Bukannya peduli dengan Bina yang ia dorong, Hebat justru lebih mengkhawatirkan keadaan Heniya. Hebat bahkan tidak melirik istrinya yang saat ini memperhatikannya sembari memegang pinggangnya yang sakit.
"Kamu nggak apa-apa sayang?" tanya Hebat sembari memegang kepala Heniya dengan dua tangannya, dan ia juga membantu Heniya merapikan rambutnya yang acak-acakan.
"Selain rambutku yang dia tarik. Dia juga menampar wajahku." Meski Heniya tahu bahwa apapun yang ia lakukan, Hebat akan berada di pihaknya tapi ia tetap berbohong pada Hebat karena ingin Hebat semakin benci dan dendam pada Bina.
Bina berdiri dan menyahut disaat Hebat menoleh dingin ke arahnya. "Saya nggak pernah tampar kamu."
"Diam kamu!" bentak Hebat, dan itu membuat Bina tersentak kaget.
Sementara Heniya tersenyum miring dengan raut wajahnya yang senang melihat Bina dibentak oleh Hebat.
"Kamu benar-benar wanita yang licik. Saya sudah baik dengan tetap membiarkanmu kerja di sini tapi kamu malah berbuat kasar pada tunangan saya. Kamu bukan hanya nggak punya rasa malu tapi kamu juga nggak punya rasa takut. Kamu memang pantas dibilang wanita hina, Bina." Hebat melanjutkan kata-katanya yang menyakiti perasaan Bina.
"Saya sudah bilang, saya nggak pukul dia. Justru Nona Heniya lah yang duluan datang menampar wajah saya." Bina tidak ingin terus disalahkan. Jadi meski ia takut pada amarah Hebat, ia tetap membela dirinya.
"Heniya nggak akan pukul orang duluan kalau bukan kamu yang duluan memprovokasinya. Saya tahu jelas siapa Heniya."
"Semua orang yang ada di sini melihat kalau yang duluan datang memarahi saya adalah Nona Heniya," ujar Bina sembari melihat semua orang yang sejak tadi memperhatikannya.
Hebat malah tersenyum sinis. "Huh, kamu yang cuma pegawai magang di sini, harusnya diam saja kalau Heniya memarahimu karena dia pantas benci dan marah sama kamu tapi kamu bertindak seperti nyonya besar di sini! Bangunlah Bina! Kamu bukan siapa-siapa saya selain bawahan saya. Kalau kamu masih mau magang di hotel saya, kamu duduk diam dan lakukan pekerjaan mu dengan baik. Mengerti."
Meskipun Bina tidak berharap dipedulikan oleh Hebat tapi ia tidak menyangka bahwa pria itu sungguh membencinya sampai dirinya tak diakui sebagai istri, bahkan pria itu mendorongnya.
"Ya. Mengerti Tuan!" Sebagai bawahan yang sangat membutuhkan pekerjaan ini, Bina tetap harus menghormati Hebat tanpa memikirkan statusnya yang sudah menikah dengan Hebat.
Hebat sudah tidak ingin bicara dengan perempuan yang ia anggap sebagai pelayan. Karena itu, Hebat menarik tangan Heniya pergi meninggalkan Bina yang malah dipandang hina oleh orang-orang di sana. Dirinya dianggap sebagai wanita penggoda hingga orang-orang itu mencibirnya, bahkan teman kerjanya yang sama-sama bekerja dengannya pun tak senang padanya.
"Bina, kamu itu cuma pegawai magang di sini. Sedangkan Nona Heniya, putri orang kaya yang terhormat. Kamu akan kesulitan kalau kamu berani sama dia. Untungnya Tuan Hebat datang dan menolong kamu. Kalau nggak, Nona Heniya pasti sudah menyeret kamu sekarang." Teman kerjanya itu berusaha memperingatinya tapi Bina tampak tidak senang karena merasa tidak bersalah.
Meski begitu, Bina hanya diam saja karena sudah lelah berdebat. Toh, ia tetap salah dimata orang.
Sementara Hebat kini berada di ruangannya bersama Heniya. Pria itu kembali memeriksa Heniya yang mungkin masih kesakitan gara-gara Bina.
"Kamu benar nggak apa-apa Hen? Pipimu yang dipukul wanita itu, nggak sakit?" tanya Hebat yang duduk di samping Heniya sembari melihat kedua pipi Heniya secara bergantian.
