Yohan berjalan melewati koridor-koridor menuju perpustakaan. Ia akan tidur karena pelajaran sedang kosong, gurunya tak dapat masuk. Biasanya perpustakaan itu hening dan nyaman untuk tidur.
Namun ketika ia tinggal beberapa langkah lagi untuk masuk, seseorang menghadang jalannya. Perempuan berbandana dengan rambut curly kecokelatan. Matanya berbinar indah, dibalik lentiknya bulu mata itu.
"Hai," sapanya riang. "Gue Tiffany Mia. Senang bertemu dengan anak baru. Gue tau ini terlambat karena gue sibuk persiapin buat acara Minggu depan, tapi, selamat datang."
Yohan mengernyit, menatap datar padanya. Tiffany mengulurkan tangannya, namun tak digubris oleh Yohan dan membuat senyum Tiffany sempat luncur satu detik sebab setelahnya perempuan itu justru tersenyum lebih lebar. Tak menyerah di situ, Tiffany mengambil tangan Yohan dan menjabatnya.
Yohan langsung melepaskan tangan Tiffany dari tangannya. Dia mendesis dan menatap tajam Tiffany. Tiffany hanya tersenyum maklum, meyakini bahwa ia harus berusaha lebih keras.
"Kemarin-kemarin gue cuma melihat lo dari jauh karena banyak serangga-serangga nggak tau diri. Tapi sekarang gue punya banyak waktu dan bisa berada di dekat lo kapanpun." Tiffany merapikan rambutnya dengan anggun. "Jadi, kapan kita akan jalan?"
Yohan mendelik kecil, kemudian tanpa kata-kata lain lagi, segera melangkah meninggalkan Tiffany. Ia tak mau membuang waktu berharganya dengan orang asing.
Sementara itu, Tiffany yang ditinggal sendiri di koridor sepi, menarik napas kecil dan menghembusnya pelan.
"Dia nggak menolak, artinya gue bisa diterima," cetusnya percaya diri.
Kemudian ia melangkah pergi menuju toilet untuk memastikan tatanan bam puterinya baik-baik saja. Beruntung toilet kosong, jadi ia tak perlu repot-repot mendengarkan pujian-pujian dari siswi-siswi yang melihatnya ataupun membicarakannya dengan iri.
Dengan wajah seperti ini, Tiffany mudah mendapatkan apapun yang ia inginkan, juga mudah mendapatkan sesuatu yang tak ia harapkan.
Tiffany sedang membenarkan ketebalan bedaknya saat seseorang masuk ke dalam toilet dan ikut bercermin dengannya. Mata Tiffany beralih menatap pantulan wajahnya, segera menyadari sesuatu dan kini benar-benar menoleh pada wajah yang asli.
"Ily!" serunya semangat.
"Ha? Ah, apa? Ti-tiffany?" Ily langsung gegalapan dan mengepalkan tangannya di samping tubuh takut-takut. Melihat Tiffany secara langsung dan mendadak seperti ini jelas saja membuatnya terkejut sekaligus was-was. "Ke-kenapa?"
"Bantuin gue," kata Tiffany langsung. Ily adalah mantan teman sekelasnya saat kelas sepuluh dan ia ingat pernah mendapati Yohan bersama Ily. "Tolong makcomblangin gue sama Yohan."
Ily membulatkan matanya. "Apa?"
"Lo nggak denger, ya?" Tiffany maju satu langkah dan kini benar-benar membuat Ily takut.
"Gue denger, gue denger," balas Ily sedikit kesal karena merasa diremehkan.
"Gue tau lo deket sama Yohan, tapi pasti cuma teman, kan?" tanya Tiffany tak sabaran, ingin segera memastikan tebakannya benar.
Ily sedikit meringis, entah kenapa jadi resah sendiri. "I-iya, sih, tapi--"
"Bilangin kalau gue suka sama Yohan, tapi secara nggak langsung." Tiffany memotong dengan cepat, rasa bahagianya membuncah. "Pokoknya lo harus pinter-pinter cari cara supaya Yohan suka sama gue. Atau, setidaknya tertarik. Gue tunggu."
