"Ayo, naik."
"A-apa?"
Ily yang baru saja keluar dari gerbang rumahnya jelas terkejut dan bingung saat melihat Yohan dengan motornya ada di depannya, mengajak.
"Kita berangkat bersama-sama. Apalagi?" Yohan bertanya agak sarkas.
"Kenapa?" tanya Ily polos.
"Kamu tidak mau?" tanya Yohan, membalas pertanyaan Ily.
"Jelas!" Ily berseru keras.
"Kenapa?" Lagi-lagi Yohan bertanya.
"Aku takut."
"Karena pemujaku?" terka Yohan dengan seringai miring.
Kening Ily mengerut tak suka. "Kamu sepertinya senang punya banyak pemuja."
"Tidak." Yohan melotot. "Justru aku sangat-sangat terganggu."
"Aku juga terganggu jika harus berangkat bersamamu. Aku akan pesan ojol. Kita berangkat masing-masing, oke?"
"Tidak. Aku terpaksa membawa motor dan kamu harus tunjukkan arahnya." Yohan menatap Ily dengan mata menyorot serius.
"Kamu kan punya ponsel, di sana ada google maps."
"Aku tidak punya pulsa internet."
"Ish--"
"Sudahlah, jangan ajak aku berdebat. Kamu hanya kupinta naik dan masalah selesai. Oke?"
"Ak--"
"Aku tidak suka pergi sendirian. Ayolah, Ilyssa, kamu bahkan tidak perlu membayar," pinta Yohan hampir memelas.
Ily menggigit bibir. Benar-benar bingung dan tak tega terhadap Yohan. Namun, pada akhirnya, ia menganggukkan kepala dan naik ke atas motor Yohan untuk setelahnya berangkat ke sekolah.
***
Benar-benar bencana.
Berangkat bersama Yohan benar-benar bencana. Awalnya Ily merasa biasa saja saat menempuh jarak di motor yang sama, namun tetap ada rasa was-was meski sedikit. Namun, ketika ia turun dari motornya, banyak mata langsung menerkam Ily. Mereka berbisik-bisik dan menatap tajam pada Ily.
Ily ingin segera pergi, namun di langkah pertama yang ia ambil, Yohan menahan bahunya dengan wajah datar.
"Kita berangkat bersama-sama. Tunggu," katanya sambil melepas helm dan mengambil kunci motornya untuk setelahnya ia masukkan ke dalam saku celananya.
"Ayo," ajak Yohan.
Ily mengambil napas kecil dan memandu langkah menuju kelasnya. Dari sekian banyak mata asing yang menangkapnya, Ily paling takut pada sepasang mata hitam milik Tiffany yang menyorotnya sejak pertama kali ia menginjak lantai di koridor depan kelasnya, XII IPA 1.
***
Elvan, sialan!
Pagi hari sudah disambut Elvan yang menyapa kemudian pergi begitu saja, Ily yang kebingungan namun tak memikirkan lebih panjang langsung saja duduk di kursinya. Tanpa tahu bahwa telah ada permen karet bekas dikunyah yang tak sengaja ia duduki. Jelas Ily geram, namun ia hanya menggertakkan giginya dengan penuh emosi.
Yohan hanya menatapnya datar. Duduk di samping Ily tanpa merasa terganggu meski kini ia sedang membaca buku paket Bahasa Indonesia.
Di sebelahnya, Ily meringis dan berdecak berkali-kali. Dengan kekesalan yang ditahan, ia berdiri dan ia pikir Yohan akan refleks membukakan jalan untuknya keluar, namun justru laki-laki itu bergeming tak peduli.
"Yohan, minggir," kata Ily kesal.
Yohan menoleh, menatap Ily dengan datar. "Kamu akan ke mana?"
"Aku mau ke mana, bukan urusanmu," balas Ily cepat dengan wajah ketus. Karena kekesalannya sudah mencapai batas maksimum, ia memaksa melewati Yohan dengan langkah cepat keluar kelas.
Melihat kepergian Ily dengan tatapan bingung, Yohan kembali pada kegiatannya. Sebenarnya ia bosan, sangat-sangat bosan. Membaca bukan kegemarannya, namun ia harus melakukan ini.
Semester terakhir di sekolah baru ini, ia tak boleh macam-macam.
Beruntung orang-orang di kelas ini segera sungkan bergaul dengan Yohan karena ia menolaknya dengan tegas dan tajam. Yohan bilang ia tak mau bergaul dan peduli dengan penghuni kelas ini, ia hanya akan mengikuti Ujian Nasional di sini dan mendapatkan ijazah kelulusan dengan nilai memuaskan.
Kebetulan juga ia bertemu dengan Ily. Seseorang yang Yohan pikir aman untuk diajak bermain.
Tak lama setelah itu, Ily terlihat masuk kembali ke kelas dengan wajah keruhnya. Yohan yang tak tahu menahu tentang apa alasannya, hanya menatap kedatangan perempuan itu dengan datar seperti biasanya. Bahkan ia tak memberi jalan ketika Ily berdiri di sampingnya, menunggu Yohan menyingkir untuk duduk di kursi pojoknya.
"Yohan, please," keluh Ily seraya menghela napas panjang. "Aku mau duduk, kamu harusnya mengerti dan berdiri."
Yohan berdiri, menurut saja tanpa banyak kata. Dengan kekesalan yang masih ada, Ily berjalan dan duduk di kursinya. Ia memijat pelipisnya dan membuat Yohan menoleh padanya.
"Kamu kenapa?" tanya Yohan, menyuarakan rasa penasarannya.
"Nggak apa-apa," jawab Ily ketus. "Tolong jangan bicara dulu. Gue pusing."
Kening Yohan berkerut tak suka. "Bahasamu kasar sekali. Aku tidak suka."
Ily menatap Yohan dengan wajah tegas. "Gue nggak peduli."
"Kamu bicara apa? Tolong katakan kata-kata yang sesuai dengan KBBI." Yohan mengatakan sesuatu yang membuat Ily memutar bola matanya dengan jengah.
"Dasar orang Korea, ngerepotin banget sih," kata Ily pedas. "Ya udah ngomong aja sama google translate, atau KBBI. Jangan sama gue."
Hari ini Ily benar-benar emosi. Sekalinya ia kesal, seharian akan terus seperti itu.
***
"Yohan, dipanggil ke ruang guru."
Suara lantang Bima membuat Yohan menoleh padanya. Ia mengangguk mengerti, namun bukannya bangkit berdiri, ia justru menoleh pada Ily yang tengah membuka tas dan mencari-cari sesuatu.
"Ilyssa, tolong tunjukkan ruang guru untukku," pinta Yohan langsung.
Ily segera mengangkat wajahnya. Raut kesalnya masih terpasang dan Yohan masih bingung apa alasannya menjadi seperti itu. Tadi pagi, Ily masih biasa saja dan bahkan sejak pertama kali bertemu, Yohan pikir Ily ini anaknya ceria.
"Bukannya kemaren lo diajak Bima keliling, ya?" tanyanya sarkas. "Minta aja sama yang lain. Males gue."
Rahang Yohan mengeras. "Sudah kubilang katakan kata-kata yang sesuai dengan KBBI."
Ily menghela napas panjang dan keras. "Begini, ya, Kim Yohan. Aku malas untuk beranjak, kamu minta bantuan pada yang lain sama. Paham?"
"Kamu sedang mencari apa?" Yohan justru menanyakan hal lain. "Dari tadi sepertinya kamu tak selesai mengobrak-abrik isi tasmu itu."
Ily menggigit bibirnya menahan amarah, kemudian menghela napas kecil setelah memutuskan tuk berdiri. "Oke. Akan aku antar kamu."
"Bagus." Yohan tersenyum tipis dan ikut berdiri, mundur untuk membiarkan Ily lewat untuk setelahnya ia ikuti langkah teman sebangkunya itu.
"Sekolahnya ini lumayan luas, ya," kata Yohan sambil melihat-lihat. Berjalan di samping Ily, dengan tatapan-tatapan kagum dari siswi-siswi membuat hatinya terasa hangat. "Aku suka."
Ily tak merespon. Hanya berjalan cepat-cepat dengan pandangan lurus ke depan, berusaha mengabaikan Yohan. Beruntung ia tak bertemu siswi fanatik, hingga akhirnya sampai di pintu ruang guru.
Langkah Ily berhenti, membuat Yohan tersadar karena sedari tadi memerhatikan sekelilingnya. "Ini ruang gurunya."
"Kamu mau ke mana?" tanya Yohan, menahan pundak Ily yang hendak meninggalkannya.
"Aku mau ke kantin," jawab Ily berusaha sabar. Diam-diam ia berharap akan bertemu Elvan dan mencabik-cabik cowok itu akibat ulahnya tadi pagi.
"Aku ikut," balas Yohan, jelas saja membuat Ily membulatkan matanya terkejut. "Kamu juga harus ikut aku menghadap Pak Aldi."
Tangan Ily ditarik begitu saja, masuk ke dalam ruang guru. Yohan tak peduli dengan raut wajah Ily yang sudah jengkel setengah mati. Mereka menghampiri meja Pak Aldi dan disuguhi informasi serta surat untuk disampaikan ke orang tua Yohan.
Pertemuan itu berlangsung sepuluh menit dan begitu keluar dari ruang guru, Ily segera berlari. Yohan terkejut, sontak saja ikut berlari mengejar Ily. Tak lama, mereka tiba di area kantin.
Tak sulit menemukan keberadaan Ily dikarenakan perempuan itu cukup mungil berada di antara yang lainnya. Yohan menghampiri sebuah meja, disuguhkan pemandangan Ily yang mencengkram kerah seragam seorang laki-laki.
Yohan ingat, dia adalah yang berada di kursinya saat pagi tadi.
"Elvan, lo tuh, ya! Punya salah apa gue sama lo?!" teriak Ily sedemikian rupa, meluapkan amarahnya tanpa peduli orang-orang mulai berkerumun melihatnya.
Tentu karena yang Ily lawan adalah Elvan, mantan kapten Basket sekolah. Laki-laki tampan yang humoris dan ramah. Dia diincar banyak kaum perempuan, banyak yang tertarik padanya, banyak yang perhatian padanya dan banyak yang peduli padanya.
"Tenang, Ly, tenang," kata Elvan seraya menahan lembut tangan Ily yang mencengkram kerah seragamnya. "Lepasin dulu, kita bicarain baik-baik."
"Selow, lah, Ly," tambah Eza, teman semasa kecilnya yang juga menjadi orang menyebalkan bagi Ily. "Diliatin banyak orang tuh."
Elvan dan Eza benar-benar satu paket. Ily ingin memusnahkan mereka berdua. Dengan geraman marah, Ily melepas cengkramannya dari Elvan.
"Kalau lo bukan sepupu gue, udah gue cakar tuh muka!" seru Ily masih marah.
Elvan justru terkekeh. "Maaf, dong. Dendam banget. Sini duduk," katanya sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang kosong, "gue traktir buat permintaan maaf gue yang tulus."
"Najis, Elvan," ledek Eza sambil tertawa sarkas. "Jangan didenger, Ly, kata-kata buaya."
"Elu yang buaya," balas Elvan sambil menabok lengan Eza. "Ly, ayo lo mau apa gue traktir."
Ily memutar bola mata. Ia melipat tangannya dengan wajah angkuh. "Batagor. Anterin ke kelas."
Tanpa kata-kata lagi, Ily berbalik dan langsung berhadapan dengan Yohan. Ia baru sadar Yohan mengikutinya. Sedari tadi Yohan hanya diam, hanya memerhatikan, Ily sedikit kesal karena tak dibantu. Oleh karenanya, ia mendelik dan melangkah pergi tanpa mengajak Yohan.
Yohan yang tak mengerti apa-apa sontak saja mengikutinya. Sementara Elvan yang menatap kepergian Ily, hanya tersenyum tipis sambil beranjak.
"Tetep aja luluh sama makanan," gumamnya dengan kekehan geli.
***
"Lo sebangku sama ini cowok?" tanya Elvan keras-keras tanpa peduli teman satu kelas Ily merasa terganggu.
Elvan memang benar-benar pada ucapannya. Tak lama setelah Ily sampai di kelas kembali, dengan Yohan mengekor tentunya, ia datang dengan satu mangkuk batagor dengan seringai miring khasnya. Namun, tak lama setelah ia meletakkan mangkuk batagor itu, Elvan kembali membuat keributan.
"Asli lo nggak terbebani dengan satu meja dengan cewek Chilli ini?" tanya Elvan lagi, pada Yohan yang hanya menatapnya dengan datar.
Ily mendesis, hampir saja menjitak kepala Elvan jika saja sepupunya itu tidak langsung lari dan menghilang dari hadapannya.
"Ish," desis Ily dengan kekesalan yang masih tersisa. "Ganggu banget sih itu orang."
"Siapa dia?" tanya Yohan akhirnya bersuara.
"Sepupu." Ily menjawab datar. "Yang nggak bisa gue anggap."
"Sesuai KBBI," koreksi Yohan.
Ily memutar bola matanya. "Sudahlah, aku lapar. Jangan mengganggu. Aku mau makan."
Berharap setelah ini damai, Ily mulai menyuapkan sesendok batagor dan mengunyahnya. Rasa lezat mulai menguasai lidahnya. Membuat mulutnya membuat lagi untuk menyuapkan, namun sesuatu menginterupsi gerakannya.
"Aku ingin. Bisakah kamu membaginya untukku?"
Sudah Ily duga, memiliki teman akan merepotkan.
Tak sampai di situ, Yohan menanyakan letak toilet. Ily jelas marah, tak mau menolong karena banyak tugas mencatat dari guru Sejarah. Namun, akhirnya ia membantu juga dengan kekesalan yang dipendam dalam-dalam.
Cukup hari ini ia akan membantu Yohan.
Namun, tak lama kemudian Yohan kembali bertanya di mana posisi perpustakaan saat mereka hendak pulang. Ily tersenyum tipis, mencoba bersabar.
"Kim Yohan, kenapa kamu tidak minta bantuan yang lain saja? Aku ingin pulang cepat-cepat," keluh Ily dengan wajah keruh.
Yohan menggeleng. "Aku tak bisa. Aku tak mau."
"Kenapa?" tanya Ily tak mengerti. Keningnya mengerut dengan wajah frustasi.
"Aku hanya ingin kamu," jawab Yohan serius. Jelas saja jawabannya membuat Ily salah tingkah, ia bahkan langsung mengalihkan pandangannya dengan mata mengerjap berkali-kali. Ily akan bersuara, sebelum Yohan mendahului dengan, "yang membantuku. Ibuku sudah bilang, kita akan berteman. Kupikir teman ada untuk saling membantu."
Ily menipiskan bibir. Memejamkan matanya, menetralkan perasaannya dan kembali menatap Yohan sama datarnya.
"Kamu bisa cari teman lain. Oke?"
"Aku tak mau. Aku tak bisa." Yohan mulai terlihat kesal. Bahkan kini alisnya hampir bersatu saking gregetnya dengan Ily. "Aku sudah menjawabnya. Tidakkah kamu mengerti?"
"Aku hanya memberi saran. Salah, ya?" balas Ily sama kesalnya.
"Aku sudah menjawabnya. Aku tak mau. Aku tak bisa. Harus berapa kali aku katakan?" Yohan melotot. "Kamu hanya perlu menunjukkan perpustakaan. Sesusah itukah?"
"Aku ingin pulang, Kim Yohan. Cara perpustakaan sendiri saja!"
Ily berbalik setelah berseru kesal. Ia melangkah cepat-cepat dan berharap Yohan tak menahannya. Namun, tiba-tiba Yohan berada di depannya dan membuat Ily kaget setengah mati. Langkahnya otomatis terhenti dengan mata terpejam. Ia hampir bertubrukan jika tak langsung menghentikan langkahnya.
"Yohan!" seru Ily tak habis pikir, mengerjap masih kaget. "Lo nyebelin banget, sih! Emang, ya, cowok tuh sama semua! Nggak Elvan, enggak Eza, lo juga sama ngeselinnya!"
Yohan tampak tak peduli, sorot matanya kini serius. Ia melangkah lebih dekat pada Ily dan berbicara pelan dengan suara beratnya, "kamu akan pulang bersamaku. Tunjukkan perpustakaan dan masalahnya akan selesai."
Ily menipiskan bibir, tiba-tiba menciut dan akhirnya menghela napas. Ia berbalik dan melangkah berlawanan dengan arah menuju parkiran. Ily harap hari ini cepat berakhir.
Ily harap hari esok tak ada yang membuatnya kesal dan marah.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Dwi Alviana
pantas g da temen ketuss sih
2021-10-06
0
Moch Suudi
ily bad mood terus..
hehehe
2020-08-08
0