"Nggak sayang. Aku udah nggak apa-apa." Heniya menjawab sembari tersenyum memegang kedua tangan Hebat.
"Oke, gimana kalau kita makan siang dulu? Kamu pasti lapar," kata Hebat.
"Iya tapi aku mau makan siang di restoran yang biasa aku datangin sama teman-teman."
"Oke kita ke sana!" Hebat pun berdiri lalu mengulurkan tangannya pada Heniya, dan Heniya memegang tangan tunangannya itu sembari berdiri dari sana.
"Sayang, pegawai magang kamu itu sebaiknya kamu pindahkan aja di bagian kebersihan. Itu lebih cocok untuknya. Menjadi Cleaning Service." Heniya bicara sembari berjalan bergandengan tangan dengan Hebat.
"Dia itu keponakannya Om Azil. Dan Om Azil yang masukin dia magang di hotel ini. Kalau aku berbuat begitu, Om Azil bakal tersinggung. Aku nggak mau bikin masalah jadi rumit Heniya. Lagipula, dia cuma magang di sini. Dia nggak akan lama kerja di hotel, jadi kamu tenang aja sayang. Bersabarlah sampai dia pergi!"
Heniya menghela nafasnya dengan raut wajahnya yang tidak senang tapi ia tetap mendengarkan Hebat. "Iya sayang."
Sementara Bina kini makan siang di kantin hotel khusus karyawan. Di sana, ia ditemani oleh temannya.
"Aku dengar kamu habis bertengkar dengan Nona Heniya, betul Bi?" tanya Sifa.
Bina yang tidak menatap Sifa dan tetap fokus makan, mengangguk pelan.
"Kok bisa sih Bi?" tanya Sifa heran karena ini pertama kalinya Bina bertengkar dengan orang.
Bina mengangkat wajahnya, menatap Sifa serius. "Dia keterlaluan. Cuma karena aku pegawai magang, dia sampai menghinaku."
"Bi, walaupun Nona Heniya nggak jadi nikah sama Tuan Hebat gara-gara skandal Tuan Hebat yang ditemukan tidur dengan wanita bayarannya tapi Tuan Hebat tuh masih sayang banget sama Nona Heniya." Semua pegawai di hotel itu tahu bahwa Hebat gagal menikah dengan Heniya dan Hebat malah menikahi perempuan lain. Namun tak ada yang tahu siapa perempuan itu karena Hebat berusaha menyembunyikan identitas Bina. Ia tidak ingin semakin malu jika dirinya ketahuan menikah dengan pegawai magang yang tidak bisa dibandingkan tunangannya yang jauh lebih baik.
"Iya aku tahu itu kok. Cuma nggak tahan aja sama kata-katanya."
"Iya tapi kamu ladenin dia malah bawa masalah besar buat kamu. Jadi biarin aja lah dulu sampai kamu selesai magang Bi. Aku juga nggak suka sifat dia yang seenaknya dan pengen banget pukul dia tapi dibandingkan emosiku, masa depanku lebih penting."
Mendengar nasehat Sifa membuat Bina sadar bahwa ia sungguh orang lemah yang tak punya kekuatan seperti nona besar yang disandang Heniya. Dirinya yang tak punya apa-apa, hanya mampu diam meski sebenarnya ia bisa melawan tapi itu akan menghancurkan dirinya sendiri.
Selesai makan siang, sekertaris Hebat yang bernama Serly, mendatangi Bina yang kala itu ingin keluar dari kantin. Bina dan Sifa kaget melihat sekertaris bos mereka datang. Terlebih tampang sekertaris itu, menakutkan, membuat mereka takut.
"Nona Bina, saya perlu bicara berdua, bisa?" Tanpa basa-basi, Serly bicara dengan tampang seriusnya melihat Bina dan temannya.
Bina melihat ke arah Sifa. "Sifa, kamu duluan aja. Nanti aku nyusul."
Sifa mengangguk kemudian buru-buru pergi. Kemudian Bina kembali melihat Serly.
"Mau bicara di mana Bu Serly?" tanya Bina.
"Ayo ke ruangan saya!" ajak Serly sembari memutar badannya kemudian berjalan mendahului Bina. Bina mengikuti di belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
istripak@min
kasihan bina
2023-06-27
1