Bunyi pin nomor pintu apartemen terdengar, menandakan seseorang sedang menekan pin nomor apartemen itu dan itu pastinya Hebat. Bina yang ada di dapur, berlari ke arah pintu dan langsung berdiri di depan pintu sana untuk menyambut kedatangan pria itu.
Bina berdiri tegak layaknya seorang pramugari.
"Selamat datang!" Bahkan Bina membungkuk ketika mengucapkan salam pada Hebat yang baru saja membuka pintunya.
Hebat malah mengerutkan keningnya, heran melihat tingkah Bina yang terlalu formal dengan membungkuk sambil menyapanya seperti pelayan restoran.
"Kau sedang menyambut tamu?" sindir Hebat tersenyum sinis, dan ia bicara sembari melempar jas luarnya ke depan wajah Bina.
"Nggak heran sih. Karena kamu memang seorang pelayan." Pria itu juga sedang berjalan melewati Bina dan langsung duduk di sofa.
Bina tidak mengatakan apapun meski ia sadar dirinya telah disindir oleh Hebat. Ia hanya fokus dengan tugasnya melayani Hebat, dan perempuan itu segera mendatangi Hebat. Kemudian langsung mengambil posisi berlutut di depan pria itu. Dengan kepala menunduk, Bina membuka sepatu Hebat satu persatu-satu.
Hebat pun sudah tak kesal lagi dengan Bina karena Bina sudah paham dengan statusnya sebagai pelayan pribadi yang melakukan tugasnya tanpa harus diingatkan lagi. Namun, Hebat tiba-tiba teringat dengan pujian Maikel yang ditujukan pada Bina.
"Para pria menganggap dirimu sangat cantik. Dari wajahmu, kamu memang cantik!"
Mendengar pujian Hebat, membuat Bina kaget karena pria itu tiba-tiba saja memujinya. Akhirnya ia mengangkat wajahnya menatap Hebat.
Hebat kembali tersenyum sinis. Lalu, ia memajukan wajah sinisnya, menatap Bina lebih dekat. Mata Bina terbuka lebar karena makin kaget dengan Hebat yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya.
"Ke-kenapa?" tanya Bina gagap.
"Bagi pria lain, wajahmu memang mungkin idaman mereka tapi dimata saya, wajah cantik seperti dirimu nggak ada gunanya. Bahkan sedikitpun bagian dari dirimu, nggak ada yang menarik perhatian saya. Bagi saya, wanita licik sepertimu, memang pantasnya dijadikan pelayan. Kau hanya sampah. Bahkan pelacur lebih baik dibanding kamu. Tahu kenapa? Karena pelacur hanya melayani pelanggan mereka. Tidak seperti dirimu yang melakukan segala cara untuk merebut milik orang. Kau pasti tahu maksud saya."
Setelah menghina Bina, Hebat berdiri dari tempat duduknya, sedangkan Bina masih berada di tempatnya dengan wajahnya yang masih menunduk. Ternyata, ia meneteskan air matanya gara-gara tidak tahan mendengar hinaan Hebat. Hatinya begitu sakit meski seharusnya ia tidak boleh memasukkan ke dalam hatinya perkataan orang yang tidak menyukainya.
"Tinggal tiga minggu lagi, Bina. Kamu harus tahan sampai cerai dari orang kasar itu." Bina berusaha untuk sabar dengan bicara sendiri sembari mengelus dadanya agar ia kembali tenang.
"Bina!" teriak Hebat di kamar.
Bina buru-buru menghapus air matanya dan berdiri kemudian dengan cepat masuk ke kamar Hebat dan mendatangi Hebat yang berdiri di depan lemari pakaian. "Ya tuan!"
"Kopi." Hebat bicara tanpa melihat Bina dan hanya fokus membuka satu persatu kanci kemejanya.
Tanpa mengatakan apapun, Bina keluar dan berjalan menuju dapur. Setelah membuat kopi, ia kembali masuk ke kamar Hebat membawa kopi buatannya. Ia meletakkan kopi itu di atas meja sembari memandang ke arah kamar mandi karena mendengar suara air di sana.
Bina tetap berdiri di tempatnya, menunggu Hebat keluar karena tidak ingin membuat kesalahan jika ia pergi begitu saja sebelum bertemu Hebat.
Menit berikutnya, Hebat keluar dari kamar mandi. Disaat yang sama, ponsel Hebat berdering dan Hebat segera mengambil ponselnya di atas meja-di dekat Bina berdiri. Kemudian mengangkat panggilan dari Heniya.
