Bab 11. Menyingkirkan Bina Demi Heniya

Hebat keluar dari kamarnya untuk makan malam, dan di ruang makan masih ada Bina yang menunggunya. Perempuan itu menarik kursi untuk Hebat saat Hebat berada di depannya, dan Hebat juga duduk di sana. Dengan sikap dinginnya, Hebat melipat kedua tangannya sembari berasandar memperhatikan Bina meletakkan piring kosong di depannya.

“Silahkan tuan!” kata Bina setelahnya.

Namun, Hebat malah terlihat tak senang melihat piring kosong itu. Bahkan ia menatap Bina dengan tajam. “Saya jadikan kamu pelayan, bukan cuma berdiri tanpa melakukan apapun. Tugasmu itu melayani saya, Bina!”

Tanpa mengatakan apapun, Bina mengambil tempat nasi dan memberikan nasi ke piring Hebat, juga memberikan semua jenis lauk ke piring Hebat. Kemudian menuangkan air ke dalam gelas minum Hebat. Setelah itu, ia kembali menatap Hebat. “Sudah tuan. Silahkan makan!”

“Sendok dan garpu!” kata Hebat sembari melihat Bina serta sendok garpu secara bergantian, dan ia masih melipat kedua tangannya.

Bina tidak segera menuruti Hebat. Ia malah mengerutkan keningnya, menatap sendok dan garpu yang berada tepat di depan lelaki itu. Ia kesal dengan Hebat yang sungguh menguji kesabarannya.

Namun detik berikutnya, ia mengambil sendok dan garpu itu lalu memberikannya pada Hebat layaknya seorang pelayan. Setelah itu, Bina kembali berdiri tegak di samping meja makan, menunggu perintah dari lelaki itu. ‘Sendoknya ada di depannya dan dia tinggal mengambilnya tapi malah menyuruhku. Dia benar-benar sedang menguji pertahananku,’ batin Bina mengeluh dengan sikap lelaki itu, dan ia mengeluh sembari memperhatikan Hebat yang mulai makan santai di depan matanya.

“Air!”

Gelas air berada tepat di samping piringnya, dan ia tinggal meraih gelas air itu tapi lagi-lagi, Hebat malah menyuruh Bina. Meski kesal dengan tingkah Hebat tapi Bina tentu saja menurut karena tidak ingin diomeli oleh Hebat. Ia mengambil gelas air itu lalu menyodorkannya pada Hebat.

Setelah minum, Hebat berdiri dan kembali masuk ke kamarnya. Sementara Bina membersihkan meja makan dan merapikannya lalu membaringkan tubuhnya di sofa. Karena tidak punya tempat tidur dan Hebat melarangnya tidur di kamar, Bina terpaksa tidur di sofa.

Apartemen Hebat memang mewah dan luas tapi apartemen itu didesain sendiri oleh Hebat yang hanya memiliki satu kamar luas. Alhasil, Bina hanya bisa tidur di ruang tengah tapi untungnya, sofa yang ada di depan TV, luas dan lebar seperti tempat tidur, cukup ditiduri oleh satu orang.

Menit berikutnya, Bina bersiap untuk tidur tapi pintu kamar Hebat tiba-tiba terbuka, dan itu membuat Bina seketika beranjak dari tempatnya berbaring. Ia pun langsung berdiri menatap Hebat di depan pintu kamar.

“Tuan perlu apa?” tanya Bina kemudian.

“Buatkan kopi susu dan bawa ke ruang kerjaku!” Setelah memberi perintah, Hebat melangkah menuju ruang kerja yang tak jauh dari kamarnya, sedangkan Bina ke dapur.

Di sana, Bina membuatkan kopi susu untuk lelaki itu lalu membawanya masuk ke ruang kerja Hebat. Ia masuk setelah mengetuk pintu dan setelah disuruh masuk oleh Hebat. Hebat sama sekali tak mengangkat wajahnya ketika Bina melangkah masuk. Pria itu tetap fokus pada komputernya.

“Ada lagi tuan?” tanya Bina setelah ia menyimpan kopi itu di atas meja, tepat di depan Hebat.

“Keluarlah!” titah Hebat tanpa sekalipun memandang Bina.

Dianggap sebagai pelayan, Bina tetap harus bersikap seorang pelayan dengan membungkuk hormat sebelum keluar dari tempat itu. Dan ia kembali berbaring di sofa.

Keesokan paginya, sekitar pukul setengah enam pagi, Bina terpaksa bangun lebih dulu dari Hebat agar ia bisa membuat sarapan paginya, karena jika Hebat sudah bangun duluan, ia takut tak punya waktu membuat sarapan. Dirinya pasti akan sibuk melayani Hebat yang lebih ribet dari perempuan.

