Jangan mencela penampilannya, turuti apa keinginannya, dan keluarkan kata-kata manis yang bisa membuatnya tersenyum
Itu akan membuat dia menyukaimu
Yohan tersenyum miring saat membaca kembali pesan dan Ily di ponselnya. Luci rasanya melihat antusiasme gadis itu, namun miris juga menerimanya. Itu berarti Ily mendukung hubungannya dengan Tiffany.
Hari adalah hari Minggu di mana dirinya harus pergi bersama Tiffany. Dengan bantuan dan campur tangan Ily, tentu saja.
Sebenarnya sekarang Yohan merindukan gadis itu. Sejak hari pertama dirinya terpaksa harus menjauhinya, Yohan sangat tersiksa. Dia tak berada di sisinya, sehingga Yohan hanya bisa memantaunya dari jauh.
Di kelas ketika pelajaran di mulai, Yohan sangat bosan. Ketika istirahat, Yohan pergi ke perpustakaan untuk tidur. Ketika pulang, Yohan menunggu Ily dan akan mengikuti gadis itu diam-diam dari jarak jauh. Kemarin dia memergoki Ily membeli samyang dan dua pak yogurt di tangannya.
Yohan geram, namun dia tak bisa apa-apa sebab kesepakatan tetap kesepakatan. Jika ia melanggarnya, jauh dari Ily akan bertambah satu minggu dan membuat dirinya semakin tersiksa.
Tersisa dua hari lagi. Yohan harus kuat.
Ketika bercermin, Yohan tertawa pada dirinya. Kini ia sudah siap dan akan berangkat sekitar tiga menit lagi. Yohan tertawa pada dirinya yang bodoh, yang menipu diri dan sangat mengecewakan.
Sebenarnya sekarang ia telah menyadari perasaannya pada Tiffany. Mungkin pertama kali melihatnya saat sedang mengobati luka, Yohan terpesona dan tertarik. Namun, ketika tak sengaja melihat Tiffany tanpa riasan saat gadis itu sedang berolahraga, Yohan merasa kesal. Entah kenapa, namun ia yakin perasaan yang Ily kira adalah cintanya untuk Tiffany hanyalah perasaan sesaat.
Buktinya, ketika melihat Tiffany di kantin dengan wajah sombongnya mengusir seseorang untuk mendapatkan tempat duduk yang diinginkan, Yohan langsung merasa marah.
Bukan seseorang yang cantik seperti Tiffany yang bisa menguasai hati Yohan, namun perlu juga hati baik seperti Ily untuk melengkapi kecantikan itu.
Dan hari ini Yohan berencana untuk mengakhiri kaitan dirinya dengan Tiffany. Langsung. Tanpa basa-basi. Sebab jika Yohan membuat Tiffany senang lebih dulu lalu membuatnya kecewa, itu akan sangat menyakitkan. Lebih baik langsung kecewa daripada diberi pengharapan lebih.
Perlu sepuluh menit untuk Yohan berada di city mall dan bertemu Tiffany lima menit kemudian dengan balutan dress selutut berwarna putih dengan rambut yang diikat satu seperti ekor kuda. Cantik. Tiffany sangat cantik, namun tak lagi mampu membuat Yohan gugup.
"Aku akan bicara langsung," kata Yohan cepat, pada intinya.
Tiffany mengernyit, menatap Yohan dengan bingung. Dalam hatinya, Tiffany telah mengira bahwa Yohan akan memuji penampilannya ataupun mengatakan ingin mengajaknya langsung berpacaran untuk setelahnya berkencan resmi. "Kenapa?"
"Aku tak suka padamu. Jangan terlibat denganku lagi." Yohan benar-benar serius, membuat Tiffany alat-alat terpukul.
"A-apa maksudmu?" Tiffany sangat terkejut dan matanya kini mulai berkaca-kaca. "Kenapa begitu?"
"Kamu melihatku sebagai laki-laki yang tampan, lalu menginginkanku. Sesederhana itu. Kamu tak menyukaiku sepenuhnya."