Ily ditinggalkan begitu saja setelah diberi kata-kata yang bahkan belum bisa ia cerna sepenuhnya.
***
"Yohan," panggil Ily pelan.
Yohan yang awalnya memainkan ponselnya di atas motornya kini mendongak, menatap Ily kemudian tersenyum tipis. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan mulai membangunkan standar motornya.
"Ayo, pulang," ajak Yohan seperti biasa.
"Aku harus bilang sesuatu dulu," tahan Ily merasa tak enak. "Ini penting."
"Kita bisa bicara di rumah, di sini panas. Ayo," ajak Yohan lagi, menolak permintaan Ily.
"Ti--"
"YO, WHAT'S UP, MY CHILI?!"
Suara lengkingan bariton itu terdengar dari jauh, membuat Ily menghela napas kecil supaya sabar kemudian berbalik. Mendapati Elvan dan Eza datang menghampiri dengan wajah sok cool. Ily refleks memutar bola matanya.
"Kenapa, nih? Eh, lo lagi, bro," sapa Elvan pada Yohan yang segera turun dari motornya dan menatap bingung padanya. "Ly, ini temen lo atau apa sih?" tanyanya penasaran, kini pada Ily.
"Apa sih lo jangan ikut campur," balas Ily tak suka.
"Et dah, gitu amat." Elvan mendelik sambil mendorong badan Ily dengan bahunya. Ily mendesis tajam dibuatnya, tak suka diganggu.
"Lo mau ngapain dia, Ly? Masa pacaran, sih? Lo pake pelet, ya?" tanya Eza pada Ily yang langsung melotot tak terima dan menabok lengannya dengan kesal.
"Jangan ikut campur! Sana, pergi deh!" seru Ily marah. "Nggak ada kerjaan banget."
"Abisnya, masa cowok kayak dia mau sama cabe kering kayak lo," ledek Elvan tak puas-puas.
"Kalau Ily pake pelet sih, lumayan masuk akal," tambah Eza sejalan dengan pemikiran Elvan.
Ily menipiskan bibir. "Puas ngeledeknya?"
Elvan menepuk punggung Ily dengan cengiran lebar khasnya. "So pasti."
Ily melotot, balas menabok lengan Elvan dengan brutal. Elvan membalas menjitak kening Ily dan dibalas lagi oleh cubitan di pinggang. Berikutnya ringisannya terus terdengar karena mereka saling membalas.
Melihat dua orang itu saling melempar serangan, Eza tertawa, tangannya terangkat untuk mengacak rambut Ily. "Belajar yang bener, ya. Nanti orang tua kecewa kalau pacaran mulu."
"Nggak mungkin mereka pacaran, kalau ada yang berani macarin Ily," kata Elvan menggantung. Ia saling melempar tatapan dengan Eza dan mengangguk dengan tatapan serius.
"Mati dia."
Elvan dan Eza berkata bersamaan. Membuat Ily melihat jiwa psikopat dalam dua orang itu. Saat mereka tertawa, lalu menatap Yohan yang sedari tadi diam, Ily masih merasa ngeri sendiri.
Hingga akhirnya kapten basket dan kapten futsal itu pergi dari hadapannya, Ily menghela napas panjang dan menunduk dengan jiwa raga yang telah lelah.
"Yohan, aku capek. Ayo pulang," kata Ily akhirnya.
Untuk pertama kalinya, mereka tak perlu berdebat untuk pulang bersama-sama.
***
"Kamu sering diejek, ya?" tanya Yohan.
Ily yang baru saja turun dari motornya, langsung mendongak dan menatap Yohan dengan senyum tipis yang setidaknya bisa menggambarkan betapa sabarnya Ily selama ini. Menyikapi sikap buruk masih dengan senyuman.
"Bukan hal baru bagiku, tidak apa-apa," balas Ily tak semangat. "Aku selalu dijahili, tapi aku juga suka membalas. Kamu tak perlu khawatir."
"Oh, ya, katamu ada yang harus dikatakan padaku. Apa itu?" tanya Yohan, lagi-lagi.