"Ya sayang!" Hebat menyapa duluan sembari memutar badannya untuk menjauh dari Bina agar dirinya bisa bicara tenang dengan Heniya tapi kemudian ia berbalik lagi melihat Bina dan menunjuk kopi di atas meja.
Bina meraih kopi itu dan memberikannya pada Hebat. Hebat mengambilnya tanpa memandang atau melirik wajah Bina, ia hanya fokus mendengar Heniya bicara sembari meneguk sedikit kopinya. Tampak senyuman diwajah pria itu ketika membalas ucapan Heniya dibalik telfon.
Bina masih tetap di tempatnya hingga membuat Hebat kembali menoleh melihat wanita dengan tajam. "Ngapain kamu masih disitu? Cepat keluar sana!"
Bina pun keluar dari sana, dan sempat melirik Hebat yang kembali tersenyum.
"Ternyata dia bisa tersenyum juga," gumam Bina saat berada di luar kamar.
Sementara di dalam kamar, Hebat masih asyik bicara dengan Heniya.
"Sayang, kenapa kamu izinin pelayan itu masuk ke kamar kamu?" Heniya protes pada Hebat karena meski ia percaya pada Hebat yang tidak akan tergoda sama Bina tapi ia tetap tak senang jika perempuan itu dekat dengan kekasihnya.
"Dia pelayan pribadiku, Hen. Dan dia masuk ke kamar buat antar kopi."
"Kamu harus hati-hati sama dia sayang. Dia udah jebak kamu sampai kamu menikahinya. Dan pastinya dia punya rencana untuk membuat kamu nggak bisa menceraikan dia."
"Aku nggak akan biarkan hal itu terjadi Hen. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan itu. Aku nggak akan mudah terjebak lagi dengan perempuan seperti dia."
Saat ini, Heniya berada di sebuah bar milik kakaknya. Ia sedang bersantai di sana bersama dengan salah satu teman perempuannya, dan tempat itu tidak terlalu ramai. Hanya didatangi oleh kenalan Hery.
"Hen, kamu benar-benar sabar banget. Kalau aku yang ada di posisi kamu, aku udah bunuh wanita yang berani merebut tunanganku." Gita yang merupakan teman Heniya, menyahut setelah melihat Heniya selesai bicara dengan Hebat.
"Aku nggak sesabar seperti yang kamu pikirkan Ta. Malah aku pengen banget bunuh wanita itu setiap kali mengingat dia ada di apartemen Hebat. Kalau aja Hebat nggak selalu ngingetin aku untuk tetap tahan, aku udah lama singkirin wanita itu." Heniya meneguk minumannya setelah bicara.
Disaat yang sama, Maikel datang dan langsung mendekati Heniya dan Gita. Bahkan Maikel langsung duduk di sebelah Heniya. "Apa kabar Hen?"
Heniya terlihat tak senang melihat Maikel datang. Ia menatap dingin lelaki yang tengah tersenyum kepadanya. "Kamu ngapain di sini?"
"Ketemu sama Hery."
Heniya tampak sinis. "Hery nggak ada di sini. Kalau mau cari dia. Pergi ke rumahnya. Dia ada di sana dengan pacar barunya."
"Kalau gitu, aku di sini saja. Kebetulan, ada kamu dan aku kangen mau ngobrol sama kamu."
Heniya tidak ingin memberikan kesempatan pada Maikel untuk mendekatinya. Terlebih setelah ia tahu bahwa Maikel menyukainya. Karena itu, ia berdiri dari tempat duduknya.
Namun Maikel ikut berdiri dan menarik tangan Heniya, menahan perempuan itu tetap di sana. "Tunggu Hen!"
Heniya menoleh tajam. "Ada apa?"
"Aku heran sama kamu Hen. Hebat udah mengkhianati kamu tapi kamu masih bertahan sama dia. Hen, kamu itu perempuan terhormat. Jangan rendahkan dirimu dengan tetap bersama pria yang sudah menikah."
Heniya tersenyum sinis lagi menatap Maikel. "Hebat layak membuatku merendahkan diriku. Dia pria yang selalu menghargaiku sebagai perempuan dan selalu meninggikan ku di depannya. Nggak kayak seseorang yang hanya suka bermain-main."
Setelah menyindir Maikel, Heniya dan temannya pergi dari sana. Maikel memukul meja lalu meneguk habis minuman alkohol digelas Heniya karena marah melihat Heniya memperlakukannya seperti itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments