"Besok kita ulangan, ya, anak-anak!"
Adalah kata-kata pengingat terakhir dari Bu Emma, guru Fisika kelas Ily sebelum guru berambut sebahu itu keluar dari kelas. Membuat anak kelas hanya mengembuskan napas kecil, menyerah saja. Sebab tak ada lagi waktu untuk mengeluh ataupun membantah, mereka kelas XII. Sebentar lagi untuk mereka menyelesaikan pendidikan di sini, untuk mendapatkan hasil yang membanggakan, tentu jalannya sekarang hanyalah belajar dengan giat.
Masing-masing dari mereka membereskan peralatannya ke dalam tas. Ada yang buru-buru pulang, ada juga yang masih menunggu teman-temannya. Ily sendiri termasuk golongan pertama karena dia tidak punya teman untuk ditunggu ataupun menunggunya belajar bersama atau menghabiskan waktu untuk bergembira.
"Kali ini, kamu akan mengajakku ke mana?"
Ily menoleh, baru menyadari bahwa di sebelahnya masih ada Yohan. Yang selalu mengikutinya ke mana pun baru-baru ini.
"Aku akan belajar, Yohan. Tidak akan ke mana-mana," jawab Ily seadanya.
Yohan menipiskan bibir. Dengan patuh, ia menepikan diri agar Ily bisa lewat. Ily awalnya mengernyit, namun tetap berjalan lebih dulu keluar kelas. Persis ketika ia keluar, tatapan siswi-siswi yang melewati kelasnya tertuju pada satu yang hakiki; ketampanan Yohan.
Seharusnya Ily sudah terbiasa. Perempuan mana juga yang tertarik pada laki-laki setampan Yohan. Namun, sesuatu mengintimidasinya. Tatapannya tajam, menuntut dan sedikit marah.
Tentu, itu milik Tiffany. Siapa lagi.
Ily menelan ludah, langkahnya menjadi kaku dan gemetar. Ia mengeratkan kepalan tangannya, memutuskan untuk melewati Tiffany begitu saja tanpa menyapa ataupun apapun itu. Ia ingin segera sampai rumah dan bertemu dengan kasurnya.
Ketika akhirnya mereka sampai di parkiran, Ily segera berbalik begitu tiba-tiba hingga Yohan hampir menabraknya jika ia tak segera menghentikan langkah.
Matanya menatap bingung pada Ily yang kini sudah memasang wajah kusut. Setahunya, ia tak melakukan kesalahan apapun hingga membuat perempuan di depannya ini badmood.
"Kenapa?"
Ily menggigit bibirnya, menatap Yohan dengan sorot tak terbaca. Dalam pikirannya banyak sekali yang ingin ia curahkan. Mulai dari kehadiran Yohan yang sebenarnya membuat Ily senang karena laki-laki dari Korea itu kerap kali memberi traktir padanya, wajah tampannya yang membuat Ily merasa sangat beruntung bisa bertentanggaan dan Yohan bisa menjadi temannya tanpa memandang bagaimana buruknya sifat Ily.
Namun, sesuatu mengganjal pada hatinya. Ily merasa tak nyaman, ia ingin bebas. Ingin melakukan apa yang ia mau tanpa diinterupsi oleh ketidaksukaan seseorang ataupun diejek.
"Oke!" seru Ily saat memutuskan sesuatu yang sedari tadi saling bergerumul dalam pikirannya, membuat Yohan makin menatapnya bingung. "Yohan, ayo pulang!"
Alis Yohan bertaut, amat bingung mendengar Ily tiba-tiba berseru mengajaknya pulang. "Kenapa tiba-tiba sikapmu aneh?"
"Aku akan tetap jadi temanmu, ayo. Kita pulang saja," ajak Ily sambil menarik tangan Yohan begitu saja menuju motor cowok itu yang terparkir di tempat yang sudah Ily hafal sebab hampir setiap hari dia menaiki kendaraan itu.
***
Lo nggak lupa mau gue, kan?
Ily *** ponselnya yang menampilkan layar dengan pesan itu. Tiffany beberapa hari ini mengirimnya banyak pesan, bahkan sampai menelpon namun tak kunjung Ily angkat karena terlalu takut. Isinya tak jauh-jauh dari keinginan untuk didekatkan dengan Yohan.