Tiffany membuang muka, tak percaya dengan pengakuan Yohan yang seperti ini. Harga dirinya terluka, sangat dalam. "Kita bicara di food court saja. Ayo."
Langkah Tiffany diikuti Yohan. Mereka duduk di salah satu meja kosong dan Tiffany segera melipat kedua tangannya dengan wajah datar. "Kamu dihasut seseorang, ya?"
"Apa? Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" Kening Yohan mengerut, pandangannya menusuk tajam. "Ini keputusanku. Tak ada campur tangan orang lain di dalamnya."
Tiffany tertawa hambar. "Kenapa kamu tak menyukaiku? Aku sempurna, seperti yang kamu lihat dan jika kamu tak suka, aku akan merubah diri. Cinta itu obat, penyembuh dan saling melengkapi."
"Aku tak cinta padamu. Tak akan pernah," tukas Yohan cepat.
Mata Tiffany langsung berkaca-kaca lagi. Napasnya berubah berat dan tampak sulit untuk bicara sampai satu menit kemudian suaranya kembali.
"Aku tak minta banyak, ya. Jawab dengan jujur. Kenapa?" tanyanya dengan suara pelan namun terdengar sedikit memaksa bagi Yohan.
Yohan menatap Tiffany, dan tak ada lagi tatapan lembut yang didapatnya seperti waktu itu. Tiffany seolah berubah karena lelah mengejarnya, dan Yohan sedikit bersyukur dengan itu. Artinya cinta Tiffany sama sekali tak tulus.
"Aku kesal padamu. Yang sombong karena paras cantik itu, yang bertingkah seenaknya karena wajah jelita itu, dan beranggapan semua orang menyukaimu sehingga kamu dengan mudahnya ingin memiliki seseorang yang menarik bagimu padahal rasa tertariknya itu hanya sementara. Kamu racun bagi orang-orang, Tiffany. Kamu jahat."
Mata Tiffany membulat. Terperangah sampai tubuhnya seolah membatu.
"Aku tak mau hidupku hancur gara-gara dirimu atau campur tanganmu. Kamu juga tak seharusnya berurusan denganku. Kita akan saling menyakiti." Yohan kemudian bangkit, namun sebelum benar-benar pergi dia menjentikkan jarinya di depan wajah Tiffany agar gadis itu mendongak menatapnya. "Ada yang harus aku jelaskan lagi?"
"Jadi, selama ini kamu sama sekali tak tertarik padaku?" tanya Tiffany, masih keras kepala untuk menarik perhatian Yohan.
Yohan tersenyum miring. "Aku tertarik pada cantikmu, namun tidak saat semua make-upmu tak terpasang."
Tiffany menipiskan bibir, menahan diri untuk tak meledak-ledak sekarang juga. Tiffany ingin berteriak, menangis dan marah-marah pada Yohan yang sangat menyakitinya hari ini. Di mana Tiffany berharap sesuatu yang indah terjadi. Pada akhirnya, setetes air mata menitik ke pipinya. Dia menangis, menunduk dan itu terjadi agak lama.
Melihat itu Yohan jelas tersentak, ingin segera menyusut air mata itu, namun ia menahan diri sekuat tenaga.
"Maaf jika kata-kataku kasar. Aku hanya menyuarakan hatiku," jelas Yohan merasa perlu.
"Jangan menyesal, Yohan." Disela tangis pelannya, Tiffany masih mampu melayangkan tatapan tajam yang sangat berbeda dari image pertamanya.
"Oke," balas Yohan menyetujui segenap hati. "Kamu juga. Jangan mencampuri hidupku lagi, jangan menemuiku lagi, dan jangan memunculkan diri di hadapanku, Tiffany."
Tiffany tertawa hambar. "Tidak akan."
"Bagus."
Ketika Yohan memutuskan untuk meninggalkan Tiffany begitu saja, gadis itu tiba-tiba menyusul dan berhenti di hadapannya, sontak saja membuat langkah Yohan terhenti dan menatapnya dengan bingung.
