk bekerja.
"Ayo cepat masuk. Angin malam tidak baik untuk kesehatan." titah sang nenek.
Yerin berhenti melangkah dan membiarkan neneknya pergi masuk ke dalam rumah terlebih dahulu. Memandang punggung renta yang masih setia menunggunya pulang meski hingga larut malam. Neneknya memang yang terbaik.
...°°°
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
handa_seokjin🥀
aaa kata² y indah bgt, Uda lama cari novel yg banyak menceritakan kehidupan , hayalan y Kya q yg jadi Yerin sangking mendalamin cerita author yg ditail, menceitakajnhal2 di sekitar, semangat thorrr lope sekebonnnn 💋💋💋💋💋💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜
2023-09-22
1
Erni Fitriana
masyaAllah rangkaian kata' mu thorrrrrr👍🏾👍🏾👍🏾👍🏾..all the best y thor
2023-07-24
2
Harpena1
Keren thor, elegan sekali. Lanjut thor. Semangat
2023-06-24
2