Bel pulang telah berbunyi.
Seperti biasa, Ily diteror Yohan agar bisa pulang bersama. Sejak dari membereskan peralatan tulisnya, sampai ketika Ily menggendong tas.
"Kamu harus pulang bersamaku. Seharusnya tadi pagi kita berangkat bersama, kamu mengingkari janji sebagai teman yang selalu ada untukku," kata Yohan tegas, menyalahkan Ily sepenuhnya.
Ily memutar bola matanya, ingin sekali memukul kepala Yohan agar tidak bicara asal. "Kapan aku berjanji padamu, Bambang?"
"Bambang? Siapa itu? Namaku bukan Bambang." Yohan malah mempermasalahkan nama yang diucap Ily.
"Aduh, kamu anaknya siapa sih?" tanya Ily kesal setengah mati.
"Aku anaknya Ibuku, kenapa? Kamu tidak relevan sekali, kenapa justru membahas hal itu?" tanya Yohan sarkas. "Aku memintamu pulang bersama, bukan adu bacot."
Ily melotot. Hampir saja memukul mulut Yohan yang runcingnya mengalahkan pisau untuk menyembelih kambing jika saja tak Yohan tak segera mundur melihat ancang-ancang dari Ily.
"Kasar sekali mulutmu! Siapa yang ngajarin?" tanya Ily tak mengerti, merasa tersinggung dan tersakiti.
"Kamu yang memaksaku untuk belajar bahasa gaul. Itu salah satunya, yang tadi aku ucapkan, itu darimu, bodoh," balas Yohan datar. Namun jelas, nada bicaranya menunjukkan betapa kesalnya dia.
Ily tak mengerti lagi mengapa mereka berdua menjadi berdebat hal yang tak perlu ketika seharusnya pulang saja dengan damai. Terlanjur kesal, Ily melangkah lebih dulu meninggalkan Yohan yang akhirnya segera menyusul meski ada tanya di benaknya.
Ketika sampai di parkiran, Yohan langsung mengepalkan tangannya saat melihat Elvan yang melipat tangan di depan dada seolah menunggu kedatangan Ily di atas motornya yang terparkir persis di sebelah motor Yohan.
Ily terlihat sama frustasi dengan Yohan saat menemukan Elvan. Bukannya Ily terlalu percaya diri dengan menganggap dirinya akan diperebutkan lagi oleh dua cowok ini, namun melihat mereka yang saling melempar tatapan tajam seperti ini membuat Ily yakin anggapannya benar.
"Ngapain lo?" tanya Elvan memulai perbincangan. Wajahnya tengil seperti biasa dengan senyum meremehkan di sana.
Yohan mengangkat bahu, terlihat acuh. Tanpa kata, laki-laki dari Korea itu menyalakan motornya dan memakai helm kemudian menoleh pada Ily dengan mata tajam.
"Ily, naik," katanya mengajak dengan nada tegas.
"Jangan," sergah Elvan.
Sesuai dugaan Ily. Prasangkanya terbukti benar. Ia berkacak pinggang dengan wajah lelah. "Kalian punya masalah apa sih? Gue nggak peduli ya, jadi jangan lihatin gue dalam permainan nggak berguna ini. Selesaikan masalah kalian, jangan bawa-bawa gue. Gue pusing."
Yohan mengerjap terkejut. "Kamu nggak berniat untuk tak pulang denganku kan?"
Di sebelahnya, Elvan tampak meledek gaya bicara Yohan yang sepertinya diperuntukkan hanya untuk Ily. "Ly, pulang sama gue aja. Gue mau traktir otak-otak di taman kota sana. Ayo."
Mata Ily langsung berbinar, namun mulutnya justru melengkung ke bawah, menggambarkan perasaan sedih yang hakiki. "Gue pengen, tapi lagi diet dulu. Minggu ini gue udah makan jajanan kayak gitu. Lagian gue ada tugas Seni Budaya, mau latihan dulu."
Elvan berdecak. "Kalau gitu anterin gue aja. "
"Gue nggak ada waktu. Yaudah, ojol gue udah ada di depan. Duluan, ya, bye!"
Seperti mengalami de ja vu, Yohan menatap kepergian Ily dengan tatapan kecewa di wajah datarnya. Ia tak bisa menyusul dengan segera sebab Elvan mencengkram lengannya agak erat dan itu membuatnya terkejut sekaligus bersiap-siap.
"Lo ada maksud tertentu ke Ily?" tanya Elvan serius, matanya menyorot tajam dan Yohan yakin cowok itu pasti sudah akan menghantamnya jika tak berada di kawasan ramai seperti parkiran saat pulang sekolah.
"Kalau ada memangnya kenapa? Kalau tidak ada memangnya kenapa?"
"Jangan macam-macam sama gue. Jangan macam-macam sama Ily. Jangan macam-macam sama keluarga gue."
"Gue nggak akan," balas Yohan singkat, sebenarnya sudah gatal untuk menjalankan motornya untuk menyusul Ily.
"Jauhin Ily," kata Elvan memberi perintah yang tak ingin dibantah.
"Kenapa?" tanya Yohan meminta penjelasan lebih lanjut. "Lo bersikap seperti psikopat yang tak ingin melihat Ily dekat dengan orang lain. Jijik."
Elvan tertawa kecil, pada awalnya. Tawa kecil itu perlahan berubah menjadi tawa yang terdengar mengerikan di telinga Yohan, seolah menyiratkan sesuatu yang tidak baik. Membuat Yohan yakin bahwa ucapannya memang benar.
"Kalau iya kenapa?" Elvan membalas dengan tanya yang membuat Yohan sangat terkejut, namun Elvan melanjutkan pertanyaannya, "kalau nggak kenapa?"
Yohan menoleh tajam, merasa dipermainkan sekaligus penasaran. Namun ia tak menemukan apapun di wajah Elvan. Wajah itu terlalu ceria, cerah dan tanpa beban seolah tak menyimpan apa-apa yang membahayakan. Mata tajamnya telah berganti, entah pergi kemana.
"Apa maksud lo?" tanya Yohan penuh penekanan, rahangnya mengeras begitu saja.
"Semuanya akan selesai kalau lo menjaga diri. Jauhi Ily dan jangan pernah membuat sepupu gue dalam bahaya."
Elvan seketika teringat pada pertemuannya dengan Tiffany setelah melihat Ily dan Yohan sedang berjalan bersamaan dengan botol air mineral masing-masing di tangan, kelihatannya mereka berdua telah kembali dari kantin dan akan pergi ke kelas. Elvan berada di belakangnya kala itu, mendengar berita Tiffany.
"Sial, itu cewek emang nggak ngerti, ya, sama omongan gue? Ish!"
Langkah kesal yang Tiffany ambil membuat Elvan sadar akan situasi yang tengah terjadi. Jelas sekali Tiffany tak suka keberadaan Ily Yang berada di dekat Yohan, sama dengannya yang membenci Ily dapat tertawa karena orang lain yang bahkan belum dikenalnya sebaik Elvan.
"Gue nggak mengerti," kata Yohan jujur. Ia menyipitkan matanya untuk meneliti apa maksud Elvan sebenarnya. "Sepupu macam apa yang menjauhkan sepupunya dari temannya?"
"Lo nggak tau apa-apa, jangan menyimpulkan semaunya," balas Elvan tegas, jelas sangat marah dan ia menahannya saat ini.
"Lo juga menyimpulkan semuanya. Seolah gue orang jahat yang harus menjauhi Ily," tukas Yohan sama tegasnya.
"Kalau begitu, apa lo bisa jawab seandainya gue tanya?" tanya Elvan dengan mata menyorot serius pada mata tanpa emosi milik Yohan.
"Apa?"
"Alasan lo jadi tetangga Ily, masuk sekolah yang sama dengan Ily, satu bangku dengan Ily dan sekarang sangat dekat dengan Ily."
Yohan mengernyit sebentar. "Itu benar-benar kebetulan. Gue tidak menyengajanya. Itu takdir."
"Cih, takdir, kata lo, najis," ledek Elvan sambil tertawa sebal. "Lalu, apa alasan lo pindah ke sini?"
Untuk waktu yang lama, Yohan tidak menjawab. Justru memilih untuk menutup kaca helmnya dan menjalankan motornya meninggalkan Elvan yang menyeringai lebar, puas akan prasangkanya yang rupanya sudah 80% terbukti benar.
Jelas, sekarang misinya adalah untuk menjauhkan Ily dari bencana baru yang mungkin akan menghancurkan sepupunya seperti dua tahun yang lalu.
***
"Yohan."
"Hah?"
"Tetangga kamu," balas Ibu agak kesal karena anaknya terlihat seperti orang dungu saat mendengar siapa yang bertamu padanya semalam ini. Sekarang pukul delapan, tepat lima menit setelah keluarga Ily selesai makan malam.
Ibu yang membuka pintu dan menyuruh Ily untuk mengajak Yohan masuk. Ily jelas terkejut, namun akhirnya bangkit juga dari rebahannya untuk berjalan menuju pintu masuk. Ily membuka pintunya, menemukan Yohan yang berdiri dengan sweater dan celana bahan kotak-kotak.
"Kalau kamu mau makan malam, kamu telat lima menit," kata Ily datar. Berbeda dengan jantungnya yang telah berdebar-debar melihat Yohan yang entah mengapa terlihat lebih tampan malam ini.
"Aku ingin menginap," balas Yohan sama datarnya, berbeda dengan reaksi Ily yang langsung heboh memukul lengannya.
Ketika Ily akhirnya memutuskan untuk menutup pintu, Yohan menahannya dan memasang wajah serius.
"Tunggu," katanya menahan, membuat Ily mau tak mau meladeninya dengan sabar.
"Apa, Kim Yohan?"
"Aku ingin berlatih bersama," kata Yohan terlihat sedikit malu-malu. "Aku ingin berlatih untuk Seni Budaya bersamamu. Aku punya gitar."
Ily sedikit tak berminat sebenarnya, namun melihat wajah antusias Yohan, akhirnya ia mengangguk dan membuat Yohan tersenyum lebar.
"Aku akan ambil gitar," kata Yohan meminta ijin, namun pada akhirnya laki-laki berbalik pergi tanpa menunggu persetujuan Ily. Melihatnya, Ily memutar bola mata sambil tertawa kecil.
Ily menatap langit yang gelap tanpa kelip bintang-bintang seraya menunggu Yohan kembali. Sebenarnya tes Seni Budaya dilakukan minggu depan, namun Ily sudah lelah menunda-nunda tugas dan kini akan memantapkan untuk menyelesaikan tugasnya baik mungkin. Sudah dulu saja ia malas dan menggunakan sistem kebut semalam.
Kini Ily berubah. Seiring bertambahnya usia, perilaku juga harus semakin dewasa dan totalitas. Bukan anak-anak yang segalanya masih harus diatur dan didampingi. Sudah saatnya ia sendiri, memutuskan untuk jalan hidup ke depannya.
Ketika sedang melamun, saking seriusnya Ily sampai terkejut saat Yohan tiba-tiba sudah berada di depannya. Nafas laki-laki itu agak terengah-engah, namun justru membuat Ily semakin berdegup dan gugup.
"Kita latihan di kamarmu?" tanya Yohan polos, begitu saja dengan wajah tanpa dosanya.
Ily jelas terkejut, langsung melotot dan menolak pertanyaan itu keras-keras. "Tidaklah!"
"Lalu di mana?"
"Di ruang tengah pasti akan menggangu ayah yang sedang menonton TV, di dapur pun sepertinya tidak memungkinkan." Ily cemberut dengan wajah kecewa. Menatap Yohan sambil berpikir, sampai akhirnya sesuatu tiba-tiba datang di benaknya, "ah, agaimana kalau kita berlatih di taman belakang saja?"
Yohan mengangguk saja. "Oke."
"Aku akan bawakan karpet dan selimut, sebentar ya," kata Ily terlihat seperti buru-buru. "Kamu ke sana saja dulu. Intinya ke belakang rumahku, di sana ada kursi taman dan meja untuk santainya juga. Kamu duduk di sana dulu."
Yohan mengangguk, sementara Ily langsung masuk rumah dan bergegas menuju kamarnya untuk mengambil bukan hanya karpet dan selimut tetapi juga bantai, boneka dan lilin aroma pemberian Eza. Tak lupa ketika melewati dapur, Ily mengambil korek api.
Ketika Ibu dan ayah melihatnya dengan heran, Ily menjawab akan berlatih bersama Yohan untuk Seni Budaya dan pembicaraan mereka selesai di sana. Ily keluar dari pintu belakang dan segera melihat Yohan yang sudah duduk santai di kursi yang dimaksud Ily sebelumnya.
Mendengar suara grasak-grusuk, Yohan memilih untuk menoleh dan segera bangkit ketika melihat Ily ban barang-barang yang dibawanya sampai perempuan itu tak sanggup berjalan dengan normal.
Yohan berdecak melihatnya. "Kamu mau piknik atau naik gunung?"
"Jangan bicara tak perlu. Bantu saja. Kamu akan nyaman."
Mereka menghabiskan hampir lima belas menit untuk menyusun bantal, boneka dan selimut yang banyak perdebatannya. Ily ingin hangat, sementara Yohan tak mau ribet karena mereka akan bermain gitar sambil melihat buku yang berisi not angkanya. Sementara di meja depan mereka ada lilin aroma yang telah dinyalakan, boneka pinguin kecil yang Yohan herankan apa fungsinya menaruh di sana. Belum lagi boneka lainnya yang kini sedang Yohan bantu pegang saat Ily sedang membenarkan sweater cokelat dan rambutnya.
Ketika akhirnya Ily duduk nyaman, bersandar pada bantal, setengah tubuh diselimuti selimut lembut, ia mengulurkan tangan untuk meminta boneka pada Yohan dan memeluknya dengan nyaman.
Yohan mengernyit, namun ikut duduk dan menyelimuti diri dengan selimut. Ia menatap Ily dengan tatapan aneh. "Kamu mau tidur di sini, ya?"
"Terserah kamu mau berkata apa yang penting aku nyaman," balas Ily tak peduli. "Silahkan kamu dulu mainkan gitarnya. Aku penasaran."
"Aku jago, tahu."
Ily mengangkat bahu sambil tersenyum tak acuh, seolah merendahkan perkataan Yohan saat kini laki-laki itu sedang memangku gitarnya dan memeriksa senarnya satu-satu.
"Aku sudah lama tak bermain, tapi aku masih ingat," katanya menjelaskan sedikit, "lagu Indonesia pertama yang aku nyanyikan."
"Untuk siapa?" tanya Ily penasaran.
"Ibuku."
Ily sempat terkejut, tersentak dan tak bisa langsung percaya. Ia menatap Yohan tepat di mata, berharap ada canda di sana, namun yang ia cari tidak tertemukan juga. Akhirnya, Ily percaya saja, mungkin Yohan memang seberbakti itu pada orang tuanya. Ily saja belum pernah bernyanyi atau mengatakan hal-hal yang menggambarkan bahwa dirinya menyayangi ayah dan ibu.
Semua itu terlalu mau untuk Ily lakukan terang-terangan, jadinya ia hanya menyuarakan sayangnya lewat doa dan menjadi anak baik yang akan dibanggakan di masa depan. Ily akan membalasnya di masa depan, saat di mana dia telah sukses.
"Apa kamu pernah punya pacar?" tanya Ily lagi.