"Ada apa lagi?"
"Kita tak akan lagi saling mengenal. Dan, aku yang meninggalkanmu, mencampakkanmu dan membuangmu," katanya datar. Langsung berbalik dan berjalan dalam langkah angkuh yang seharusnya sudah bisa Yohan duga sebelumnya.
Yohan tertawa sinis, menatap punggung Tiffany yang semakin menjauh. "Pergilah, dasar wanita ular."
Atas perginya Tiffany dari hidupnya, hati Yohan terasa amat lega.
Dari awal mereka berjumpa, keduanya tak menyadari bahwa ada seseorang yang membuntuti, mendengar pembicaraan mereka dan melihat Tiffany menangis. Seseorang yang menyimpulkan; Yohan menyakiti Tiffany.
***
Hari Senin tiba.
Besok adalah hari di mana tes bernyanyi untuk mata diklat Seni Budaya. Ily sendiri sudah merasa persiapannya telah matang. Hari Minggu kemarin ia berlatih habis-habisan sampai jari-jarinya terasa pegal. Hanya tinggal memantapkan saja nanti pulang sekolah bersama Eza.
Meski selalu ada Elvan yang agak mengganggu, tapi Eza tetap serius mengajarinya dan membuat Ily merasa harus membalas kebaikannya.
Sampai istirahat tiba, Ily hampir melupakan kehadiran Yohan ketika laki-laki secara bersamaan keluar kelas dengannya. Bedanya, Yohan belok ke kanan sementara Ily ke kiri untuk pergi ke kamar mandi. Ily mungkin terlalu banyak minum tadi pagi sehingga kini sangat kebelet.
Kamar mandi khusus perempuan terlihat kosong saat Ily masuk. Dia melakukan panggilan alamnya dengan lancar, namun begitu keluar untuk mencuci tangan di wastafel, dia bertemu Tiffany di pantulan cermin sedang menatapnya dengan tajam.
Jelas Ily kaget, namun ia segera tersenyum. "Kemarin gimana?" tanyanya penasaran, belum bertanya juga pada Yohan karena dia lupa dan Yohan pun tidak melapor apa-apa. Ily terlalu sibuk mengurusi urusannya sendiri hingga tak peduli pada apa yang sebenarnya lumaya penting.
Apa Yohan sudah pacaran dengan Tiffany?
Jika iya, Ily akan sangat senang. Namun, jika tidak, Ily akan lebih-lebih senang, karena sebenarnya ia tak begitu setuju Yohan jatuh cinta pada Tiffany.
Mereka tak cocok. Itu saja.
"Lo nggak bakal gue kasih flashdisk adek gue," kata Tiffany datar. Dia mengambil air menggunakan tangannya dan menyipratkannya pada wajah Ily yang langsung memejamkan matanya. "Dasar cewek nggak tau diuntung! Lo hasut Yohan, ya?!"
Ily tak sempat membalas karena Tiffany sudah mendorong tubuhnya hingga terbentuk tembok kamar mandi dengan keras. Ily sangat terkejut, punggungnya sakit, belum lagi pada tangan Tiffany yang kini menekan lehernya. Membuat Ily kehabisan napas dan kesakitan.
"Tti-ffa---"
"Kenapa? Sakit? Silahkan teriak! Di sini nggak ada siapa-siapa, nggak ada yang peduli! Gue juga begini kemarin! Gue diginiin sama Yohan, brengsek!" seru Tiffany meluapnya amarah miliknya habis-habisan. "Gue sesak, gue sakit, gue marah, tapi nggak bisa apa-apa karena lo! Dasar cewek cabe!"
Ily terbatuk-batuk saat Tiffany menjauhkan tangannya dari lehernya dan tertohok ketika Tiffany menyebutnya cabe. Biasanya ia bisa saja jika disebut cabe oleh Elvan atau Eza, namun saat Tiffany yang menyebutnya, dia merasa sangat teriris.