"Ah, iya," balas Ily, teringat sesuatu. "Temanku ada yang menyukaimu. Namanya Tiffany. Hebat sekali. Baru masuk lima hari dan kamu sudah dapat perhatian dari seorang Tiffany."
"Tiffany?"
"Iya, model majalah, selebgram dan YouTubers. Cantik, tinggi, langsing dan pintar. Paket komplit, kan?" Ily tersenyum miring. "Kamu juga pasti suka. Jangan munafik."
"Aku tak menyukainya," sangkal Yohan jujur.
Hanya tawa yang menyambut kejujurannya. Ily tertawa dengan sisa-sisa kekesalannya. Ia menatap Yohan tak suka dengan tawa yang tiba-tiba lenyap. "Bohong."
"Terserah jika kamu tak mau percaya," kata Yohan tak peduli banyak. "Aku jelas tak suka wanita agresif. Mau secantik apapun dia, mau sepintar apapun dia, atau apapun itu. Aku yang menentukan wanitaku. Bukan wanita yang memilihku."
Ily tertegun lama, kemudian bertepuk tangan dengan sisa tenaganya. "Selamat. Kamu yang seperti ini, sangat membuat Tiffany tertarik."
"Memangnya dia orang yang seperti apa?" tanya Yohan akhirnya penasaran juga.
"Sudah aku sebutkan tadi. Dia nyaris sempurna. Tapi, dia egois." Ily menggangguk yakin. "Segalanya harus sesuai dengan apa yang dia inginkan."
"Apakah dia seburuk itu?" Yohan penasaran pada bagaimana jika keadaannya tak seperti yang diinginkan Tiffany terjadi. "Apa yang akan terjadi jika segalanya berbanding terbalik dengan inginnya?"
Ily tersenyum tipis. Ia mengalihkan pandangannya pada langit senja, membayangkan sebuah tragedi tahun lalu sambil menahan tangis. "Seseorang akan menjadi korban."
Tubuh Yohan membatu, tak mengira dampaknya akan serumit itu. Namun ia juga tak mau menjadi korban, Yohan menunduk. Memikirkan berbagai cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalahnya. Kemudian ia menatap Ily dengan sorot penuh harap.
"Ilyssa," panggilnya pelan.
"Hm?"
"Kapan kita akan belajar bahasa gaul?" tanya Yohan, tiba-tiba mengangkat topik yang tak diduga. Membuat Ily menatapnya dengan mata membulat.
"Apa?"
"Besok hari Sabtu. Haruskah kita mulai besok?"
Ily menimang-nimang dengan berat. Biasanya ia berada di rumah untuk tidur, namun jelas ia tak bisa menolak karena telah terikat oleh benang transparan. Yang mengikatnya begitu saja.
"Oke."
Senyum Yohan terulas. "Ya sudah, dah," katanya, melambaikan tangannya. Mengisyaratkan pada Ily untuk masuk ke rumahnya.
Ily mengangguk, kemudian berbalik dan melangkah menuju rumahnya saat Yohan kembali memanggil namanya. Ily berbalik kembali dengan wajah bingung.
"Ada sesuatu di punggungmu," kata Yohan memberitahu.
Mata Ily membulat, segera meraba punggungnya dan merasakan ada secarik kertas menempel di sana. Napas Ily mulai memburu sambil membaca tulisan dalam kertas itu.
Diri ini ABK, hati-hati
Ily menipiskan bibirnya. *** kertas itu dengan kuat-kuat. Mengembuskan napas panjang, kemudian tersenyum dan menoleh pada Yohan.
"Terimakasih telah memberitahu," katanya dengan rahang yang mulai mengeras saking besarnya gejolak amarah yang ditahan.
Yohan hanya mengangguk dan Ily langsung saja melanjutkan langkahnya menuju rumah.
Dilihatnya perempuan itu sampai masuk, Yohan mengacak rambutnya frustasi. Dua laki-laki tadi pasti pelakunya. Merasa kasihan pada Ily, namun ia tak bisa apa-apa.
Ah, Tidak. Tepatnya, belum melakukan apa-apa.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Irsyanazdka Aldricramadhani
kios 6l
2020-02-13
1