Ada yang mau gue omongin, besok di sekolah. Waktu istirahat di toilet deket kantin aja, lo bisa?
Dalam hidupnya, Ily paling benci menjadi pesuruh. Sekalipun seluruh dunia akan menjadi musuhnya, Ily tetap pada pendiriannya. Sekalipun semua orang akan membunuhnya, Ily tetap tak akan menjadi pesuruh. Ini hidupnya, semuanya terserah dia. Tak ada suruhan, tak ada paksaan ataupun ancaman untuk dia lakukan.
Semuanya terserah Ily, terserah kehendak Ily, terserah hati Ily dan semuanya akan ditanggung Ily.
Seperti pada semester awal dirinya kelas sepuluh. Hari itu di sekolah diadakan perayaan ulang tahun NKRI yang mana diisi dengan lomba-lomba pada umumnya seperti balap karung, makan kerupuk, mencari koin dalam terigu, memecah balon dengan mata tertutup dan tarik tambang yang menjadi sorotan utama. Sebab biasanya, para cewek akan menyemangati cowok-cowok yang ikutan dengan jeritan yang luar biasa memekakkan telinga.
Saat itu Ily ingin lomba balap karung, namun justru direbut oleh Tiffany.
"Gue punya badan yang lebih kurus, kayaknya lebih meyakinkan deh buat menang!" seru Tiffany percaya diri.
Ily memutar bola mata. "Bukan masalah badan siapa yang lebih kurus, tapi masalah tekad siapa yang lebih besar. Gue yakin bisa menang dan jika gue kalah, gue berani taruh lima puluh ribu buat kas kelas!"
Tentu seruan penuh tekad itu membuat semua anak di kelasnya berseru heboh sekaligus gembira. Mereka senang atas pengorbanan Ily, namun ada juga yang justru khawatir.
Mereka adalah Vinny dan Villy, kembaran yang menjadi teman lengket Ily, pada awalnya. Kini segalanya telah berubah, namun Ily tak pernah mempermasalahkan hal itu lagi.
Kembali pada cerita, Tiffany justru terpancing untuk menantang. "Gue berani taruh seratus ribu buat menang!"
Tentu, Ily kicep dibuatnya. Darimana dia bisa mendapatkan uang besar untuk disedekahkan ke kas kelas? Yang ada Ily harus tak jajan untuk satu Minggu sekolah agar dapat menghasilkan uang tersebut. Mana kuat Ily.
Akhirnya, dia menyerah dan membiarkan Tiffany mengikuti balap karung. Ily sudah terbawa emosi, ia tak mau berpartisipasi dalam lomba apapun. Hanya menonton dan teramat kesal saat di dapati kelasnya tak menang dalam lomba apapun.
Yang lomba kerupuk kalah karena dia terlalu susah menjaga keseimbangan karena kakinya harus diangkat satu, yang lomba mencari koin dalam terigu itu harus kalah juga karena pemainnya justru bersin sebab terigu itu masuk dalam hidungnya. Tiffany kalah, jelas karena lompatannya terlalu bersemangat sehingga dia harus tersungkur jatuh. Di sini Ily sangat-sangat kesal, ingin berteriak menyalahkan semua orang yang tak membelanya. Namun Ily hanya tersenyum miring, biarlah Tiffany menanggung akibatnya sendiri.
Anak kelas juga pasti senang, mereka bisa absen membayar uang kas selama dua Minggu.
Lomba tarik tambang lain lagi. Mereka kalah bukan karena langsung tertarik ke garis lawan saat peluit mulai diluncurkan, tetapi member dari kelas Ily yang berpartisipasi mencuri start duluan sehingga timnya didiskualifikasi.
Karenanya, Ily tak mau memaksakan kehendaknya sesuai orang lain jika itu berujung pada sebuah kekalahan. Biarlah semuanya terserah Ily, resikonya pun akan Ily tanggung sebaik-baiknya.
Prinsip itu sudah Ily pegang sejak ia SD, serius.
"Kenapa wajahmu begitu kesal? Ada yang mengganggumu?"
Suara berat Yohan membuat Ily sadar kembali ke kenyataan. Kenyataan bahwa kini dirinya sedang berada di depan pagar rumahnya selepas turun dari motor Yohan. Entah mengapa Ily tak bisa sadar bahwa dirinya sedari tadi diteliti oleh Yohan sejak pertama kali perempuan itu mengeluarkan ponselnya.
Ily sedikit gegalapan, lalu buru-buru memasukkan ponselnya dalam saku rok seragamnya. "Tidak apa-apa, kok. Aku masuk duluan, ya. Da--"
"Eh, dek Yohan! Baru pulang sekolah, ya? Nganter Ily lagi?" Suara ceria Ibu tiba-tiba terdengar ketika gerbang rumah Ily dibuka. Ily terkejut, melotot memandang Ibunya yang tiba-tiba keluar.
Yohan hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Ibu Ily. Melihat itu, Ibu Ily beralih menatap anaknya dengan sorot mata penuh kode, namun Ily tak mengerti apapun.
Akhirnya Ibu berdecak, memegang bau Yohan dengan senyum lebar yang merenyuhkan hati.
"Ikut makan dulu, yuk," ajak Ibu lembut, seperti sedang berbicara pada Ily biasanya, menganggap Yohan sebagai anaknya. "Kamu baik banget nganterin Ily. Ibu hampir lihat setiap hari, tapi nggak sempet balas kamu karena Ibu lupa belanja terus Ily juga sering buru-buru belajar di kamarnya. Sekarang, bisa kan kita makan bareng-bareng?"
Jelas Ily terkejut atas ajakan Ibu yang tiba-tiba, berbeda dengan Yohan yang datar seperti mau-mau saja diajak ini-itu.
"Ayah juga udah pulang, ayok, ah!" Ibu menarik tangan Yohan dan Ily bersamaan untuk masuk ke dalam rumah.
Berbeda dengan saat masuk ke rumahnya sendiri, Yohan tak diberi sandal bulu agar kakinya nyaman dan tak merasakan dinginnya lantai rumah. Kaki telanjangnya kini langsung menapak pada lantai, melewati langkah-langkah menuju meja makan di mana Ayah Ily telah menunggu sambil membaca koran dengan kaca matanya, seperti biasanya.
Rumah Ily tak jauh berbeda dengan rumahnya, hanya saja rumah Ily tampak lebih berisi dengan pot-pot besar berisi tanaman penyegar udara dan beberapa foto keluarga. Tak ada hiasan apapun selain lukisan ikan koi yang tampak biasa di dindingnya. Sepertinya keluarga Ily menyukai kesederhanaan.
"Yah, ini lho anak tetangga yang selalu berangkat dan pulang bareng Ily waktu sekolah," kata Ibu langsung memperkenalkan Yohan pada Ayah sewaktu mereka bertiga sampai di meja makan.
"Oalah, ini toh," tanggap Ayah semangat, bahkan meninggalkan korannya lebih dulu untuk menatap Yohan dari atas sampai bawah. "Anaknya rapi juga. Namanya siapa, nih?"
"Kim Yohan," jawab Yohan datar seperti biasa, namun ada senyum kecil terbit di wajah berkulit putih khas Koreanya.
"Yohan, ya? Ily pernah bilang dia naksir sama laki-laki yang memiliki nama itu," kata Ayah langsung menggoda Ily dengan senyum semangat, jelas saja membuat Ily melotot tak terima.
"Bohong! Yohan, jangan dipercaya! Udah, ah, aku mau ganti baju dulu," katanya sebal, langsung berbalik saja meninggalkan Yohan dengan Ibu dan Ayahnya yang baru saja saling mengenal.
Ayah hanya tertawa melihat Ily yang baru masuk ke dalam kamarnya. "Bercanda, kok. Jangan dibawa serius. Ily anaknya gitu. Kalau dibercandain suka ngambek, nggak seru."
"Ayah, jangan begitu!" protes Ibu tak terima. Sambil mengambil hidangan-hidangan rumahan dari dapur ke meja makan, mulutnya terus bersuara. "Biasanya anak cewek nggak suka kalau curhatannya diumbar-umbar apalagi itu tentang seseorang yang dia suka. Kadang, orang yang dia pilih sebagai tempat curhat adalah yang paling dia percaya, dan orang yang ada dalam curhatannya itu benar-benar seseorang yang berarti bagi dia. Jangan dijadikan bercandaan, Yah. Ini masalah hati dan hati susah sembuh kalau sudah tergores."
Ayah kicep mendengar ocehan istrinya. Ia menoleh, berpandangan dengan Yohan yang sepertinya berpikiran sama. Kemudian Ayah tersenyum tipis dengan bahu yang digedikan.
"Ily nggak curhat, kok, sebenarnya."
Yohan terdiam lama mendengarnya, seperti ada sesuatu yang membuatnya kesal saat Ayah mengatakan itu. Ia ingin entah, namun merasa tak enak pada Ibu Ikut yang kini sibuk menata hidangan-hidangan tambahan.
"Ish, kalau bukan suami udah aku lempar kamu pake sendok ini," kata Ibu kesal seraya mengaduk susu hangat untuk Ily dan Yohan.
Sebenarnya Yohan senang, tiba-tiba bisa masuk dalam rumah Ily dan makan bersama keluarganya. Namun, diam-diam ia memikirkan Ibunya juga. Karenanya, ia mengambil ponsel di saku celananya dan mengetikkan pesan untuk Ibunya.
Bu, aku makan di rumah Ily. Maaf, ya, tapi aku akan menemani Ibu makan malam, tenang saja.
"Yohan, duduk aja, aduh," kata Ibu Ily khawatir, baru menyadari bahwa sedari tadi Yohan hanya berdiri menonton dirinya dan Ayah beradu argumen. "Ayah, kenapa nggak dipersilahkan duduk, sih?" kesal Ibu pada Ayah.
"Lah, kok nyalahin lagi?" Ayah berdecak tak percaya, kemudian ia beralih pada Yohan. "Lain kali duduk aja. Anggap rumah sendiri. Oke?"
Yohan tersenyum tipis, kemudian duduk di sebelah Ayah dengan canggung. Ayah Ikut berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Ayahnya, namun tetap saja, setiap bertemu dengan seorang Ayah, tangan Yohan mendingin. Menjelaskan betapa tegangnya perasaan dia.
"Lama, nggak?" Ily tiba-tiba saja sudah duduk di sampingnya dengan baju tidur yang santai dan tampak asing di matanya. Warnanya kuning, jelas Yohan ilfeel melihatnya. Dia tak suka warna kuning. Sampai kapanpun.
Itu mengingatkannya dengan kotoran. Dan mereka kini akan makan. Sungguh, Yohan merasa sangat tersiksa sekarang.
"Ayo, deh, kita makan!"
"Kamu kan orang Korea, ya, Ibu nggak tau kamu akan suka apa nggak, tapi selamat menikmati," kata Ibu menyilahkan Yohan memakan hidangan.
Mereka berdoa, kemudian saling menatap piring masing-masing yang telah dipersiapkan dengan ukuran masing-masing. Di dalamnya sudah ada nasi, tinggal memilih lauk pauk yang ada di piring-piring lain. Sistem makannya seperti di Korea, membuat Yohan nyaman.
"Ada tumis kangkung, telur gulung, ikan bakar, sambal, lalapan dan sayur lodeh," jelas Ibu untum Yohan sambil menunjuk-nunjuk makan yang ia maksud.
Yohan tersenyum. Tanpa ragu ia mengambil semuanya dan memakannya dengan lahap. Jelas membuat Ayah, Ibu dan Ily menatapnya dengan tatapan terkejut.
Namun Ily yang sudah hafal bagaimana tabiat cowok Korea itu lantas berkata, "dia emang orang Korea, tapi selera makanan alias lidahnya kayak orang Indonesia, dia suka semua makanan Indonesia, tapi nggak terlalu suka makan-makanan di Korea."
Bukannya makin melongo seperti Ayah, mata Ibu justru berbinar dengan semangat.
"Kalau begitu setiap hari aja kamu makan di sini, sebagai balas Budi karena sudah me jadi teman Ily!"
Yohan refleks tersedak, sementara Ily langsung melotot tak percaya, buru-buru dia protes.
"Ibu, kenapa harus jadiin aku alasan?"
"Aku mau, Bu," jawab Yohan datar, tiba-tiba dan makin membuat Ily lemas ditempatnya duduk. Tak bisa percaya bahwa kini dirinya akan semakin terlibat dan dekat dengan Yohan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
sanSan
banyak typo nya mbak dini. semoga semakin bisa diperbaiki. semangat mbak..😍😍😍
2019-11-28
1