Yohan tersenyum tipis, tampak misterius dan membuat Ily bingung sekaligus heran. Namun, laki-laki Korea itu tahu bagaimana memainkan perasaan Ily. Bukannya menjawab, Yohan justru mulai memetik senar gitarnya, memainkan intro yang sangat familiar di telinga Ily.
Kau begitu sempurna
Di mataku kau begitu indah
Kau membuat diriku akan s'lalu memujamu
Di setiap langkahku
Ku kan s'lalu memikirkan dirimu
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa cintamu
Janganlah kau tinggalkan diriku
Tak kan mampu menghadapi semua
Hanya bersamamu ku akan bisa
Kau adalah darahku
Kau adalah jantungku
Kau adalah hidupku
Lengkapi diriku
Oh sayangku kau begitu
Sempurna...
Suara berat Yohan selaras dengan petikan gitarnya, membuat Ily sempat merinding dan segera bertepuk tangan setelah Yohan mengakhiri penampilan singkatnya itu dengan sedemikian rupa. Ily Tal menduga bila Yohan bisa sehebat ini.
"Sempurna, Yohan! Penampilanmu sangat sempurna, amazing, awesome, good!" seru Ily memuji dengan semangat. "Suaramu lumayan juga, ya."
"Bohong kamu," balas Yohan tak suka, membuat Ily langsung mematung tak paham. "Kata Ibu, suaraku seperti katak terendam air."
"Apa maksudnya katak terendam air?" Ily memandang Yohan dengan prihatin. "Suaramu bagus, Yohan. Berat-berat basah gitu, eh, serak-serak basah, maksudku. Cewek-cewek pasti suka!"
"Kamu sendiri ... suka?"
Ily mengangguk tanpa berpikir panjang. "Tentu! Kamu pasti dapat A!"
"Kalau begitu, coba sekarang giliran kamu. Nyanyikan sesuatu," kata Yohan. "Kamu memakai alat musik apa?"
"Aku pakai gitar juga, sini pinjam punya kamu," balas Ily, segera mengambil alih gitar Yohan untuk dia pangku dan mulai ia mainkan.
Satu persatu senar ia petik, dicoba untuk mengharmonikan nada. Ily mulai memasang kunci dan memetiknya sedemikian rupa, namun yang terdengar adalah suara tak jelas yang membuat Yohan mengernyit.
"Kamu tak bisa bermain gitar, ya?" tuduhnya langsung.
Ily langsung gegalapan, namun wajah sombongnya terpampang jelas. "Aku bisa! Waktu tes kelas 9 aku lulus! Aku menyanyikan laskar pelangi dan guru Seni Budaya di SMP-ku menikmatinya!"
"Tapi kamu tidak belajar lagi. Kamu hanya menyiapkan diri untuk satu hari hingga melupakannya karena tak pernah dites lagi." Yohan menatap tangan Ily yang memasang kunci di gitarnya. "Dan tak ada kunci seperti yang kamu pasang. Kunci apa itu?"
Ily hanya mampu cengengesan. "Oke, aku menyerah. Aku akan minta bantuan Eza saja untuk mengajarkan."
"Apa?" tanya Yohan seolah tak terima.
"Ha? Kenapa? Apanya yang apa?" Ily justru kebingungan.
"Kenapa harus minta bantuan orang lain? Aku juga bisa mengajarimu," balas Yohan serius, matanya menyorot tajam dan membuat Ily semakin berdegup dengan pipi yang mulai memerah.
"Ka-kamu mungkin sibuk nanti," kata Ily memberi alasan yang terparkir di otaknya secara asal. "Aku takut mengganggu."
"Waktuku akan selalu luang untukmu, Ilyssa."
Tolong, siapapun segera jauhkan Yohan dari Ily sebab kini Ily hampir serangan jantung dan gadis itu tak mau Yohan disalahkan atas peristiwa yang mungkin saja akan terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Irmadjokam
seruuuu...
2020-07-28
0
𝓝𝓾𝓷𝓪
yohan gimana ni
sama tiffany suka sama illy juga suka
2020-03-31
3