Selesai membuat sarapan, Bina berdiri di depan pintu Hebat, menunggu panggilan pria itu. Baru semenit berdiri di sana, Hebat berteriak memanggil. “Bina!”

“Ya tuan!” Bina buru-buru masuk mendatangi Hebat yang saat ini tengah duduk di tepi kasur. Pria baru saja bangun dan langsung berteriak memanggil Bina.

“Ada apa Tuan?”

Hebat mengangkat wajahnya dan menatap dingin istrinya yang berdiri di hadapannya. “Air minum di kamar saya habis dan kamu tidak menyediakannya. Apa saja yang kau lakukan semalam?”

Bina melirik gelas kosong di atas meja nakas, tepat di samping tempat tidur Hebat. Ia tidak tahu bahwa ia juga harus memeriksa setiap saat gelas air minum pria itu.

“Maafkan saya tuan! Semalam saya lupa!” Bina tidak ingin dirinya semakin dimarahi jika mengatakan bahwa ia tidak  tahu jika ia harus memperhatikan gelas kosong itu. Ia memilih meminta maaf agar Hebat tidak emosi padanya.

“Lain kali saya nggak mau dengar kamu lupa lagi. Sekarang ambilkan air! Saya mau minum!” titah Hebat.

Bina meraih gelas kosong itu kemudian berjalan cepat keluar dari kamar Hebat. Tak lama, Bina kembali membawa air minum untuk Hebat, dan Hebat masih duduk di tepi kasur, menunggu Bina.

“Airnya tuan!” kata Bina sembari menyodorkan gelas air itu di depan Hebat.

Tanpa mengatakan apapun dan hanya memasang ekspresi datar, Hebat meraih gelas itu lalu meminumnya sampai habis. Ia kembali menyerahkan gelasnya pada Bina kemudian berdiri dari sana dan melangkah masuk ke kamar mandi.

Bina menghela nafas lelah sembari meletakkan gelas kosong itu ke atas meja. Karena tahu bahwa Hebat masih membutuhkannya, ia pun tetap berdiri menunggu Hebat selesai mandi. Sekitar sepuluh menit lebih, Hebat keluar dari kamar mandi dan melangkah ke ruang gantinya tanpa sekalipun melirik Bina. Bina yang melihat suaminya keluar, melangkah mengikutinya. Di sana, ia hanya berdiri di dekat pintu ruangan sembari memperhatikan Hebat yang sedang memilih pakaian kerjanya.

“Ambilkan sepatu hitam!” Hebat memberi perintah tanpa memandang Bina, dan hanya sibuk memasang kemeja putihnya.

Bina yang mendengar perintah lelaki itu, segera mengambil sepatu untuk Hebat dan ia tahu bahwa tugas selanjutnya adalah memakaikan sepatu itu ke kaki Hebat. Karenanya, Bina meletakkan sepatu itu di depan sofa duduk di samping pintu kamar gantinya. Kemudian Hebat duduk di sana setelah ia berpakaian rapi dengan setelan jas coklat mudanya. Bina yang kini berlutut di depan Hebat, memasangkan sepatu itu dikedua kaki Hebat secara bergantian.

“Hari ini, kamu jangan balik ke apartemen sampai malam. Heniya mau datang kemari dan saya nggak mau dia jadi kesal karena melihat kamu berada di sini,” ujar Hebat yang membuat Bina sedikit kaget.

Bina mengangkat wajahnya, menatap Hebat. “Saya harus ke mana?”

“Terserah. Ke mana kek gitu? Saya nggak peduli. Yang penting kamu nggak nunjukin muka kamu di depan Heniya.” Demi bisa berdua-duaan bersama Heniya dengan damai, Hebat harus menyingkirkan Bina dari apartemennya. Ia tak peduli ke mana perempuan itu menghilang.

Bina hanya menghela nafas pelan dengan wajah sedikit menunduk tapi detik berikutnya, ia berdiri setelah selesai memasang sepatu Hebat. “Tuan jangan khawatir! Hari ini, saya bakal tinggal sebentar di rumah sepupu saya!”

Sepulangnya dari kampus, Bina terpaksa ikut pulang bersama Yurvi. Untungnya, Om Azil tidak ada di rumah, dan hanya ada Yurvi di rumahnya. Jadi, Bina tidak harus mengambil alasan untuk berbohong pada Om Azil mengenai dirinya yang tiba-tiba datang menginap di sana.

Terpopuler

Comments

Ceu Markonah

Ceu Markonah

namanya aja Hebat
kelakuannya mirip iblis

2023-06-07

0

Ucie Indria

Ucie Indria

klw bisa ada pengganti hebat utk bina,gak mau klw bina sama hebat

2023-06-07

3

Denita Precilla

Denita Precilla

Hebat keterlaluan sekali

2023-06-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!