Tiffany melipat tangannya dan menatap Ily dengan tatapan benci. "Lo naksir sama Yohan tapi takut nggak terbalas karena ada gue?"
Napas Ily masih tak normal saat Tiffany bertanya, jadi dia tak menjawab. Namun, kediamannya membuat Tiffany tertawa hambar karena mengira tebakannya benar.
"Kalau gitu, harusnya lo sadar," kata Tiffany sambil mendekat pada Ily yang kini lemah. Ia memandang mata Ily yang sedikit lebih pendek darinya. Dengan tajam, dia berkata, "lo itu pendek, jelek, badan kerempeng, rambut lepek dan baju-baju lo murahan. Nggak bisa bersaing sama gue. Lo harusnya sadar, hei. Ngaca, dong! Mirror!"
Ini yang Ily takutkan pada Tiffany. Sisi kasar dan garang gadis itu sangat menyiksa batin, membuat mulut Ily seolah terkunci dan tak bisa membalas bahkan satu kata pun meski dirinya benar.
Kejadian dua tahun yang lalu seolah terulang, membuat Ily memejamkan matanya dan akhirnya menangis. Perlahan, secara alami, dia terduduk.
Tiffany melihatnya, namun tak merasa empati barang sedikitpun. Justru memilih untuk mengambil air di tangannya dan sekali lagi menyipratkannya pada wajah Ily.
"Jangan lupa bangun! Pastikan ini terakhir kalinya lo bikin gue muak!"
Kemudian Tiffany pergi. Meninggalkan Ily Yang terduduk lemah, menangis tanpa suara dan meratapi nasibnya yang memang selalu serendah ini.
***
Ily memang sedih, Ily memang kecewa, Ily memang marah pada dirinya.
Dia kembali lagi ke kelas setelah mengeringkan diri seadanya dan menunggu waktu pulang untuk meredakan perasaannya.
Namun sebelum itu, ada satu kekesalan yang tumbuh di hatinya, yang ditujukan pada Yohan. Pada akhirnya, Ily menyalahkan semuanya pada Yohan sebab Ily pikir hal ini disebabkan oleh kehadiran laki-laki itu.
Dan Ily berniat untuk menuntaskannya saat pulang sekolah. Akan marah sejadinya pada Yohan. Ily tak bisa diperlakukan seperti ini.
Ketika ia sedang mencatat materi yang diberikan guru pelajaran terakhir, Yohan tiba-tiba terlihat melintas melewati mejanya, membuat Ily segera membereskan peralatannya dengan gerakan cepat hingga ceroboh dan membuat tempat pencilnya jatuh. Ily mengambilnya tak kalah cepat, tak menyadari bahwa dia kurang tepat mengambilnya hingga membuat isinya kembali keluar, berceceran.
Ily mengumpat tanpa suara. Kemudian membereskan semuanya sebisanya mungkin, secepatnya hingga dapat menyusul Yohan ke parkiran sekitar lima menit kemudian.
Ily sepertinya terlambat karena ketika dia sampai di parkiran, Yohan telah mengendarai motornya dengan kecepatan luar biasa. Tanpa menoleh padanya, tanpa menunggunya. Tak seperti biasanya.
Tanpa tasnya juga.
Melihat itu, seperti ada sesuatu yang hilang di hati Ily. Biasanya Yohan seperti sedang menunggunya, menatapnya sebentar meski mereka harus berjauhan karena kesepakatan Yohan dengan Eza, tapi kini ada yang berbeda.
Yohan seperti punya urusan sendiri dan itu membuat Ily agak sedih. Mungkin Yohan ada kepentingan di keluarganya, begitu pikir Ily. Jadi, dia tak begitu peduli dan melanjutkan langkah menujunya minimarket untuk membeli Hi-Ly.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Alyssa Kevin
susu hi Lo ya
2020-07-03
0
𝓝𝓾𝓷𝓪
ilyyyyy
2020-03-31
1